Raspro, Siasat Teknologi dalam Pengendalian Antibiotik
Raspro merupakan aplikasi yang bisa menunjang progam pengendalian antibiotik di rumah sakit secara lebih efisien.
–
JAKARTA, KOMPAS — Program Pengendalian Resistensi Antimikroba atau PPRA di rumah sakit yang diamanatkan pemerintah kerap masih terkendala persoalan teknis pelaksanaan. Salah satu perangkat pendukung berbasis teknologi yang telah dikembangkan saat ini adalah ”Raspro”. Sistem itu membuat pelaksanaan PPRA menjadi lebih efesien, punya daya-giring, sekaligus meminimalisasi gesekan di antara tenaga kesehatan di rumah sakit.
Raspro adalah suatu sistem aplikasi yang menjadi pedoman bagi dokter untuk secara sistematis diarahkan pada peresepan obat yang sesuai dengan diagnosis atau setidaknya indikasi yang ditemukan pada pasien. Cara ini membantu dokter penanggung jawab pelayanan (DPJP) terhindar dari peresepan obat yang tidak rasional, khususnya antibiotik.
Aplikasi Raspro tersebut juga dapat diintegrasikan dengan sistem jaringan elektronik di setiap rumah sakit. Dengan demikian, dokter ketika memasukkan data terkait penyakit pasiennya ke dalam sistem akan otomatis tergiring ke rumusan peresepan obat yang rasional, lalu tercatat rekam jejak pola peresepannya dalam sistem pemantauan di rumah sakit.
Seperti telah menjadi keprihatinan global, peresepan antibiotik yang tidak rasional di kalangan kedokteran telah menjadi salah satu pemicu penting fenomena resistensi antimikroba atau antimicrobial resistance (AMR). AMR diprediksi akan menjadi ancaman kesehatan global di masa depan. Saat ini pun infeksi terkait AMR telah memakan banyak korban sehingga kerap dijuluki sebagai pandemi senyap.
Baca juga: Menjaga Antibiotik, Menyelamatkan Masa Depan
Sistem aplikasi Raspro tersebut dirumuskan Ronald Irwanto, dokter spesialis penyakit dalam yang sejak lama tergerak peduli pada fenomena AMR. Ronald dan rekan-rekannya yang juga punya kepedulian yang sama kemudian mendirikan Raspro Indonesia. Komunitas tersebut berupaya mengampanyekan penggunaan antibiotik bijak serta pengendalian resistensi antimikroba secara berkesinambungan.
Menurut Ronald, ia tergerak menggagas Raspro tersebut melihat kenyataan di lapangan betapa antibiotik begitu mudah diresepkan oleh dokter di Indonesia untuk berbagai macam penyakit, termasuk yang tidak terindikasi infeksi bakteri. Sementara ia paham bahwa setiap kali dokter meresepkan antibiotik, pada saat bersamaan membuka peluang munculnya bakteri resisten (bakteri kebal).
Baca juga: Banyak Dokter Masih Serampangan Meresepkan Antibiotik
Pada tahun 2013, Ronald membuat sebuah karya ilmiah yang disintesis dari berbagai jurnal dan literatur ilmiah mengenai program pengendalian resistensi antimikroba.
”Saya menulis satu buku yang saya enggak pernah terbitkan. Di situ sudah saya tulis nama Raspro: Regulasi Antimikroba Sistem Prospektif. Ketika itu enggak saya terbitkan karena khawatir. Dulu itu temen-temen sejawat bilang, ah Ronald ngapain sih nulis-nulis gituan siapa juga yang mau dengerin, nanti malahan diketawain. Waktu itu belum ada peraturan menkes (menteri kesehatan),” tutur Ronald.
Kemudian pada tahun 2015 keluar peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) di Rumah Sakit. Disusul tahun 2018 keluar Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit (SNARS) edisi 1 yang turut memasukkan unsur PPRA dalam proses akreditasi.
