logo Kompas.id
InvestigasiAndalkan ”Feeling” di...
Iklan

Andalkan ”Feeling” di Belantara Nama Caleg

Banyaknya jumlah caleg ditambah minimnya informasi tentang mereka membuat masyarakat bingung harus memilih yang mana.

Oleh
ALBERTUS KRISNA, SATRIO PANGARSO WISANGGENI, SRI REJEKI
· 5 menit baca
Pengendara sepeda motor melintas di jalan yang penuh dengan baliho calon anggota legislatif di Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Kamis (21/12/2023).
KOMPAS/HARRY SUSILO

Pengendara sepeda motor melintas di jalan yang penuh dengan baliho calon anggota legislatif di Kecamatan Samarinda Ulu, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Kamis (21/12/2023).

Ribuan nama calon anggota legislatif membingungkan warga yang akan memilih calon wakil rakyat. Untuk caleg DPR saja, setiap pemilih harus menyeleksi salah satu dari 100-an nama di daerah pemilihannya.

Belum lagi, mereka harus memilih caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Total, calon pemilih harus menyeleksi rata-rata 300 nama caleg. Ini belum ditambah daftar calon anggota DPD dan calon presiden-calon wakil presiden.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Enggan ribet dan merasa tidak ada manfaatnya, Ani (47) selama ini lebih banyak tidak menggunakan hak pilihnya. Seumur hidup, hanya dua kali ia mencoblos, yakni saat baru mendapat hak pilih di usia 17 tahun dan pada pemilu lima tahun lalu.

Waktu itu milih caleg yang tidak kenal sama sekali, pakai feeling aja dan supaya kertas suaranya tidak kosong supaya tidak disalahgunakan.

Pada saat itu, ia memilih caleg yang justru tidak ia kenal sama sekali. Ada beberapa caleg yang ia ketahui sepak terjangnya sehingga ia khawatir kalau sampai mereka terpilih. ”Waktu itu milih caleg yang tidak kenal sama sekali, pakai feeling aja dan supaya kertas suaranya tidak kosong supaya tidak disalahgunakan. Kalau dia terpilih, ya, berarti itu rezekinya dia,” kata Ani, yang tinggal di Kuala Kencana, Timika, Papua Tengah, saat dihubungi, Minggu (28/1/2024).

Baca juga : Ada 5.633 Caleg DPR Tanpa Program Usulan dan Motivasi

Calon pemilih, Shabrina Rizqi, yang juga mahasiswa di Yogyakarta, tengah membaca perkembangan terbaru tentang isu Pemilu 2024, Minggu (28/1/2024).
ARSIP PRIBADI

Calon pemilih, Shabrina Rizqi, yang juga mahasiswa di Yogyakarta, tengah membaca perkembangan terbaru tentang isu Pemilu 2024, Minggu (28/1/2024).

Untuk pemilu kali ini, menurut dia, hanya 40 persen kemungkinan ia mencoblos. Semakin mendekati hari H ia mengaku semakin enggan ke TPS. Ia mengungkapkan sebenarnya ada beberapa caleg yang ia kenal, tetapi lebih banyak lagi yang tidak ia kenal.

Ani pun enggan mencari tahu siapa mereka karena merasa tidak ada manfaatnya mencoblos. ”Mungkin saya bukan warga negara yang baik karena enggak mau susah cari tahu siapa mereka. Selama ini jadi warga negara yang terasa hanya saat bayar BPJS dan pajak macam-macam,” katanya.

Mungkin saya bukan warga negara yang baik karena enggak mau susah cari tahu siapa mereka. Selama ini jadi warga negara yang terasa hanya saat bayar BPJS dan pajak macam-macam.

Sikap Ani berbeda dengan dua calon pemilih lainnya. Spanduk, baliho, dan media sosial rata-rata menjadi andalan calon pemilih seperti Shabrina Rizqi (19) dan Arya (26). Pemilu 2024 akan menjadi pengalaman pertama Shabrina mencoblos. Ia bertekad akan menggunakan hak pilihnya itu. ”Aku enggak mau golput. Itu bukan pilihan. Dulu di sekolah diajarkan untuk menggunakan hak suara kita karena masa depan negara juga ditentukan dari suara-suara kita ini,” kata mahasiswi semester satu di Bantul, Yogyakarta, Sabtu (13/1/2024).

Baliho calon anggota legislatif di area Jalan Wahid Hasyim, Samarinda Ulu, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Sabtu (23/12/2023).
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA

Baliho calon anggota legislatif di area Jalan Wahid Hasyim, Samarinda Ulu, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Sabtu (23/12/2023).

Meski tekadnya untuk mencoblos telah bulat, kebingungan masih menghinggapi Shabrina. Ini karena ia tidak mengenal caleg-caleg di daerahnya. Ia hanya tahu satu dua nama dari spanduk atau baliho yang bertebaran di daerah tempat tinggalnya. ”Kalau capres banyak informasinya. Kalau caleg, biasanya saya tanya bapak atau ibu, itu siapa sih, bagaimana orangnya. Setelah itu, baru lihat partainya,” ujar Shabrina.

Kalau capres banyak informasinya. Kalau caleg, biasanya saya tanya bapak atau ibu, itu siapa sih, bagaimana orangnya. Setelah itu, baru lihat partainya.

