Lebih Banyak Terpapar Polutan di Kota Metropolitan
Kualitas udara desa dan kota kecil tidak sebersih yang diperkirakan. Keberadaan ruang terbuka hijau juga tidak menjamin udara di sekitarnya bebas dari polusi.
Warga melintas di areal persawahan dengan latar belakang kompleks balkondes yang disewakan untuk penginapan di Desa Wanurejo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (15/11/2019).
Bergembiralah warga desa Indonesia! Kondisi udara di desa dan kota kecil Indonesia lebih bersih dibandingkan dengan kota metropolitan. Namun, kondisi udara bersih perdesaan tidaklah seideal yang kita pikirkan.
Analisis tim jurnalisme data Kompas menunjukkan bahwa hanya ada 24,6 persen populasi usia kerja Indonesia yang secara rata-rata menikmati udara sehat setiap tahunnya. Selebihnya, sekitar 75,4 persen lainnya, menikmati udara yang tergolong tidak baik; di atas ambang baku mutu ambien Indonesia, 15 µgram per m3.
Angka ini didapatkan dengan menganalisis rata-rata data PM2.5 dari SEDAC NASA Amerika Serikat tahun 1998-2019 dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Badan Pusat Statistik 2021 (BPS). Sakernas tidak menghitung seluruh populasi Indonesia, tetapi hanya mereka yang berada dalam usia kerja, yakni 15-64 tahun.
Kategori desa mengacu definisi BPS yang merupakan daerah dalam batas wilayah kabupaten. Kota kecil, yaitu daerah dalam batas wilayah kota dengan jumlah penduduk kurang dari 1 juta jiwa. Sementara kota metropolitan merupakan kota dengan penduduk lebih dari 1 juta jiwa.
Baca juga :Warga Kota Indonesia Hidup dengan Polusi Udara
Pengendara terjebak kemacetan di Jalan KH Hasyim Ashari, Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (8/11/2021).
Warga di desa dan kota kecil lebih beruntung dibandingkan dengan kota metropolitan karena udara sehat masih dapat dihirup hingga 27,9 persen penduduknya. Sementara itu, hanya 4,2 persen warga di kota metropolitan yang dapat menikmati hal serupa.
Meski demikian, tidak sedikit warga desa dan kota kecil juga terpapar udara tidak sehat. Sebagian besar penduduk di sana sebesar 33,5 persen justru rutin terpapar udara dengan ambang baku mutu PM 2,5 antara 15-25 µgram per m3.
Namun, kondisi ini masih lebih baik dibandingkan dengan warga di kota metropolitan. Sehari-hari mayoritas warga di sana sebesar 43,6 persen harus pasrah menikmati udara dengan PM 2,5 antara 56-65 µgram per m3 atau empat kali dari batas maksimal udara baik.
Bahkan, ada 7 dari total 18 kota metropolitan di Indonesia yang lebih dari 97 persen penduduknya terbiasa menghirup udara dengan PM 2,5 antara 56-65 µgram per meter kubik ini. Sebut saja Kota Bandung, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Jakarta Selatan, Kota Jakarta Timur, Kota Bekasi, dan Kota Tangerang Selatan.
Tingkat kegiatan ekonomi juga bisa menjadi salah satu faktor yang menjelaskan disparitas antara kondisi di desa dan kota kecil dengan kota metropolitan tersebut.
RTH bukan jaminan udara bersih
Sementara itu, di kota, keberadaan ruang terbuka hijau atau RTH yang luas selayaknya mengemulasi kondisi di perdesaan, bukan jadi solusi yang tepat untuk menyerap polutan yang beterbangan.
Kompas membandingkan tingkat polusi PM 2,5 dari data satelit antara dua tipe wilayah, yakni area yang memiliki RTH dan wilayah yang padat bangunan di suatu kota besar.
Perbandingan ini dilakukan di enam kota, yakni Jakarta Selatan; Bandung, Bogor, dan Cimahi di Jawa Barat; lalu Malang dan Surabaya di Jawa Timur. Setiap kota menggunakan luas sampel yang sama seluas 240 hektar yang dibagi menjadi dua tipe wilayah.
Baca juga :Polusi Udara Perpendek Usia Warga Kota 43 Tahun
Bersepeda di salah satu kawasan ruang terbuka hijau di Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu (20/10/2021)
Hasil analisis dari sampel enam kota ini menunjukkan bahwa keberadaan RTH di tengah kota tidak terlalu berpengaruh pada tingkat konsentrasi PM 2,5 di area sekitarnya.
