Akademisi Tergoda Jalan Pintas, Bayar Joki dan Gadaikan Integritas
Cara curang dalam menerbitkan naskah ilmiah di kalangan dosen sangat beragam. Selain membayar jasa sebuah lembaga, ragam lain adalah nama dosen dicatat sebagai penulis korespondensi atau penulis pertama pada penelitian yang tidak dibuatnya.
Oleh
IRENE SARWINDANINGRUM, DHANANG DAVID ARITONANG, INSAN ALFAJRI, ANDY RIZA HIDAYAT
·5 menit baca
Tawaran menggunakan jalan pintas sangat menggiurkan, apalagi terbayangkan akan mendapat tiket naik jenjang kepangkatan. Dosen-dosen yang tak tahan godaan mencobanya dengan risiko kehilangan uang, bahkan integritas.
Penyedia jasa pembuatan karya ilmiah terhubung dengan jaringan pengajar di kampus. Sesama dosen saling menawarkan jalan pintas untuk kenaikan pangkat, juga tiket pencalonan guru besar dengan mengirim artikel ke jurnal internasional. ”Tawaran untuk kampus kami lebih tinggi tarifnya. Mereka tahu, kampus kami memberi insentif untuk dosen yang mampu menerbitkan artikelnya di jurnal terindeks Scopus Q1 dan Q2,” kata WJ, pengajar Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Rabu (18/1/2023), di Medan.
Dia mencontohkah, biaya pengiriman artikel ke jurnal internasional yang melibatkan makelar di kampus negeri Medan Rp 15 juta, sedangkan di UMSU tarifnya Rp 25 juta. Metodenya beragam. Pertama, bahan jurnal ilmiah tersebut murni dari klien. Kedua, bahan mentah dari klien lalu diperbaiki makelar. Ketiga, makelar mengerjakan semua hal. Dari semua jenis ini, layanan ketiga yang paling banyak dilakukan joki di Medan, yaitu menyerahkan pengerjaan karya ilmiah ke joki.
Demi kreditMasih di Medan, menjelang 2020, ON, dosen di Universitas Negeri Medan (Unimed), menggunakan jasa joki untuk mengirimkan puluhan naskah prosiding (kumpulan makalah seminar yang telah dibukukan) ke penerbit internasional. Makelar mematok tarif lebih dari Rp 100 juta setelah prosiding mereka terbit di salah satu jurnal di Eropa.
ON kaget karena makelar jurnal sudah di kampus saat konferensi selesai. Atas permintaan pimpinannya, ON diminta mengurus prosiding peserta konferensi ke makelar itu. ”Mereka bisa menuliskan artikel untuk terbit di jurnal. Tentu jasanya pakai biaya,” katanya saat ditemui, Kamis (19/1/2023).
Langkah ON dan tim dosen di kampus itu adalah jalan pintas. Prosedur yang seharusnya terjadi adalah panitia menghubungi penerbit melalui laman resmi. Kemudian mereka menjalin kontak membicarakan regulasi, biaya, template, toleransi plagiasi, referensi, format sitasi, tenggat penerbitan, batas minimal artikel, termasuk harga per artikel. Setelah sepakat dan membuat kontrak kerja sama publikasi, panitia mengirim seluruh artikel yang sesuai standar penerbit. Biasanya dua hingga tiga bulan kemudian artikel itu terbit.
Keinginan dosen untuk menambah nilai kredit sangat tinggi. Apalagi sejak 2017, dosen wajib untuk menerbitkan karya ilmiah sebagaimana tercantum dalam Peraturan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 20/2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor.
Dosen dengan pangkat lektor kepala yang gagal memenuhi poin ini terancam sanksi pemberhentian sementara tunjangan profesinya. Sanksi ini tidak berlaku jika dosen tersebut memenuhi poin yang ditentukan. Sementara untuk profesor yang tak dapat memenuhi penerbitan karya ilmiah di jurnal internasional selama tiga tahun berturut-turut terancam sanksi pemberhentian sementara tunjangan kehormatan.
Ketika itu, angka kredit untuk menerbitkan prosiding lumayan.
