Lebah-lebah Penyengat Nasabah Pinjol dan Pemberi Utang
Manisnya madu bunga-bunga pinjaman membuka peluang baru tidak hanya bagi para pemodal tekfin pinjol, tetapi juga lapangan kerja bagi penagih utang.
Oleh
SATRIO PANGARSO WISANGGENI, ALBERTUS KRISNA, SRI REJEKI
·5 menit baca
Manisnya madu bunga-bunga pinjaman menggiurkan pengelola pinjaman online alias pinjol. Debt collector atau penagih utang bisa disebut sebagai lebah perusahaan pinjol, yang meminta nasabah mengembalikan pinjaman sekaligus bunganya. Mereka menjadi aktor paling disorot pada ekosistem pinjol.
Terdorong kebutuhan hidup, Dendi (32) meninggalkan profesi sebagai guru SD dan menjadi debt collector alias penagih utang, dua tahun silam. Ia tak lagi mengajar di hadapan murid, tetapi berhadapan dengan nasabah yang menunggak utang. Gajinya sebagai guru yang kurang dari Rp 3 juta tak cukup untuk memenuhi kebutuhannya setelah menikah dan memiliki anak.
Mengawali pekerjaan sebagai penagih utang, pria asal Kupang, Nusa Tenggara Timur, itu merasa canggung. Biasanya mengajar murid SD, ia kini harus menghadapi orang-orang yang justru tak mengharapkan kedatangannya. Mendengar kata penagih utang saja, banyak orang muak dan benci.
Ketika pertama kali menghadapi orang membentak dan mengusirnya, Dendi belum dapat menahan emosinya. Pada 2021, ia berkelahi dengan nasabah pinjol.
Perkelahian terhenti setelah warga mengamankannya di pos RW, di kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. ”Kalau begini terus, saya bisa masuk penjara. Anak istri bagaimana,” tutur Dendi di sebuah rumah makan di kawasan Jakarta Selatan, Senin (6/11/2023).
Malam itu, ia tampak seperti laki-laki muda biasa, tidak terlihat seram. Potongan rambutnya cepak dan berkumis tipis dengan sweater. Jejak seramnya hanya terlihat dari tato pada buku-buku jarinya.
”Kalau begini terus, saya bisa masuk penjara. Anak istri bagaimana."
Dendi hanya bisa ditemui malam hari, seusai berkeliling menagih utang ke nasabah. Dalam sehari, rata-rata ia mendatangi enam nasabah. Wilayah kerjanya disesuaikan dengan tempat tinggalnya. Ia bertanggung jawab untuk wilayah Jakarta Selatan hingga Depok, Jawa Barat.
Selama bekerja, Dendi mengandalkan ponsel. Lewat aplikasi khusus sebagai penagih utang, informasi nama dan alamat nasabah yang ditagih muncul di ponsel. Setidaknya, ada 120 nama dan alamat yang harus ia datangi tiap bulan.
Pada tahap awal, ia harus menemukan alamat peminjam, lalu membujuk mereka melunasi utang. Sebelum menemui nasabah, Dendi memperhatikan kondisi rumah untuk menilai apakah nasabah memang tidak mampu atau sekadar tak ingin membayar utang. ”Saya mengingatkan supaya bayar utang. Kalau sudah buntu, tidak bisa membayar, ya, sudah saya lepas juga,” kata Dendi.
Dari angsuran yang dibayarkan peminjam, ia mendapat komisi 15-18 persen. Pendapatan per bulannya tentu naik turun, tergantung keberhasilannya menarik tagihan.
Dalam sebulan, ia mendapat Rp 5 juta atau hampir dua kali lipat gajinya dahulu sebagai guru SD. ”Saya enggak bingung memikirkan biaya sekolah anak. Malah sekarang mulai terpikir beli rumah yang murah saja di kampung,” kata Dendi.
