Skandal C6 Terbongkar karena ”Maling”
(Tulisan 6 dari 16) Praktik mencoblos lebih dari sekali bisa bermula dari penyalahgunaan formulir C6.
Formulir C6 yang dipakai sebagai surat pemberitahuan kepada pemilih masih rentan disalahgunakan dalam pemilu, seperti yang terbongkar di Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Integritas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara menjadi keharusan agar model kecurangan ini tak berulang.
Gang sempit di Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, menjadi saksi peristiwa kecurangan pemilu lima tahun silam. Saat itu, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) bersekongkol dengan tim sukses untuk mendukung pencalonan salah satu caleg. Petugas KPPS menjual dokumen C6 kepada tim sukses.
Belum tuntas bertransaksi, praktik itu gagal. Kami menyusuri kawasan permukiman padat dengan gang selebar kurang dari 4 meter itu, akhir Desember 2023. Jalan itu semakin ke dalam makin sempit dan menanjak, hanya bisa dilalui satu sepeda motor. Di sanalah skandal formulir C6 di Samarinda terbongkar pada hari-H pencoblosan tahun 2019, tanggal 17 April.
Kompas menjumpai saksi mata bernama Wisnu Aditya (35). Kala itu dini hari, katanya. Wisnu dan warga lain sedang ronda. Mereka curiga saat melihat ada dua orang tak dikenal. ”Kami kira mereka maling karena sudah masuk pekarangan rumah orang tanpa izin dan pada dini hari,” kata Wisnu.
Warga memanggil keduanya, tetapi mereka malah kabur menuju motor mereka.
Warga mengejar dan berhasil menangkap para terduga maling. Salah satunya lalu diketahui berinisial DG (33). ”Kami takut dia bawa badik. Kami suruh buka satu-satu bajunya. Kami cek semuanya, (termasuk) celananya,” ujar Wisnu.
Warga juga menggeledah tas DG dan menemukan uang puluhan juta rupiah dan bahan kampanye caleg. Hal itu membuat Wisnu yakin DG mau melancarkan serangan fajar sehingga ia melaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Samarinda.
Bawaslu merekam peristiwa ini dalam dokumen Kajian Dugaan Pelanggaran Pemilu yang diakses Kompas Desember lalu. DG bagian dari tim sukses calon anggota legislatif di tingkat Kota Samarinda, SD, yang tandem dengan satu caleg DPRD Provinsi Kalimantan Timur dan satu caleg DPR RI.
Baca juga: Caleg DPR Membajak Program Bantuan Sosial
Dokumen merinci barang bukti di tas DG terdiri dari uang total Rp 40,4 juta, 41 lembar formulir C6, kartu nama ketiga caleg, surat pernyataan dukungan, daftar alamat TPS, serta daftar nama saksi.
Formulir C6 merupakan surat pemberitahuan pemungutan suara kepada warga yang namanya tercatat di daftar pemilih tetap (DPT). Biasanya, ada C6 yang tidak terpakai karena ada warga yang sudah meninggal, pindah, tidak diketahui keberadaannya, atau data ganda. C6 tak bertuan semacam itulah yang rentan disalahgunakan.
Bawaslu Samarinda bersama kepolisian dan kejaksaan dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) memeriksa DG dan sejumlah saksi. Namun, ketiga instansi berbeda pendapat terkait bukti pelanggaran DG. Kasus dihentikan dan DG bebas dari pidana.
Joki pemilihan
Tim Kompas lantas mengonfirmasi DG pada suatu malam di kafe area Samarinda Utara. DG tidak memungkiri, ia dan temannya ditangkap warga saat sedang merancang penyalahgunaan C6 untuk dipakai joki mencoblos caleg-caleg usungan DG di tempat pemungutan suara (TPS).
”Saya tegaskan lagi, itu bukan serangan fajar, tetapi memang sama-sama kecurangan sih (menyalahgunakan formulir) C6,” katanya.
DG berinisiatif mencoba cara itu karena tahu tim sukses caleg partai-partai lain menerapkannya. Anggota timnya lantas memberi tahu, seorang ketua KPPS di Samarinda Utara berinisial NW mampu menyediakan formulir C6 yang tidak terpakai. DG juga coba mencari formulir C6 dari KPPS lain, tetapi yang tersedia hanya pada NW.
Pada 17 April 2019 dini hari, ia datang ke rumah NW mengambil puluhan lembar formulir C6. Namun, ia belum menyiapkan dana untuk menebusnya. Uang tunai puluhan juta rupiah yang ada di tasnya sudah dialokasikan untuk biaya saksi partai di beberapa TPS.
Menurut DG, saat itu belum ada kesepakatan harga dengan NW. ”Sudah bawa dulu saja, masalah uang nanti saja. Kita saling percaya,” kata DG mengingat jawaban NW saat itu.