Saat dikonfirmasi, Rektor Universitas Negeri Medan Syamsul Gultom justru menegaskan, tidak mengetahui ada pihak ketiga yang mengurus penerbitan karya ilmiah di perguruan tinggi yang ia pimpin. Sepengetahuannya, selama ini juga tak pernah ada pihak yang datang menawarkan jasa penerbitan karya ilmiah ke jurnal-jurnal internasional bereputasi. ”Kami sesuai prosedur saja. Prosedurnya sudah jelas, naskah di-submit lalu diperiksa beberapa kali dari sana. Kalau sudah layak, baru diterbitkan,” katanya.
Banyak dosen memang berkeinginan mengirim artikel ke jurnal internasional dengan reputasi baik oleh karena angka kreditnya signifikan. Namun, karena berbagai hal, sebagian dosen memilih jalan pintas dengan menggunakan joki. ”Praktik perjokian masih terus terjadi karena permintaan pengguna jasanya tinggi. Begitu pun penyedia jasanya. Mereka siap melayani, bahkan sering ke kampus,” kata ON.
Menurut dia, godaaan menggunakan jasa joki bagi dosen relatif kuat karena beberapa kampus menawarkan insentif untuk artikel yang terbit di jurnal terakreditasi. Dosen tersebut juga ingin naik pangkat. Syarat untuk naik pangkat dari 3D ke 4A, misalnya, adanya artikel yang terbit di jurnal internasional.
PergeseranCara curang dalam menerbitkan naskah ilmiah di kalangan dosen sangat beragam. Selain membayar jasa sebuah lembaga, ragam lain adalah, pertama, nama dosen dicatat sebagai penulis korespondensi atau penulis pertama pada penelitian yang tidak dibuatnya. Ini lazim terjadi di kalangan dosen S-2 atau S-3.
Pola kedua, dosen itu memesan artikel sesuai spesialisasi dosen yang bersangkutan. Makelar membantu sang dosen hingga karya ilmiah pesanan terbit di jurnal. Pola ketiga, dosen menyerahkan rancangan atau draf pada makelar untuk diserahkan ke pihak-pihak yang terbiasa membantu penerbitan ke jurnal.
Pensiunan guru besar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Budi Wignyosukarto mendapati praktik kecurangan yang lebih halus. Joki menawarkan posisi penulis dalam sebuah artikel ilmiah melalui surat elektronik. Dosen yang tertarik cukup membayar ke joki kemudian namanya otomatis tersemat sebagai penulis artikel. Dengan demikian, dosen yang memilih tawaran itu tidak perlu melakukan riset dan proses penulisan.
Biasanya, yang membuat artikel itu hanya satu orang saja, sementara yang lain hanya mencantumkan nama dengan membayar sekitar Rp 5 juta. ”Nanti topiknya bisa disangkutkan dengan bidang orang-orang yang bersedia membayar. Penulis pertama ini biasanya dosen yang sedang mencari angka kredit untuk pengajuan guru besar. Sementara yang lain tidak perlu menjadi penulis pertama karena tidak sedang pengajuan guru besar,” katanya.
Tim investigasi harian Kompas menemukan tawaran sejenis di forum komunikasi tentang jurnal di Facebook dan grup Telegram. Sebuah unggahan akhir Desember 2022 di Facebook, misalnya, ada seseorang mencari peneliti yang berminat untuk menerbitkan jurnal di topik pendidikan untuk jurnal terindeks Sinta 3. Tawaran itu disambut beberapa orang yang kemudian bernegosiasi lewat Whatsapp.
Fenomena ini membuat integritas dosen sebagai pengajar makin terkikis. Dosen yang mengejar kenaikan pangkat tak lagi mengutamakan aktivitas mengajar.
Proses membuat artikel untuk jurnal internasional bereputasi memang memakan waktu dan energi. ”Padahal, kami digaji untuk mengajar,” ujar Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatera Utara Mardianto.
Kemudahan menggunakan jasa joki menjadi jalan pintas dosen mendapatkan kredit tanpa riset. Dengan cara ini, mereka bisa segera mengajukan promosi jabatan. Sementara energi untuk menghidupkan iklim akademis di kelas-kelas semakin berkurang. Kampus tak lagi menjadi ruang perdebatan akademis. Tanpa perbaikan, pendidikan tinggi Indonesia menuju kegagalan.