BPJS KesehatanTetap Terapkan Aturan Penyesuaian Layanan
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan bersikukuh memberlakukan penyesuaian layanan Jaminan Kesehatan Nasional. Hal itu dikhawatirkan menurunkan mutu layanan.
JAKARTA, KOMPAS— Meski menuai protes sejumlah pihak, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan tetap menerapkan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2, 3, dan 5 Tahun 2018. Hal itu sebagai upaya kendali biaya demi menjamin keberlanjutan pembiayaan program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat.
”BPJS Kesehatan harus aktif menjaga keberlanjutan JKN-KIS. Salah satu caranya, mengatur penjaminan pelayanan berpotensi inefisiensi. Setelah dicek data utilisasi, perlu ada ketentuan penjaminan layanan katarak, rehabilitasi medik, dan persalinan dengan bayi lahir sehat,” ujar Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (30/7/2018).
BPJS Kesehatan harus aktif menjaga keberlanjutan JKN-KIS. Salah satu caranya, mengatur penjaminan pelayanan berpotensi inefisiensi.
Tahun 2017, misalnya, 10 kode Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs) atau kelompok tarif berdasarkan layanan menunjukkan klaim bayi baru lahir sehat dengan berat badan lahir lebih dari 2.499 gram tanpa prosedur mayor Rp 1,17 triliun. Klaim prosedur lensa dan intra okuler serta operasi katarak Rp 2,65 triliun. Untuk prosedur terapi fisik, prosedur kecil muskuloskletal, dan rehabilitasi Rp 965 miliar.
Pihak BPJS Kesehatan tetap menjamin layanan kesehatan bagi persalinan dan bayi baru lahir, rehabilitasi medik, dan katarak. ”Kami menata agar layanan lebih tepat, mendahulukan layanan efektif dan efisien. Itu disesuaikan kesiapan BPJS Kesehatan dalam pembiayaan,” kata Budi.
Tiga jenis layanan
Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tentang Penjaminan Operasi Katarak dituliskan, BPJS Kesehatan menjamin pelayanan operasi katarak dan penjaminan diberikan sesuai indikasi medis pada peserta penderita katarak dengan visus kurang dari 6/18 preoperatif. Pada pasal 5 disebutkan, penjaminan pelayanan katarak diberikan dengan memertimbangkan jumlah maksimal tindakan operatif untuk masing-masing dokter spesialis mata.
Pasal tersebut yang kemudian dinilai asosiasi profesi perlu direvisi. Ketua Umum Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) M Sidik menyatakan, pihaknya telah mengirimkan surat resmi supaya BPJS mencabut peraturan direksi tersebut. Peraturan itu dinilai mengurangi kualitas layanan kepada masyarakat.
“Asosiasi profesi telah bersurat ke BPJS untuk mencabut kesepakatan yang sebelumnya disampaikan. Setelah dilihat di lapangan, implementasi peraturan ini justru menjadi kurang tepat. Untuk pelayanan katarak seharusnya tidak ada kuota,” ungkapnya.
Sementara Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 tentang Penjaminan Persalinan dengan Bayi Lahir Sehat menyebutkan, BPJS Kesehatan menjamin pelayanan persalinan dan bayi baru lahir. Untuk bayi baru lahir, yang dilahirkan melalui bedah sesar maupun persalinan normal yang tidak butuh perawatan khusus dibayar dalam satu paket persalinan.
Pada Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik disebutkan, pelayanan rehabilitasi medik dilakukan paling banyak dua kali kunjungan per minggu atau delapan kali kunjungan per bulan. Kesepakatan itu sesuai dengan indikasi medis berdasarkan persetujuan dokter spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi yang mengacu kepada standardisasi pelayanan tim rehabilitas terpadu dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia.
“Namun, jika dalam perjalanan ke depan dibutuhkan penyesuaian untuk jumlah kunjungan pada pasien tertentu, BPJS bersama perhimpunan profesi akan duduk bersama kembali untuk mengatur ketentuan tersebut,” kata Deputi Direksi Bidang Hubungan Antar lembaga dan Direksi BPJS Jenni Wihartini.
Budi menambahkan, dalam perhitungan yang sudah dilakukan, apabila peraturan ini dijalankan sesuai dengan ketentuan, yaitu per 25 Juli 2018, potensi efisiensi pembiayaan oleh BPJS sekitar Rp 360 miliar hingga akhir tahun.
Cacat hukum
Meski demikian, anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri menilai, peraturan direktur ini cacat hukum. Kendali biaya dengan membatasi manfaat seperti yang diatur dalam peraturan tersebut bukan wewenang dari BPJS Kesehatan.
Pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur harus ada kesesuaian antara jenis hirarki dan materi muatan peraturan perundangan. Pada Undang-Undang No. 40/2014 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pun menyatakan, pemanfaatan terkait SJSN diatur dalam Peraturan Presiden.
“BPJS berarti tidak patuh pada peraturan perundang-undangan. DJSN dalam fungsi pengawasan akan memanggil dewan pengawas BPJS dan meminta pertanggungjawaban kenapa direksi BPJS sampai mengeluarkan peraturan seperti ini,” ujarnya.
DJSN dalam fungsi pengawasan akan memanggil dewan pengawas BPJS dan meminta pertanggungjawaban kenapa direksi BPJS sampai mengeluarkan peraturan seperti ini.
Selanjutnya, DJSN akan melaporkan kondisi ini ke Presiden dan mengingatkan Presiden bahwa saat ini masalah defisit pembiayaan BPJS terus berlarut. Tindakan koreksi yuridis yang tidak kunjung usai terhadap Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan.