Area hutan di sejumlah kawasan konservasi di Indonesia terus menyusut akibat pembalakan liar dan pembukaan lahan. Kerusakan daerah tangkapan air tersebut berujung bencana ekologi.
Oleh
PANDU WIYOGA, FABIO MARIA LOPES COSTA, INSAN ALFAJRI, ICHWAN SUSANTO, JOHANES GALUH BIMANTARA, ADITYA DIVERANTA, FAJAR RAMADHAN, HARRY SUSILO
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS-Pembalakan liar dan perambahan hutan konservasi di sejumlah wilayah Indonesia terus dibiarkan. Investigasi harian Kompas di Taman Nasional Kerinci Seblat Provinsi Sumatera Barat dan Jambi, Cagar Alam Cycloop Papua, serta Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang Jawa Barat mengungkap penyusutan kawasan hutan konservasi akibat perambahan dan pembalakan liar.
Penelusuran di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), Mei 2022 lalu, mendapati sejumlah lokasi pembalakan liar dan pembukaan hutan di areal taman nasional. Di salah satu bukit di Nagari Gambir Sungai Sako Tapan, Kabupaten Pesisir Selatan, mudah ditemukan pohon Kamper atau Borneo berdiameter 1,5 meter dan tinggi tegakan 20 meter yang ditebang dan ditinggalkan.
Batang pohon dibiarkan menimpa tanaman lain karena belum sempat dibelah menjadi potongan lebih kecil. Hanya berjarak beberapa meter terdapat pohon Meranti yang sudah ditebang dan dibelah menjadi balok-balok kayu. Botol oli untuk gergaji mesin ditinggalkan di atas tumpukan balok.
Setelah menemukan sejumlah lokasi pembalakan di wilayah Tapan, koordinat lokasi disimpan dalam perangkat global positioning system (GPS). Titik-titik koordinat tersebut di-overlay dengan peta kawasan TNKS menggunakan aplikasi geographic information system (GIS). Hasilnya, titik pembalakan di Nagari Gambir Sungai Sako Tapan jelas termasuk dalam kawasan TNKS.
Penelusuran berikutnya di Sungai Batang Betung, Nagari Riak Danau, Kecamatan Basa Ampek Balai Tapan malah menemukan pembalak yang tengah menghanyutkan balok kayu Meranti di aliran sungai. Saat tim Kompas berusaha mendekat, seorang wanita yang diduga kerabat pembalak segera berteriak, “Pak ada orang pak!” Dengan cepat pembalak yang kepergok itu langsung melompat ke sungai. Ia tergesa-gesa mengajak wanita itu segera pergi menaiki motornya.
Kayu Meranti yang hendak dihanyutkan diduga ilegal karena tidak ditemukan surat atau kode batang warna kuning penanda asal kayu. Selain itu, ditemukan bambu yang biasa dipakai mengarahkan laju kayu saat dialirkan di sungai.
Satu orang ini biasanya diupah Rp 350.000 untuk membawa chainsaw (gergaji mesin) dan bensin satu jerigen besar sampai ke titik penebangan
Penelusuran di Sungai Batang Betung dilanjutkan hingga matahari terbenam. Saat kembali ke lokasi semula, kayu Meranti yang tadi tertambat di pinggir sungai sudah tak ada.
Kayu hasil pembalakan di TNKS memang kerap diangkut melalui Sungai Batang Betung. Kayu-kayu tersebut dipotong menjadi balok dan dijadikan satu untuk diikat menjadi rakit, kemudian dialirkan ke hilir. Saat kayu dialirkan, ada pembalak yang mengawal dengan berjalan menyusuri sungai hingga hilir.
Seorang pembalak, Ison (43) menuturkan, mereka biasa bekerja dalam satu tim beranggota lima orang. Empat orang bertugas menebang pohon dan mengalirkan balok kayu, dan satu lainnya khusus membawa perbekalan. "Satu orang ini biasanya diupah Rp 350.000 untuk membawa chainsaw (gergaji mesin) dan bensin satu jerigen besar sampai ke titik penebangan," ucapnya.
Para cukong biasa mengupah Ison dan temannya untuk mengambil 10 meter kubik kayu Meranti. Artinya, mereka harus menebang sekitar empat pohon Meranti. Semeter kubik kayu Meranti dibeli cukong dengan harga Rp 1 juta. "Biasanya, kami diberi modal awal Rp 3 juta sama cukong untuk beli bekal dan bayar porter. Sisanya baru dibayar setelah kayu sampai di hilir," ujarnya.
Kompas mendatangi UD Tapan Jaya, salah satu perusahaan pengolah kayu di Tapan. Di sana, cukong bernama Dedi alias Kodoi telah menunggu. Ia duduk di atas tumpukan balok-balok kayu dikelilingi sekitar lima anak buahnya.
Saat itu, stok kayu Meranti dan Borneo sedang kosong. "Di belakang banyak," kata Kodoi. Kata "di belakang", itu istilah untuk menyebut TNKS.