Beda keterangan
Kompas kemudian mendatangi NW di rumahnya. NW memberikan keterangan yang berbeda. Dia membantah ada kesepakatan soal formulir C6. Ia mengaku tidak tahu asal-usul 41 formulir C6 di tas DG.
NW malah menyebut DG datang ke rumahnya menjelang pemungutan suara saat itu untuk minta bantuan bagi-bagi uang ke pemilih. ”Katanya untuk serangan fajar sebesar Rp 100 juta. Dilihatkan ranselnya itu ke saya,” katanya.
NW mengklaim, dia tegas menolak. Ia menyuruh DG segera pergi lewat pintu belakang membawa uang itu yang lantas berujung pada penangkapan oleh warga.
Baca juga: Jalan Ninja Caleg-caleg Kere Bermodal Dengkul
DG tetap pada pengakuannya, yakni tidak ada politik uang pada hari pencoblosan, tetapi ada kesepakatan soal formulir C6 dengan NW. Setelah menerima puluhan lembar surat C6, ia belum langsung tahu proses selanjutnya seperti apa.
Ia masih bimbang siapa orang-orang yang bakal dijadikan joki pemilihan berbekal surat-surat itu. Dalam benaknya, ia berencana memasang sejumlah anggota timnya untuk menjadi calo. Sekali lagi, rencana tinggal rencana karena warga keburu menyergapnya.
Pasal 532 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan peserta pemilu tertentu mendapat tambahan suara dipidana dengan pidana penjara maksimal 4 tahun dan denda maksimal Rp 48 juta.
Adapun di Pasal 533, setiap orang yang mengaku sebagai orang lain atau memberi suara lebih dari satu kali di satu TPS atau lebih dipidana penjara maksimal 1 tahun 6 bulan dan denda maksimal Rp 18 juta.
Sudah bawa dulu saja, masalah uang nanti saja. Kita saling percaya.
SD, caleg DPRD Samarinda Pemilu 2019 yang diusung DG, menyatakan tak pernah menginstruksikan timnya menyalahgunakan C6. Ia tidak tahu DG akan mengeksekusi rencana semacam itu.
Namun, menurut SD, rencana yang belum terealisasi itu bukanlah pelanggaran karena setelah itu kasus tersebut dihentikan. ”Mungkin arahnya ke sana (menyalahgunakan C6), tetapi, kan, tak terjadi,” ujar SD.
Ditanya terpisah, Ketua Bawaslu Samarinda Abdul Muin mengatakan, DG sudah memiliki niat curang karena telah membawa puluhan lembar formulir C6. Namun, karena keburu tertangkap, DG tak jadi menyalahgunakan serta belum sempat memberikan uang kepada NW.
”Mengapa kemudian ini tak dapat terproses? Ya, sekali lagi bahwa memang itu (uang untuk membeli C6) belum tersalurkan. Belum terjadi, tapi niat sudah ada,” kata Muin.
Di mana-mana
Muin mengaku baru sekali menemukan kasus rencana penyalahgunaan formulir C6 tak bertuan sepanjang kariernya dalam penyelenggaraan pemilu. Namun, pemberitaan terkait Pemilu 2019 di sejumlah daerah menunjukkan sebaliknya.
Penyalahgunaan atau dugaan penyalahgunaan C6 juga terjadi di Banda Aceh (Aceh), Mandailing Natal (Sumatera Utara), Kabupaten Bekasi (Jawa Barat), dan di Tabanan (Bali). Selain itu, ada pula di Bulungan (Kalimantan Utara), Kabupaten Buton (Sulawesi Tenggara), Nusa Tenggara Timur, serta Jayapura (Papua).
Di Banda Aceh, hakim pengadilan negeri menjatuhkan vonis penjara enam bulan dan masa percobaan satu tahun kepada seorang pengguna C6 dengan nama orang lain yang mencoblos pada 17 April 2019.
Penyalahgunaan formulir C6 terkait pula dengan integritas KPPS. Karena itu, Abdul Muin meminta semua penyelenggara pemilu bekerja hanya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi.
”Jangan neko-nekolah,” ujarnya. Muin meminta para personel KPPS mengembalikan surat pemberitahuan pemungutan suara yang tidak terpakai sehari sebelum pencoblosan agar tidak ada peluang yang disalahgunakan.
Regulasi KPU terbaru, yakni Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 25 Tahun 2023 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu, hanya menyebut surat pemberitahuan pemungutan suara, bukan lagi menyebut dengan istilah formulir C6.
Baca juga: Kinerja DPR Anjlok di Tengah Masa Kampanye
Ke depan, penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan tim suksesnya, serta para pemilih perlu belajar dari skandal C6 di Samarinda yang terjadi pada tahun 2019. Putusan pengadilan di Aceh menjadi bukti bahwa penjara menanti mereka yang hendak menyalahgunakan formulir C6.