Tak semanis madu
Jika Dendi adalah lebah yang mengumpulkan madu bunga pinjaman, Joni (45) adalah pihak yang merasakan manisnya madu. Ia bukan penagih utang, melainkan pemberi pinjaman di aplikasi tekfin pinjaman antarpihak (peer to peer/P2P lending). Joni menjalani debut sebagai pemberi pinjaman tahun 2020, bersamaan dengan merebaknya virus Covid-19.
Karyawan swasta di Jakarta Pusat ini memiliki alasan khusus yang membuatnya justru memilih instrumen investasi P2P di masa pandemi. ”Waktu itu, hampir semua instrumen investasi yang aku tahu, berguguran. Yang memberikan imbal hasil cukup besar, peer to peer lending,” ungkap Joni.
Imbal hasil yang ditawarkan mulai dari 7 hingga 19 persen per tahun sesuai tingkat risiko peminjam. Joni menjelaskan, ada empat tingkat risiko, yakni A-B-C-D. Peminjam dengan tingkat A memiliki risiko gagal bayar paling rendah dengan bunga 7-9 persen. Tingkat D memiliki risiko gagal bayar paling tinggi, dengan bunga 15-19 persen.
Awalnya, Joni meminjamkan Rp 1 juta, setelah berjalan lancar ia tambah lagi hingga total Rp 4 juta. ”Aku masih menguji seberapa bagus ini. Makanya, enggak berani langsung gede,” jelas Joni.
Ia hanya meminjamkan uangnya untuk usaha, bukan untuk pinjaman kebutuhan pribadi. Dengan prinsip kehati-hatian, Joni berhasil memperoleh imbal balik hingga 10 persen hanya dalam waktu 7-8 bulan. Suatu saat, Joni tergiur memberi pinjaman di tingkat risiko C dengan bunga lebih besar.
"Waktu itu, hampir semua instrumen investasi yang aku tahu, berguguran. Yang memberikan imbal hasil cukup besar, peer to peer lending."
Tidak berselang lama, banyak pinjaman yang macet pembayarannya. Ia menunggu lama sampai asuransi mengembalikan uangnya. Itu pun tidak semua karena asuransi hanya mengembalikan 60 persen dari total uang yang dipinjamkan Joni.
Pada bulan ke-11, Joni berhenti meminjamkan uangnya di P2P lending. ”Aku hilang 40 persen. Lebih banyak yang hilang daripada yang aku dapatkan,” keluh Joni. Dari sini, ia belajar mengendalikan keserakahan menangguk untung besar.
Pengalaman serupa dialami Siti (50), warga Tangerang Selatan, yang pernah menjadi pemberi pinjaman di tiga aplikasi P2P lending sejak tahun 2018. Ia mencoba P2P lending untuk investasi. ”P2P lending, kan, barengan keluarnya dengan crowdfunding, jadi aku coba juga,” ungkap Siti.
Aku hilang 40 persen. Lebih banyak yang hilang daripada yang aku dapatkan.
Ia memberikan pinjaman hanya untuk pembiayaan bisnis, bukan untuk penggunaan pribadi. Ia hanya meminjamkan Rp 100.000 hingga Rp 200.000 untuk setiap pinjaman guna mengurangi risiko gagal bayar.
Siti juga tidak pernah mengambil pendanaan dengan tenor yang terlalu panjang, maksimal 3 hingga 4 bulan. ”Itu mitigasi risikonya. Aku ambil yang kecil-kecil dan tidak lama,” kata Siti.
Strategi itu berbuah manis dengan imbal hasil hingga 17 persen per tahun dari total Rp 10,9 juta uang yang ia pinjamkan dari salah satu aplikasi P2P lending. Situasi berubah pada 2020 saat pandemi Covid-19 melanda.
Banyak penerima pinjaman Siti mengalami gagal bayar. Ia pun memutuskan menarik satu per satu dana pinjaman dari ketiga aplikasi. Masih ada Rp 3,2 juta uang miliknya yang belum dibayarkan peminjam. ”Bagaimana lagi, namanya juga risiko,” ujar Siti.