Baca juga: Soal Pengendalian Antibiotik, Pemerintah Melemahkan Kebijakannya Sendiri
Hanya saja, menurut Ronald, peraturan tersebut bersifat makro, sedangkan implementasinya secara teknis ketika itu belum ada. Ronald dan timnya kemudian pada tahun 2019 membuat semacam survei kecil di 156 rumah sakit, yang ternyata 114 rumah sakit di antaranya belum bisa melaksanakan PPRA.
”Kenapa yang 114 belum melakukan PPRA ini kita survei lagi, 107 rumah sakit yang disurvei mengatakan bahwa mereka enggak tahu bagaimana mikroskopisnya, modelnya tuh seperti apa harus mulai dari mana rumah sakit mengendalikan. Begitu. Nah, jadi akhirnya pada waktu itu saya melihat regulasi mikroskopis ini adalah satu kebutuhan di rumah sakit untuk bisa melaksanakan PPRA. Jadi, di sini mulai saya memberanikan diri, (memperkenalkan Raspro),” kata Ronald.
Raspro di Hermina
Raspro saat ini baru diadopsi di 150 rumah sakit dari sekitar 3.000 rumah sakit di Indonesia. Salah satu grup rumah sakit yang memanfaatkan Raspro adalah Hermina Hospitals yang membawahi 47 rumah sakit di sejumlah kota di Indonesia.
Kepala Departemen Pelayanan Medis PT Medika Loka Manajemen Grup Hermina Ronaningtyas Maharani mengatakan, sejak Maret 2023, Hermina mengaplikasikan elektronik Raspro di 24 rumah sakit Hermina. Sebelumnya pada tahun 2020, Hermina melakukan uji coba Raspro di tiga rumah sakit, yakni Hermina Ciputat di Tangerang, Banten; lalu Hermina Bekasi; dan Hermina Depok di Jawa Barat.
”Nah, sebenarnya kita dilatih bukan hanya menggunakan aplikasi (Raspro), tetapi konsepnya sendiri, konsep PPRA dengan menggunakan Raspro. Jadi sisanya (di luar 24 rumah sakit Hermina) meskipun belum memakai aplikasi (Raspro), kita tetap menjalankan PPRA dengan konsep Raspro tersebut,” kata Rona.
Dengan demikian, menurut Rona, sejumlah 23 RS Hermina lainnya untuk sementara ini menjalankan Raspro secara manual, yakni dengan menggunakan semacam formulir panduan.
Seperti yang disampaikan Ronald perumus Raspro, formulir manual tersebut pun saat ini bisa diakses dan diunduh oleh semua rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan secara bebas di situs Raspro Indonesia. Aplikasi Raspro tersebut pun, menurut Ronald, sengaja tidak dikenakan biaya royalti bagi rumah-rumah sakit yang menggunakannya.
Rona menjelaskan, Panduan Penggunaan Antibiotik (PPAB) yang wajib disusun di setiap rumah sakit berdasarkan peta kuman ditanamkan ke dalam aplikasi Raspro tersebut. Di Hermina saat ini, PPAB berdasarkan peta kuman belum sepenuhnya dibuat eksklusif per regional di wilayah Rumah Sakit Hermina berada.
Baca juga: Rumah Sakit Menghemat Biaya dari Pengendalian Antibiotik
Peta kuman untuk Hermina di Padang, Sumatera Barat, misalnya, menggunakan peta kuman dari RSUP Dr M Djamil. Sementara di wilayah Jakarta dan sekitarnya, pengumpulan sampel kultur dipusatkan di Hermina Jatinegara untuk kemudian menjadi peta kuman rujukan. Peta kuman tersebut penting sebagai rujukan bagi dokter ketika, misalnya, memberikan resep antibiotik kategori access secara empirik kepada pasien sebelum hasil tes kultur bakteri dari laboratorium mikrobiologi keluar.
Seperti yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dalam rangka pengendalian antibiotik, ada tiga kategori antibiotik, yakni access, watch, dan reserve (AWaRe). Kategorisasi dengan spirit restriksi itu bermaksud lebih memberi kesadaran kepada dokter untuk meresepkan antibiotik secara rasional berbasis pada prinsip rational use of medicine (RUM) atau penggunaan obat yang rasional.
