Anak buah kapal migran yang menjadi korban TPPO hidup penuh ketidakpastian di penampungan. Mereka menanti selama berbulan-bulan tanpa ada kejelasan kapan bekerja.
Oleh
DVD/FRD/JOG/ILO
·3 menit baca
Nasib naas menimpa calon anak buah kapal yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang sejak dari penampungan. Mereka tidak digaji, bahkan harus berutang agar bisa bertahan hidup selama di penampungan.
Rofli (31) merasakan getirnya hidup di penampungan selama berbulan-bulan. Pria asal Manado, Sulawesi Utara, ini sempat dijanjikan bekerja di kapal ikan China dengan gaji 550 dollar AS (setara Rp 8,2 juta) per bulan oleh salah satu perusahaan penyalur (manning agency) yang berkantor di Pemalang, Jawa Tengah. Namun, janji itu tak kunjung ditepati.
Rofli awalnya mendapat info dari temannya bahwa ada lowongan kerja untuk menjadi anak buah kapal (ABK) ikan dari sebuah perusahaan penyalur awak kapal perikanan di Pemalang, Jawa Tengah.
Bermodalkan niat untuk mengadu nasib, Rofli akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Pemalang dan tiba pada 1 Februari 2023.
Begitu tiba di kantor perusahaan, dokumen pribadi Rofli diminta sebagai persyaratan, seperti kartu tanda penduduk (KTP), kartu keluarga, paspor, akta kelahiran, dan buku pelaut. Adapun berkas yang belum dimiliki Rofli akan diurus oleh perusahaan.
”Seminggu kemudian saya diminta medical check up dan menunggu panggilan kerja. Selama menunggu, saya tinggal di penampungan milik perusahaan,” ujar Rofli, saat ditemui di panti milik Dinas Sosial Provinsi Jawa Tengah, di Kabupaten Semarang, akhir Juni 2023.
Menunggu lima bulan
Namun, setelah menunggu sekitar lima bulan di penampungan, Rofli tidak juga diberangkatkan bekerja. Ia pun mulai curiga terhadap perusahaan penyalur tersebut.
Selama di penampungan, kebutuhan makan dan tempat tinggal Rofli memang sudah disediakan perusahaan. ”Namun, nantinya biaya itu dibebankan ke kami dan dipotong dari gaji setelah kami bekerja,” kata Rofli.
Memasuki bulan keempat, Rofli sudah tidak betah dan ingin keluar dari penampungan. Namun, pihak perusahaan meminta biaya Rp 5 juta sebagai ganti biaya makan dan tempat tinggal selama di penampungan.
Sementara itu, Rofli sudah tidak memiliki uang. ”Saya sudah habis sekitar Rp 6 juta, itu sudah termasuk biaya ongkos tiket pesawat dan bus menuju Pemalang,” katanya.
Bahkan, Rofli sempat terlilit utang dengan meminjam uang ke saudaranya agar dapat bertahan hidup selama di penampungan. Di lain sisi, ia merasa bersalah tidak pernah mengirim uang untuk anak dan istri di rumah.
Hal serupa menimpa Ridel (28), calon ABK asal Jakarta yang melamar kerja ke kapal ikan melalui perusahaan yang sama dengan Rofli. Ridel tahu informasi perusahaan ini dari adiknya yang sudah diberangkatkan pada Januari lalu. Ia dijanjikan bekerja di kapal Taiwan dengan gaji 600 dollar AS (setara Rp 9 juta) per bulan.
Namun, kenyataannya Ridel juga harus menunggu hingga lima bulan di penampungan tetapi tidak kunjung diberangkatkan bekerja.
Ia juga sempat ingin keluar dari perusahaan, tetapi harus menebus sekitar Rp 5 juta supaya berkas-berkas bisa kembali.
Akhirnya, pada 14 Juni 2023, Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Polda Jateng) menangkap pimpinan perusahaan penyalur tersebut karena tidak memiliki surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK).
Sebanyak 12 calon ABK, termasuk Rofli dan Ridel, diserahkan pihak kepolisian ke Pemprov Jateng untuk ditampung sementara sebelum dipulangkan ke daerah asal mereka.
Rofli dan Ridel dapat bernapas lega dibandingkan dengan harus hidup terkatung-katung di penampungan. Di sana mereka dibiarkan menunggu berbulan-bulan terlilit utang tanpa ada kepastian dari perusahaan kapan mulai bekerja.