Menkes Segera Keluarkan Aturan Pengendalian Resistensi Antimikroba
Pengendalian resistensi antimikroba akan diperkuat. Upaya pengendalian itu akan kembali masuk dalam Program Nasional.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Kesehatan berkomitmen memperkuat pengendalian resistensi antimikroba di masyarakat. Ia memastikan upaya pengendalian resistensi antimikroba akan kembali masuk dalam Program Nasional. Dengan begitu, upaya tersebut akan menjadi indikator wajib dalam akreditasi rumah sakit.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyampaikan hal itu kepada Kompas dalam pertemuan yang dilakukan di Kantor Kementerian Kesehatan di Jakarta, Selasa (2/4/2024). Pertemuan tersebut merupakan bentuk tindak lanjut dari Menteri Kesehatan atas hasil investigasi Kompas mengenai ancaman resistensi antimikroba di Indonesia.
Hadir pula dalam pertemuan tersebut Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono, Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan Lucia Rizka Andalusia, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Azhar Jaya, dan Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Kementerian Kesehatan Anis Karuniawati.
Budi mengatakan, ancaman resistensi antimikroba sebenarnya bukan hal yang baru. Namun, ia mengakui jika selama ini pemerintah, termasuk Kementerian Kesehatan, belum fokus dalam persoalan tersebut.
Karena itu, temuan dan laporan investigasi yang dilakukan Kompas menjadi momentum untuk memperkuat upaya pengendalian resistensi antimikroba di Indonesia. Pengawasan dan edukasi akan diperkuat sehingga penggunaan antibiotik di masyarakat, termasuk pada tenaga kesehatan, bisa lebih bijak.
Sebagai tindak lanjut, hal pertama yang akan dilakukan yaitu kembali memasukkan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) ke dalam Program Nasional. Masuknya PPRA dalam Program Nasional akan berpengaruh pada proses akreditasi rumah sakit. Program Pengendalian Resistensi Antimikroba akan menjadi indikator wajib dalam akreditasi rumah sakit.
”Kami siapkan agar KMK (Keputusan Menteri Kesehatan) mengenai PPRA ini bisa segera dikeluarkan minggu depan. Dalam aturan itu nantinya juga akan ditulis belanja antibiotik rumah sakit yang akan dilaporkan secara online sehingga bisa diaudit,” katanya.
Dalam peresepan antibiotik pun akan diwajibkan untuk dibuat dalam bentuk e-resep yang terintegrasi dalam sistem Satu Sehat. Pelaporan secara daring ini diharapkan bisa meminimalkan adanya peresepan antibiotik yang tidak sesuai pada pasien.
Masuknya PPRA dalam Program Nasional akan berpengaruh pada proses akreditasi rumah sakit. Program Pengendalian Resistensi Antimikroba akan menjadi indikator wajib dalam akreditasi rumah sakit.
Sebelumnya, dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/1128/2022 tentang Standar Akreditasi Rumah Sakit, PPRA tidak lagi masuk ke dalam Kelompok Program Nasional. PPRA dimasukkan dalam Kelompok Pelayanan Berfokus, subkelompok Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat.
Itu berbeda dengan aturan sebelumnya yang mengacu pada Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit Edisi 1.1 Tahun 2020 dari Komite Akreditasi Rumah Sakit. Dalam aturan itu, PPRA dimasukkan ke dalam Program Nasional sehingga PPRA wajib dan berpengaruh pada akreditasi.
Budi menuturkan, penguatan aturan mengenai pengendalian resistensi antimikroba akan mengatur pula pembelian antibiotik di toko daring dan apotek. Pengawasan akan dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan agar pembelian antibiotik bisa lebih terkontrol.
Selain itu, ia akan mendorong agar materi mengenai resistensi antimikroba dan penggunaan antibiotik yang bijak menjadi materi wajib dalam pemenuhan Satuan Kredit Profesi (SKP) tenaga kesehatan. Saat ini masih banyak tenaga kesehatan yang belum memberikan antibiotik kepada pasien secara tepat dan bijak.
Dante menambahkan, kampanye mengenai pengendalian resistensi antimikroba perlu melibatkan industri farmasi, khususnya industri yang memproduksi antibiotik. Industri juga diajak untuk bisa menjual produk antibiotik secara bijak dengan pengawasan yang baik pula.
Peta kuman
Menurut Budi, upaya pengendalian resistensi antimikroba di rumah sakit akan diperkuat dengan adanya kewajiban laporan pemeriksaan peta kuman dan data penggunaan antibiotik di rumah sakit. Hal itu berarti setiap rumah sakit diwajibkan untuk memiliki laboratorium mikrobiologi. Salah satu pemeriksaan yang bisa dilakukan laboratorium mikrobiologi adalah pengujian sensitivitas antibiotik.
”Kita akan kasih waktu transisi (untuk implementasi aturan baru ini) selama dua tahun,” ucapnya.
Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba Kementerian Kesehatan Anis Karuniawati yang juga Staf Pengajar Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) menyampaikan, laporan peta kuman di rumah sakit dapat dilakukan setidaknya setiap enam bulan bagi rumah sakit skala besar, sementara untuk rumah sakit skala kecil dapat dilakukan setiap satu tahun sekali.
Peta kuman adalah informasi tentang bakteri kebal serta bakteri yang masih sensitif terhadap antibiotik di sebuah rumah sakit. Peta kuman di setiap rumah sakit bisa berbeda-beda. Peta ini dibutuhkan untuk membantu klinisi dalam memberikan terapi awal sebelum hasil kultur bakteri keluar. Peta ini juga diperlukan untuk mengendalikan resistensi antibiotik di rumah sakit.
Dalam implementasi aturan itu perlu dipertimbangkan pula kesiapan dari tenaga kesehatan yang bertugas di laboratorium. Penunjukan ketua PPRA di rumah sakit juga perlu diperhatikan. Sebab, jika ketua PPRA rumah sakit harus dokter spesialis mikrobiologi klinik, jumlah sumber daya manusia yang tersedia saat ini belum cukup untuk memenuhi semua kabupaten/kota. Jumlah dokter spesialis mikrobiologi klinik di Indonesia baru sekitar 300 orang.
”Kita juga perlu mendorong agar tarif INA-CBGs dari BPJS Kesehatan untuk biaya pemeriksaan mikrobiologi (termasuk untuk kultur bakteri dalam deteksi penyebab penyakit infeksi) bisa ditingkatkan,” ujar Anis. Tarif INA CBGs merupakan tarif yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit dengan sistem paket berdasarkan jenis penyakit.