Antibiotik di kategori watch dan reserve, misalnya, diprioritaskan untuk lebih dijaga agar tak mudah diresepkan tanpa basis bukti yang nyata adanya infeksi bakteri yang diderita. Sebab, ketika semakin banyak bakteri sudah resisten terhadap antibiotik di golongan watch dan reserve, kondisi tersebut menjadi alarm berbahaya. Artinya, pasien-pasien yang terinfeksi bakteri resisten/kebal tersebut berpotensi besar tidak bisa diobati dengan antibiotik apa pun dan terancam nyawanya.
Baca juga: Bakteri Kebal Perenggut Nyawa Kita
Rona mengatakan, sejauh ini Raspro baru menjangkau layanan di rawat inap di 24 RS Hermina. Seiring dengan implementasi Raspro di 23 RS Hermina lainnya, Hermina berkomitmen juga bisa menerapkan Raspro di pelayanan rawat jalan sesuai dengan amanat peraturan pemerintah.
Hal tersebut juga diakui Ronald. Aplikasi Raspro tersebut dalam pengembangannya juga diharapkan pada akhirnya bisa menjangkau pelayanan di rawat jalan yang juga tak kalah memprihatinkan fenomenanya dalam hal peresepan antibiotik yang tidak rasional. Hasil investigasi Kompas kurun Januari-Februari 2024 mendapati masih maraknya peresepan antibiotik yang serampangan di pelayanan rawat jalan di berbagai rumah sakit.
Simak video: Investigasi ”Kompas”, Masih Ada Oknum Dokter Resepkan Antibiotik Serampangan
Rona mengungkapkan, mengingat tingginya penggunaan antibiotik cefriaxone dari kategori watch, pihak PPRA dengan disetujui manajemen rumah sakit berinisiasi memasukkan antibiotik tersebut ke dalam kategori reserve dalam PPAB di Hermina agar peresepan cefriaxone oleh para dokter juga dapat ditekan secara efektif.
Seperti telah menjadi selorohan di kalangan tenaga kesehatan yang peduli dengan isu pengendalian antibiotik, saat ini cefriaxone sudah menjadi semacam ”welcome drink” di rumah sakit. Maksudnya, berbagai macam penyakit yang diderita pasien kerap dengan mudahnya diberi antibiotik cefriaxone oleh para dokter, terlepas ada indikasi infeksi bakteri ataupun tidak.
Tiga tungku
Hadianti Adlani, Koordinator Bidang Penatagunaan Antimikroba Komite PPRA di Grup Hermina, mengatakan, program pengendalian antibiotik di rumah sakit memang tak jarang menemui kendala kultural, termasuk dengan kalangan dokter. Namun, kunci dari penegakkan program tersebut adalah kerja sama yang melibatkan semua pihak.
Hadianti mengumpamakannya dengan mengutip pepatah dari Minangkabau, tungku tigo sajarangan, yakni tata kelola pemerintahan di suatu masyarakat harus mengikutsertakan tiga pihak, yakni pengulu, alim ulama, dan cerdik pandai. Perumpamaan itu diterapkan dalam hal penegakan PPRA di Hermina. Ketiga ”tungku” yang dimaksud adalah DPJP (dokter), komite PPRA, dan manajemen rumah sakit.
”Ada ada tungkunya DPJP sebagai seorang klinisi, ada tungkunya PPRA sebagai yang bertanggung jawab terhadap komunitas rumah sakit, kemudian ada tungku yang paling utama adalah manajemen yang menjadi pemutus segala macam konflik atau kalau terjadi deadlock,gitu ya. Nah itu kita sepakat bahwa pemutusnya yang paling mempunyai kepentingan dan berhak adalah manajemen. Kami di Hermina ini sebagai anggota PPRA grup pusat sangat-sangat apresiasi sekali dengan direktur utama kami dan jajarannya yang sangat mengerti dan paham bagaimana pengendalian resistensi ini harus berjalan,” tutur Hadianti.
