Saat Pemilu, Uang yang Berbicara, tapi Bukan untuk Dibicarakan
(Tulisan 14 dari 16) Praktik serangan fajar masih dinanti sebagian warga dan memengaruhi keputusan pilihan saat pemilu.
Pendekatan transaksional kerap digunakan para calon anggota legislatif untuk menarik simpati dan memburu suara warga pada masa pemilu. Sebab, pemberian materi menjadi daya tarik tersendiri bagi pemilih di tengah menguatnya pragmatisme politik.
Ijum (55) memperlihatkan minyak goreng berstiker caleg di rumahnya, di Kelurahan Karang Asam Ilir, Kecamatan Sungai Kunjang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, pertengahan Desember 2023. ”Ada minyak, gula, tepung, mi, pokoknya semua (bernilai) Rp 100.000-an,” ucap Ijum, saat ditemui.
Tim dari caleg pemberi sembako berpesan agar Ijum menerima saja sembako dari caleg-caleg lain seandainya ada. Mencoblos atau tidak itu urusan belakangan. Toh, warga hanya menerima jika diberi, tidak meminta.
Pemilik nama yang tercantum pada stiker minyak goreng belum memberi kode akan adanya uang ”serangan fajar”. Seandainya tidak ada lagi caleg yang memberi bantuan ataupun uang, Ijum pada 14 Februari 2024 akan mencoblos caleg DPRD Kota Samarinda tersebut.
Apalagi, jika caleg pemberi sembako itu juga mengucurkan amplop. ”Kalau ada yang kasih uang lebih besar, ya, tergantung ha-ha-ha...,” ujar Ijum.
Minyak goreng atau komponen sembako lain umumnya diberikan sebagai ”menu pembuka” sebelum mengucurnya uang tunai kepada para pemilih menjelang pencoblosan.
Kucuran dana segar kepada pemilih seperti sudah kewajiban. Pada Pemilu 2019, misalnya, Ijum menerima Rp 200.000 dari tim salah satu caleg. Ia berkomitmen mencoblos caleg itu, tetapi tidak tahu kabar selanjutnya apakah si caleg lolos atau tidak. Bagi dia dan keluarganya, lebih baik mencoblos yang memberi uang daripada jadi ”golongan putih” (golput).
Kalau bantuan ndak ada uangnya, haihh sama saja. (Abdul)
Fenomena serupa juga berjalan di Kelurahan Sungai Keledang, Kecamatan Samarinda Seberang. Salah satu warganya, Rusnani (50), pada Pemilu 2019 menerima Rp 200.000 dari salah satu caleg DPRD Provinsi Kalimantan Timur.
Rusnani mau menjadi sasaran politik uang lebih dari satu caleg asalkan caleg berasal dari kategori yang berbeda. Dengan demikian, ia terbuka terhadap setidaknya tiga caleg, yaitu yang berkontestasi untuk kursi DPRD Samarinda, DPRD Kaltim, dan DPR RI.
Jika ada tawaran dari caleg yang bersaing di level sama, Rusnani memilih salah satu di antaranya. Sebab, ia berkomitmen mencoblos caleg yang uangnya dia terima. ”Kasihan kalau sampai tidak dipilih. Istilahnya uang sudah sampai kita makan, kan. Merasa ada utang,” katanya.
Rusnani mengutamakan tawaran dari caleg yang dikenalnya terlebih dahulu. Seandainya belum mengenal, ia memprioritaskan caleg yang anggota timnya orang dekat atau tetangga.
Baca juga: Caleg DPR Membajak Program Bantuan Sosial
Di Kabupaten Kutai Kartanegara, respons warga terhadap politik uang tak jauh berbeda. Abdul, salah satu perangkat desa di Kecamatan Loa Janan, mengakui, politik uang menjadi salah satu kriteria utama bagi warga dalam memilih caleg. Pada 2019, lanjut Abdul, rata-rata satu pemilih mendapatkan Rp 200.000 dari satu caleg.
Meskipun warga tetap akan mempertimbangkan figur caleg yang memiliki kontribusi terhadap pembangunan di desa, ada tidaknya uang tetap menjadi penentu. ”Kalau (kasih) bantuan ndak ada uangnya, haihh sama saja,” kata Abdul.
Menanti caleg datang dengan amplop jadi referensi sebagian warga saat menjatuhkan pilihan pada hari pencoblosan. Sebagian warga bahkan tak peduli lantaran menilai caleg yang berkonstelasi pada Pemilu 2024 jumlahnya terlampau banyak. Ada juga warga yang kerap asal-asalan saat menjatuhkan pilihan pada para calon wakil rakyat yang sejatinya berperan menyuarakan aspirasi mereka di parlemen.
