Mereka yang menempuh jalan pintas adopsi anak menuai masalah di kemudian hari. Masalah itu tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Proses adopsi yang lebih mirip perdagangan bayi ini menyimpan banyak masalah.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM, ANDY RIZA HIDAYAT, ADITYA DIVERANTA, INSAN ALFAJRI, DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
Jalan pintas pengasuhan anak melalui adopsi tanpa landasan hukum kuat berujung pada kompleksitas masalah. Keuntungan para pihak dari proses ini tidak sebanding dengan luka batin yang dialami anak yang diadopsi, orangtua kandung yang terpisah dengan anaknya, dan juga orangtua asuh yang terlanjur sayang pada anak angkatnya.
Meski hidup di Eropa dalam kecukupan ekonomi, Widya Astuti (47) merasa hidupnya ada yang kosong. Puluhan tahun, ia belum bisa menemukan orangtua kandungnya. Widya hanya punya nama, namun dia belum yakin dengan dirinya, termasuk umur dan asal usulnya. “Pencarian saya belum ada hasilnya, sepertinya tidak bisa diselesaikan,” kata Widya dalam percapakan jarak jauh dengan Tim Investigasi Harian Kompas, Maret 2023.
Kini, Widya sedang mengumpulkan informasi tentang adopsi dari Indonesia ke Belanda lewat pemberitaan media tahun 1979 hingga awal 1980-an. Widya sedang menyiapkan langkah hukum yang ditujukan ke Pemerintah Belanda. Barangkali usaha ini dapat menyingkap asal usulnya. “Ini bisa menjadi hal penting bagi saya untuk memutuskan apakah saya mengambil tindakan hukum terhadap Pemerintah Belanda,” katanya.
Dia adalah satu dari ribuan anak Indonesia yang diadopsi ke keluarga Belanda dan sekarang tengah mencari identitas aslinya. Mereka saling menguatkan dan menjalin komunikasi di akun Facebook “Mencari Orang tua Kandung” diikuti 11.000 akun. Di akun ini, terhubung orang-orang yang pernah diadopsi secara ilegal, tidak hanya dari Indonesia ke Belanda, melainkan dari Indonesia juga ke sejumlah negara lain.
Di akun Facebook “Mencari Orang Tua Kandung,” anggota grup berbagi cerita terkait kondisi mereka yang bertahun-tahun terpisah dari orang tua kandungnya di era 1970-1980-an. Pudji Rahayu (43) misalnya, diserahkan ayah kandungnya untuk diangkat pasangan di Belanda tanpa proses legal. Saat ini ia masih mencari ayah kandungnya.
Mengutip data forum Mencari Orang Tua Kandung, ada 3.040 anak Indonesia yang diadopsi ke Belanda pada 1973-1983. “Dari semua orang yang pernah diadopsi ketika itu, baru 30 persen saja yang sudah bertemu orangtua kandungnya, sisanya belum,” kata Ana Van Falen, inisiator Mijn Roots di Indonesia.
Kekalutan orangtua
YH (27), mengalami fase berat dalam hidupnya setelah terpisah dari anak kandungnya. Perempuan yang tinggal di Probolinggo, Jawa Timur ini baru bisa menimang putranya tiga bulan terakhir. Sebelumnya, ia kelimpungan. “Saya seperti orang gila itu, teriak-teriak di rumah orang jam 11 malam minta anak saya dikembalikan,” katanya saat menceritakan perjuangannya mendapatkan anak kandungnya, Selasa (28/3/2023).
Saya seperti orang gila itu, teriak-teriak di rumah orang jam 11 malam minta anak saya dikembalikan
Kekalutan YH terjadi akhir 2022 lalu ketika dia hamil dengan pasangannya yang sudah beristri. Pasangannya tak menghendaki bayi yang di kandungannya. Dalam kepanikan, dia berkonsultasi dengan bidan dan seorang dokter di Probolinggo. Keduanya menyarankannya untuk menyerahkan anaknya ke orangtua angkat.
Dua hari setelah persalinan pada Selasa (9/8/2022), bidan berinisial R memintanya menandatangani dua lembar kertas yang tidak ia baca dengan teliti isinya. Setelah tanda tangan surat itu, YH dilarang R membawa bayinya pulang. “Katanya karena sudah terlanjur tanda tangan surat perjanjian, kalau bawa pulang harus ganti rugi Rp 100 juta,” ujar YH.
Tim mengonfirmasi peran bidan R dalam proses adopsi anak YH melalui Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI) Probolinggo, Nyamiati Ningsih, Rabu (29/3/2023). Nyamiati membantu tim dengan memberikan nomor telepon R. Namun, R tidak merespons konfirmasi melalui telepon maupun pesan singkat yang dikirim. YH mendesak bidan-bidan yang terlibat dalam pengalihan pengasuhan anaknya untuk mengembalikan bayinya.
Di tengah-tengah perjuangannya, YH memperoleh bantuan dari seorang penasihat hukum tanpa biaya. Akhirnya, perjuangannya berhasil. Pihak kepolisian memediasi pertemuannya dengan HA (50) orangtua angkat yang datang dari Kota Surabaya. Semula YH diminta mengganti biaya pengasuhan orangtua angkat Rp 100 juta, namun ia tak dapat memenuhinya. Pihak orangtua angkat pun merelakan bayi itu kembali ke pangkuan YH. Trauma
Meski niatnya tulus, orangtua yang mengangkat anak pun dalam posisi rentan karena tak punya dasar hukum kuat. Mereka dengan mudah dituduh terlibat dalam kasus perdagangan anak. Di Surabaya, HA masih berduka kehilangan anak angkat. Ia berusaha meredakan duka kehilangan bayi yang ia ambil dari YH beberapa waktu lalu.
"Fotonya masih saya simpan semua di HP, biar jadi kenang-kenangan,” katanya ditemui di tokonya di Surabaya. Keluarga besarnya pun sudah sayang pada bayi lelaki itu. HA bahkan sudah menyelenggarakan akikah meriah untuk anak angkat tersebut. HA akhirnya bersedia menyerahkan kembali anak lelaki itu setelah desakan dari ibu kandung dan kepolisian. Ia takut dituduh memperdagangkan anak. Awalnya ia memang meminta ganti rugi Rp 100 juta, namun ia batalkan karena melihat kondisi ibu kandungnya yang tak mampu. Dia masih trauma untuk mengangkat anak lagi.