Pesan Pemilu Damai dari ”Lorong Waktu Minangkabau”
(Tulisan 13 dari 16) Masyarakat Minangkabau menganut filosofi hidup kontekstual-proporsional serta menghindari konflik.
Oleh
VAN/FRD/JOG/ILO
·4 menit baca
Patung perempuan atau Bundo Kanduang setinggi 4 meter berdiri anggun di pintu masuk Kampung Adat Nagari Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat, Senin (18/12/2023) siang. Mentari malu-malu muncul dan lingkungan kampung yang bersih kian menambah keelokan patung dengan pakaian adat Sumatera Barat itu.
Kondisi kampung adat yang berada di Jorong Koto Padang Ranah dan Tanah Bato, Nagari Sijunjung, siang itu cukup bersih. Di kiri dan kanan jalan, berjejer puluhan rumah gadang atau rumah adat tradisional Minangkabau. Arsitektur rumah-rumah adat itu unik lantaran atapnya didesain menyerupai tanduk.
Kami tidak pernah ada persoalan pemilu, selalu adem. Memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat tergantung hati nurani masing-masing. Warga silakan memilih.
Kampung Adat Nagari Sijunjung, yang dikenal pula dengan sebutan ”Lorong Waktu Minangkabau” itu, pada Desember 2022, dikukuhkan sebagai kampung pemilu. Pengukuhan itu, menurut Wali Nagari Sijunjung Rajilis, didasarkan pada sejarah panjang warga Nagari Sijunjung yang tak pernah berpolemik dalam setiap perhelatan pemilihan umum.
”Kami tidak pernah ada persoalan pemilu, selalu adem. Memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat tergantung hati nurani masing-masing. Warga silakan memilih,” kata Rajilis saat ditemui pada Senin (18/12/2023).
Kebebasan warga dalam menjalani pemilu juga tergambar dari tidak adanya satu pun warga Nagari Sijunjung yang pernah duduk sebagai anggota DPRD. Padahal, dalam setiap perhelatan pemilu, selalu ada warga yang maju sebagai calon anggota legislatif di tingkat Kabupaten.
Pada Pemilu 2024 saja, Rajilis menyebut, 23 warganya maju sebagai caleg. Namun, pemerintah desa atau nagari membiarkan para caleg itu bertarung secara bebas merebut hati warga.
”Di Nagari Sijunjung, ada 8.000 daftar pemilih tetap (DPT). Itu, kalau dikondisikan, ada empat orang yang bisa duduk sebagai anggota DPRD mewakili nagari kami,” katanya.
Tak adanya keinginan dari pemerintah nagari ataupun tokoh masyarakat serta tokoh adat untuk memobilisasi warga merupakan bagian dari kedewasaan politik tokoh-tokoh terkemuka di Sijunjung. Kesadaran itu muncul karena jika ada mobilisasi, maka potensi rusaknya persaudaraan dan sendi-sendi demokrasi bakal terbuka lebar.
”Kami tidak anti (dengan) pemilu. Pemilu tetap berjalan. Tahap-tahapnya pun kami ikuti. Tetapi, rasa kebersamaan, kekeluargaan, dan adat sebagai benteng,” ujarnya.
Peran ninik mamak
Ketua Bundo Kanduang Kabupaten Sijunjung Yasnidar Wahab, ditemui terpisah, mengatakan, ninik mamak atau pemimpin adat menempati posisi strategis dalam lingkungan masyarakat. Di Kampung Adat Sijunjung, ada enam suku. Setiap suku memiliki lebih dari satu rumah gadang.
”Di dalam satu suku, ada kaumnya. Jadi, satu suku tidak satu rumah gadang. Maka di sini, ada enam suku, rumah gadangnya ada 76 unit,” katanya.
Di Sijunjung, enam suku atau klan itu terdiri dari Chaniago, Piliang, Malayu, Tobo, Panai, serta Malayu Tak Timbago. Tiap suku terbagi dalam beberapa kaum, dan setiap kaum itu dipimpin oleh ketua adat bernama ninik mamak. Ninik mamak berperan dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat, termasuk menjaga keutuhan dan persaudaraan sesama kaum.
”Di Minang, ada istilah badul sanak, (artinya) bersaudara. Jadi, boleh kita berbeda pilihan, tetapi selalu disampaikan ninik mamak, jangan terjadi pula perpecahan karena beda memilih,” ucapnya.
Kepentingan bangsa
Kesadaran hidup berdampingan dan menciptakan pemilu damai merupakan kearifan lokal yang hidup dan berkembang di masyarakat Minangkabau. Mereka memiliki beragam nilai atau filosofi kehidupan sebagai pagar atau benteng yang telah dipelihara sejak dahulu kala.
Ahli kajian budaya Minangkabau Universitas Andalas, Hasanuddin, saat dihubungi pada Kamis (11/1/2024), mengatakan, bentuk kesatuan sosial budaya, termasuk politik, tertinggi di Minangkabau berupa nagari. Sebuah nagari bersifat otonom dan dibentuk oleh setidaknya empat suku.
Mereka tidak akan bertindak seperti ungkapan adat mereka, ’harapkan guntur di langit air di tempayan ditumpahkan’, atau disebabkan tikus seekor lumbung yang dibakar.
”Kekerabatan di nagari, selain karena seketurunan sesuku, juga terbentuk oleh perkawinan saling silang antarsuku. Dalam sebuah nagari nyaris tidak ada yang tak memiliki hubungan kekerabatan satu sama lain,” ucap Hasanudin.
Orang Minangkabau juga menganut filosofi hidup kontekstual-proporsional. Artinya, selain melindungi dan memperjuangkan kaum atau suku, mereka juga memperjuangkan dan melindungi kepentingan nagari atau bangsa.
”Filosofi itu tergambar dalam ungkapan tagak bakaum mamaga kaum, tagak basuku mamaga suku, tagak banagari mamaga nagari, tagak babangso mamaga bangso. Pemilu adalah tagak babangso, maka wajib dijaga agar terlaksana dengan baik dan sukses,” kata Hasanudin.
Upaya menjaga secara dinamis dua kepentingan yang kerap berbeda itu memang tak mudah. Namun, orang Minangkabau punya pegangan nilai yang dikenal dengan istilah nan bana atau kebenaran secara insaniah dan ilahiah. Kebenaran insaniah diukur dengan dua parameter, yakni alua jo patuik. Alua adalah pertimbangan akal sehat dan patuik adalah pertimbangan perasaan berdasarkan asas kepatutan atau kepantasan. Sementara itu, kebenaran ilahiah bersumber dari ketetapan Allah.
Hasanudin mengungkapkan, bagi orang Minangkabau, perbedaan merupakan takdir yang tak bisa diubah. Artinya, setiap manusia memiliki kecenderungan, perasaan, dan karakter yang berbeda satu sama lain.
”Petatah mereka menyatakan, kapalo mehitam pandapek balain-lain (kepala memang sama hitamnya, tetapi pikiran berbeda-beda). Ekspresi perbedaan perlu dijaga agar tidak melanggar asa kepatutan atau kepantasan agar tidak meimbulkan perpecahan di tengah masyarakat,” katanya.
Menurut Hasanudin, dari beragam kearifan lokal di atas, tidak rasional dan tidak patut orang Minangkabau mengorbankan kepentingan yang lebih besar dari persaudaraan. ”Mereka tidak akan bertindak seperti ungkapan adat mereka, ’harapkan guntur di langit air di tempayan ditumpahkan’, atau disebabkan tikus seekor lumbung yang dibakar,” ujarnya.