Supardi (58), salah satu warga di Kudus, Jawa Tengah, menjadikan momen pemilihan anggota legislatif sebagai salah satu ladang rezeki. Dia tak pasif, tetapi kerap aktif mendatangi para caleg. Tujuannya adalah membantu memenangkan caleg yang dia datangi.
”Ada caleg yang bersedia, biasanya saya bantu untuk pemenangan. Hitung-hitung sebagai kerja sosial,” kata Supardi, saat ditemui akhir Desember 2023 di Kudus, Jawa Tengah.
Meski menganggap bantuan yang dia tawarkan sebagai kerja sosial, Supardi rupanya meraup cuan. Dia tak hanya menawarkan suaranya, tetapi juga aktif merekrut warga lain. Warga yang direkrut itu kemudian ditugaskan untuk mencari lagi suara untuk caleg yang telah didukung Supardi.
”Tim-tim yang saya bentuk itu saya suruh kerja dulu. Memang uang yang akan berbicara, tetapi tidak perlu dibicarakan,” ucapnya.
Di Kota Semarang, Jawa Tengah, Didit (32), salah satu warga dari Kecamatan Genuk, menilai, idealnya caleg dipilih berdasarkan visi misi yang ditawarkan kepada publik. Namun, jumlah caleg yang terlampau banyak dan kerap sama sekali tak dikenal warga menyebabkan dia kerap asal memilih saat berada di bilik tempat pemungutan suara (TPS).
”Sebagai orang awam, saya asal milih. Kan, harus pilih salah satu, yo wis, pilih ae, asal ae,” kata Didit, saat ditemui di Semarang.
Aulia Rahman Hakim, salah satu pengemudi ojek daring, saat ditemui di Kota Padang, biasanya saat hari pencoblosan memilih caleg yang poster atau baliho dinilai paling bersih yang kerap dijumpai di jalanan Kota Padang. Aulia tak memiliki preferensi khusus saat memilih caleg lantaran apatis dan tak peduli dengan kegiatan sosialisasi para caleg di lingkungan tempatnya tinggal.
”Saya biasa lihat yang mukanya bersih saja, atau yang namanya bagus. (Sebab), kalau lihat program, semua sama saja, tidak bakalan terpenuhi,” kata lelaki asal Pariaman tersebut.
Koordinator Akademi Pemilu dan Demokrasi Masykurudin Hafidz berpendapat, sejumlah faktor membuat bagi-bagi uang untuk pemenangan caleg dinilai lumrah. Salah satunya, penegakan hukum terhadap dugaan tindak pidana politik uang rumit sehingga pelaku berpeluang besar untuk mengelak dari sanksi.
Selain itu, jumlah caleg yang bertarung di satu dapil sangat banyak sehingga pemilih butuh waktu mengkaji untuk menentukan siapa yang dicoblos. Pendekatan transaksional menjadi jalan paling mudah untuk merebut perhatian pemilih. ”Pendekatan yang paling diingat itu, ya, pendekatan langsung dan pendekatan yang sifatnya materi,” ujarnya.
Masykur memandang saat ini sulit untuk mencapai situasi ideal, yaitu tidak ada transaksi materi sama sekali antara peserta pemilu dan pemilih. Karena itu, ia merekomendasikan solusi-solusi yang realistis untuk diterapkan dalam jangka pendek.
Terhadap peserta pemilu, Masykur menyarankan mereka mengganti bagi-bagi uang dengan pembagian benda yang bisa dikategorikan sebagai bahan kampanye, seperti jilbab, buku, dan pakaian, selama belum melampaui nilai maksimal berdasarkan regulasi. Jika diundang ke suatu acara, alih-alih memberikan uang untuk transportasi dan konsumsi, peserta pemilu bisa memberikan voucher bahan bakar untuk digunakan di stasiun pengisian tertentu serta menyediakan makanan.
Baca juga: Jalan ”Ninja” Caleg-caleg Kere Bermodal Dengkul
Di sisi lain, Masykur berpandangan, saat ini lebih baik warga menganggap uang sebanyak apa pun dari siapa pun sebagai pemberian cuma-cuma, tidak perlu merasa utang budi di TPS.
Ia mendorong warga untuk mencoblos caleg sesuai kata hati nurani masing-masing, bukan berdasarkan materi yang sudah diterima. ”Kalau sejak awal dia memilih partai A, dia mau dikasih siapa pun terima saja, tapi pilihannya tetap Partai A. Itu mendidik sedikit, tapi lumayan untuk menghukum pemberi,” ujar Masykur.