Hadianti menambahkan, kunci penting lainnya adalah sosialisasi yang terus-menerus terkait pengendalian resistensi antimikroba dan penggunaan antibiotik yang rasional kepada kalangan dokter di seluruh RS Hermina.
”Kalau misalkan tetap saja terjadi deadlock, manajemen memutuskan, ya, sudahlah daripada nggak ada keputusan, solusi, akhirnya mengikuti keputusan DPJP (dokter) yang tidak sama dengan standar PPAB kita. Dengan rekomendasi PPRA, kita akan terima, kita akan tetap keluarkan obatnya, tetapi kita akan catat DPJP (dokter) tersebut di dalam pelaporan ke Kemenkes dan juga laporan OPPE-nya (evaluasi praktik profesional berkelanjutan), serta RKK-nya (rincian kewenangan klinis). Kita di Komite Medik itu punya penilaian kinerja masing-masing DPJP,” kata Hadianti.
Baca juga: Dokternya Siapa, Saya atau Anda?
Rona menambahkan, oleh karena PPRA ini menjadi atensi direktur utama Hermina, pelaporan PPRA dari semua Rumah Sakit Hermina dipantau secara harian. Dengan demikian, mau tak mau mendorong semua direktur rumah sakit di bawah Hermina turut termotivasi untuk memantau.
”Ditambah tahun ini kita masukkan juga dalam salah satu KPI (key performance indicator) terkait dengan pelaksanaan PPRA. Nah, itu upaya kita supaya peran manajemen untuk mengendalikan PPRA ini bisa jalan. Direktur rumah sakit memandang ini penting,” tambah Rona.
”Reserve” menurun
Apoteker Triyoko Septio Marja dari Bidang Pembinaan dan Mutu Farmasi Departemen Penunjang Medis di Grup Hermina mengatakan, setelah dievaluasi pada Desember 2023 lalu, penggunaan antibiotik kategori reserve di seluruh Hermina akhirnya menurun cukup signifikan. Semula, dari total penggunaan antibiotik di seluruh Hermina, sebanyak 42 persennya merupakan antibiotik dari kategori reserve. Kemudian per Desember 2023 lalu sudah menurun tinggal 17 persen.
”Namun, masih menjadi PR bagi kami karena targetnya bisa di bawah 5 persen,” imbuh Rona.
Baca juga: Menkes: Pekerjaan Rumah Kita Masih Banyak
Sementara berdasarkan surveilans bakteri resisten penghasil enzim extended-spectrum beta-lactamases (ESBL) di rumah-rumah sakit Hermina, pada Desember 2022 terpantau 63,49 persen bakteri E.coli yang resisten terhadap antibiotik. Angka ini diharapkan berangsur menurun seiring intensifikasi penegakan PPRA di semua rumah sakit Hermina.
Triyoko menambahkan, di Grup Hermina sendiri sebenarnya untuk penentuan jenis obat-obatan berserta mereknya itu sudah ”terkunci” dalam formularium rumah sakit di Departemen Penunjang Medis. ”Jadi, semua jenis obat yang masuk itu sudah difilter oleh Departemen. Jadi, nggak bisa dokter mau resepin semau dia,” kata Triyoko.
Baca juga: Mempertanyakan Kebiasaan Dokter Meresepkan Antibiotik
Hadianti menambahkan, pihak Hermina saat ini sebenarnya juga membutuhkan feedback atau masukan balik dari Kementerian Kesehatan terkait pelaksanaan PPRA yang telah mereka upayakan sejauh ini. Sebab, hingga kini hal itu masih dirasakan minim sekalipun Hermina rutin mengirim laporan ke Kemenkes.
”Jadi, mungkin butuh feedback dari Kemenkes untuk rumah sakit yang belum menjalankan karena saya rasa yang paling bisa jadi solusi adalah, ya, mungkin pertama peningkatan. Selama ini kita nggak pernah ada tuh, kalau sudah jalan gimana, kalau belum jalan, sanksinya apa gitu, belum jelas,” tutur Hadianti.
Baca juga: Menkes Segera Keluarkan Aturan Pengendalian Resistensi Antimikroba