Contoh di Jakarta Selatan, sampel area di kawasan Taman Margasatwa Ragunan dengan luas RTH 65,3 persen menunjukkan PM 2,5 rata-rata sebesar 77,4 µgram per m3. Hanya selisih sedikit ketimbang sampel di kawasan yang padat bangunan di sebelahnya dengan luas RTH 18,6 persen memiliki nilai PM 2,5 rata-rata 78,2 µgram per m3.
Bahkan, sebaliknya pada sampel di Kecamatan Dukuhpakis, Kota Surabaya. Area dengan luas RTH sebesar 72,9 persen memiliki PM 2,5 rata-rata 33,2 µgram per m3. Angka ini justru lebih tinggi dibandingkan dengan sampel di sebelahnya dengan luas RTH 16,3 persen yang hanya memiliki nilai PM 2,5 rata-rata 32,8 µgram per m3.
Secara keseluruhan dari enam sampel yang diukur di enam kota besar, antara luas RTH dan rata-rata nilai PM 2,5 tetap memiliki korelasi positif meskipun sangat lemah, yaitu hanya 0,2.
Baca juga :Di Dalam atau di Luar Ruangan Sama-sama Terpapar Polutan
Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung Prof Puji Lestari setuju bahwa secara umum, di Indonesia saat ini, kadar polusi perdesaan relatif lebih rendah ketimbang perkotaan.
Namun, menurut dia, sebetulnya di kawasan rural atau perdesaan, juga terdapat sumber polutan. Pembakaran lahan dan sampah menjadi tersangka utamanya.
Sudawiyah (60) membersihkan dedaunan di halaman rumahnya di Dusun Jowahan, Desa Wanurejo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (15/11/2019).
Ibu-ibu dan anak-anak yang sering berada di depan kompor sangat rentan terhadap eksposur polusi udara.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat Meiki W Paendong pun juga sepakat dengan pandangan ini. ”Di desa, penurunan kualitas udara juga terjadi, terutama akibat praktik membakar di bidang pertanian, dapur, dan pembakaran sampah,” kata Meiki.
Bahkan, untuk aspek polusi udara dalam ruangan, warga perdesaan lebih besar risikonya terpapar polusi udara jenis tersebut. Ini karena bahan bakar yang digunakan memasak dan bentuk rumah yang masih tradisional. Sering kali, kayu bakar atau arang masih menjadi pilihan bahan bakar untuk memasak ketimbang gas LPG atau listrik.
Kelompok ibu dan anak-anak disebutnya secara khusus menjadi kelompok paling rentan polusi udara di perdesaan.
”Ibu-ibu dan anak-anak yang sering berada di depan kompor sangat rentan terhadap eksposur polusi udara. Terutama di desa, ruang keluarga dan dapur biasanya tidak terpisah sehingga anak-anak yang berada di rumah juga berisiko terpapar,” kata Prof Puji.
Kebijakan kurang berpengaruh
Terkait dengan keberadaan RTH dan tingkat polusi, Prof Puji juga membenarkan bahwa kebijakan penanaman pohon, yang sering digunakan sebagai salah satu program pemerintah untuk menanggulangi polusi udara perkotaan, sebetulnya tidak terlalu berpengaruh.
Penanaman pohon ini estetik, tetapi tidak bisa ’reduce’ banyak. Lebih baik mengurangi dari sumbernya. Ini karena tidak semua pohon bisa menyerap polutan PM.
Puji mengatakan, memang keberadaan pohon di perkotaan membuat kota lebih nyaman, tetapi konsentrasi polutan PM 2,5-nya akan susah ditanggulangi hanya melalui penanaman pohon.
Menurut dia, kebijakan paling tepat untuk mengurangi persebaran konsentrasi PM 2,5 yang tinggi adalah mengurangi sumber polusinya.
”Penanaman pohon ini estetik, tetapi tidak bisa reduce banyak. Lebih baik mengurangi dari sumbernya. Ini karena tidak semua pohon bisa menyerap polutan PM,” kata Puji.
Selain itu, jangan sampai keberadaan RTH yang banyak dan luas langsung dijadikan dasar asumsi bahwa lingkungan tersebut bersih udaranya. ”Jangan-jangan kita anggap daerah tersebut clean, tetapi ternyata ada polusi udara terkirim dari daerah tetangga,” kata Puji.
Baca juga : Regulasi Polusi Udara Tidak Relevan