Popularitas dan kekuatan finansial caleg dalammenebar alat peraga kampanye tampaknya memegang peranan penting untuk mendongkrak peluang calegmasuk radarpertimbangan pemilih. Arya (26), karyawan swasta asal Tangerang, Banten, memasukkan sederetan nama caleg yang ia baca di jalan ke dalam keranjang pertimbangannya. Selain itu, caleg yang populer diperbincangkan orang di sekitar juga masuk saringan pilihannya.

Dari yang telah tersaring itu, ia mencoba mendalami beberapa nama dengan melakukan pencarian di internet. Kini ia sudah memiliki sejumlah nama yang akan ia coblos pada 14 Februari mendatang. ”Selama punya aksi yang benar-benar nyata yang bisa kita rasain, sebenarnya enggak ragu untuk memilih sih,” kata Arya.

Baca juga: Anies dan Prabowo Ekspansif, Ganjar Pilih Jaga Basis Suara

Arya (26), pemilih muda di Kota Tangerang sedang menunjukkan cara ia memelajari profil caleg DPR RI yang berlaga di dapilnya, Minggu (21/01/2024).
KOMPAS/ALBERTUS KRISNA

Arya (26), pemilih muda di Kota Tangerang sedang menunjukkan cara ia memelajari profil caleg DPR RI yang berlaga di dapilnya, Minggu (21/01/2024).

Iklan

Negara gagal mendidik

Melihat pengalaman Shabrina dan Arya, alat peraga kampanye tampaknya menjadi perangkat utama masyarakat untuk menyeleksi satu di antara ratusan pilihan nama caleg.

Padahal, menurut Nurlia Dian Paramita, koordinator nasional dari lembaga pemerhati pemilu Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), alat peraga kampanye sebenarnya merupakan media kampanye yang minim gagasan karena hanya memuat citra diri dan ajakan.

”Maka, layanan informasi yang diberikan KPU seharusnya dapat dimanfaatkan oleh peserta pemilu jika memang peserta pemilu berniat mencalonkan diri lewat pendekatan yang prosedural, yakni visi misi dan program,” kata Mita, panggilan akrabnya, saat dihubungi pada Selasa (23/1/2024) lalu.

Munculnya kebingungan calon pemilih, menurut Mita, mencerminkan literasi politik masyarakat yang belum terlalu baik. Hal ini juga menunjukkan kegagalan negara dalam mendidik pemilih untuk turut mewujudkan demokrasi yang substantif.

Tipikal pemilih Indonesia terlihat tidak mau pusing dengan program yang sebenarnya hanya obral janji dan diskursus elite.

Pengendara sepeda motor melintasi baliho calon anggota legislatif di Jalan Laksamana Malahayati, Jakarta Timur, Selasa (9/1/2024). Masa kampanye digunakan calon anggota legislatif untuk menjaring suara dengan berbagai cara, salah satunya memasang baliho di tempat-tempat strategis.
KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pengendara sepeda motor melintasi baliho calon anggota legislatif di Jalan Laksamana Malahayati, Jakarta Timur, Selasa (9/1/2024). Masa kampanye digunakan calon anggota legislatif untuk menjaring suara dengan berbagai cara, salah satunya memasang baliho di tempat-tempat strategis.

Tidak heran jika pemilih lebih suka dengan kunjungan instan para caleg ketimbang berdiskusi tentang program usulan atau motivasi mereka. Masyarakat pun lebih suka mengikuti kampanye terbuka ketimbang kampanye tertutupyang memungkinkan terjadinya dialog intensif dengan caleg.

”Ini karena ada gebyar dan hura-hura di sana. Tipikal pemilih Indonesia terlihat tidak mau pusing dengan program yang sebenarnya hanya obral janji dan diskursus elite. Tampaknya, pemilih Indonesia tidak mengambil peran sebagai tonggak gagasan bagi partai politik agar turut berbenah,” kata Mita.

Ditambahkan Mita, idealnya pemilih mampu bersikap rasional dan obyektif secara merdeka dalam menentukan pilihannya. Para pemilih hendaknya juga memiliki kesadaran kritis untuk mencari banyak informasi dan menelusurirekam jejak para kontestan yang pada gilirannya dapat membantu mereka menentukan pilihan.

”Demokrasi yang substantif masih jauh jika pemilu kita masih diwarnai politik uang, intimidasi pemilih, netralitas aparat dan penyelenggara, hoaks, ujaran kebencian dan politisasi SARA,” ujar Mita.

Baca juga: Hanya Program Terpilih yang Ditonjolkan Lewat Media Sosial

Koordinator Nasional JPPR Nurlia Dian Paramita
ARSIP PRIBADI

Koordinator Nasional JPPR Nurlia Dian Paramita

Kurang interaksi

Kurangnya literasi politik juga tecermin pada minimnya interaksi antara masyarakat dengan partai politik, seperti disampaikan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari.

Selama ini, KPU telah berupaya memfasilitasi komunikasi antara partai politik dan pemilih. Menurut Hasyim, akan lebih ideal sebenarnya jika interaksi langsung antara pemilih dan partai politik itu dipupuk sejak awal. ”Jadi bukan sekadar hubungan komunikasi, tetapi bahkan hubungan pertanggungjawaban dari partai ke pemilih,” kata Hasyim.

Tanggung jawab ini berupa kemampuan partai dalam mengakomodasi kepentingan rakyat. Akan tetapi, diakui Hasyim, semuanya akan sangat bergantung pada kemampuan rakyat pemilih untuk menyampaikan apa yang menjadi kebutuhannya kepada partai.

Editor:
ANDY RIZA HIDAYAT, SRI REJEKI
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000