Kodoi mengaku bisa menyiapkan kayu Meranti antara 15-30 meter kubik hanya dalam waktu sehari. Ia membanderol kayu Meranti Rp 2,3 juta per meter kubik. Ia juga mengaku bisa membekali kayu itu dengan surat jalan, tetapi ada biaya tambahan. "Kalau surat itu Rp 500.000 per kubik," katanya.
Pelaksana Harian Kepala Balai Besar TNKS Teguh Ismail mengatakan, telah mengetahui informasi terkait sawmill (perusahaan pengolah kayu) yang mengambil kayu dari TNKS. Saat ini, Balai Besar TNKS masih berusaha menyelesaikan masalah itu. Beberapa perusahaan pengolah kayu memang memiliki izin dari pemerintah. Aturannya, mereka hanya boleh mengolah kayu dari hutan produksi. "Yang jadi masalah ada kayu (dari kawasan TNKS) masuk ke situ. Itu yang sedang kami tangani," kata Teguh.
Di Cycloop
Di Cagar Alam (CA) Cycloop, dari dua lokasi yang ditelusuri November tahun lalu, ditemukan beberapa titik pembalakan liar. Pertama, di Distrik Heram, Kota Jayapura. Di sini, pembalakan terlihat di sepanjang jalur pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Jayapura. Lahan di kanan dan kiri pipa PDAM sudah berganti menjadi kebun pepaya dan pisang.
Sementara di Kelurahan Bhayangkara, Distrik Jayapura Utara, perkebunan warga sudah merangsek ke kawasan CA Cycloop. Hutan ditebang lalu berganti kebun nanas. Menggunakan kamera drone, terlihat jelas beberapa bukit di sekitar sumber air sudah gundul.
Tidak hanya itu, di sebuah lereng bukit dalam kawasan CA Cycloop juga ditemukan tungku untuk membuat kayu arang. Tungku itu berupa lubang berdiameter sekitar tiga meter. Di lubang itu kayu Suang atau Sowang, tanaman khas Cycloop, diolah menjadi arang.
Seorang pengepul arang bernama Argos mengaku membeli arang dari warga yang bermukim di kaki Cycloop. Di samping kanan rumah Argos terdapat setumpuk arang yang sudah dikemas dalam karung. Dia menjual Rp 80.000 per karung. Sekali transaksi dia membeli hingga 500 karung. Arang yang dia sebut berasal dari kayu Sowang, dijual lagi ke rumah makan.
Tokoh masyarakat di RT 004/04 Kelurahan Bhayangkara Beni Gombo mengakui, warganya memang pernah mengolah kayu arang. Kayunya diambil dari CA Cycloop. Sekarung arang dijual Rp 35.000. Beni bisa menjual 100-200 karung setiap pembelian.
Sejak 2015, Beni mengklaim masyarakat sudah tidak lagi membuat kayu arang karena dilarang pemerintah. Kendati demikian, Beni masih melayani permintaan kayu bulat. Adapun harga sebatang pohon Rp 300.000. "Itu kalau ada yang pesan saja," jelasnya.
Kepala Balai Besar Konservasi dan Sumber Daya Papua Edward Sembiring mengakui masih ada aktivitas pembukaan lahan di CA Cycloop, yang seluas 31.480 hektare (ha), dan berada di Kabupaten Jayapura dan Kota Jayapura.
Kawah Kamojang
Penelusuran di Taman Wisata Alam (TWA) Kawah Kamojang di Desa Barusari, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut, dan CA Kawah Kamojang di Desa Sukarame, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung pada Mei-Juni lalu, juga menemukan aktivitas perambahan hutan untuk dibuka menjadi kebun sayuran.
Warga menanam berbagai jenis sayuran seperti kol, wortel, cabai, dan kacang di kawasan hutan Desa Barusari, Salah satu di antaranya, AR (43), mengaku menanam cabai di lahan seluas 200 tumbak (2.800 meter persegi). AR mengaku sudah tiga tahun menggarap lahan itu. Mencocokkan dengan Peta Situasi Cagar Alam Kawah Kamojang, kebun cabai AR ternyata masuk kawasan TWA Kawah Kamojang.
Akan kontraproduktif kalau kita bisa menurunkan perambahan tetapi masyarakat masih juga mengalami kesulitan ekonomi
Hutan di Desa Barusari merupakan bagian kawasan hulu Sungai Cikamiri. Luapan air sungai ini dan Sungai Cimanuk serta beragam material "terangkut" dalam banjir bandang di Garut pada September 2016.
Di Desa Sukarame, tepatnya sekitar Gunung Rakutak, terhampar luas perkebunan sayuran. HN, pemilik kebun bawang di sana sadar melanggar area terlarang. Dia mengaku membuka lahan seluas 150 tumbak (2.100 meter persegi) sejak tahun lalu. Tak jauh dari lahan-lahan itu terdapat Sungai Ciharus yang mengalir hingga Sungai Citarum. Pada 2018, Sungai Citarum meluap dan menyebabkan banjir parah di Kabupaten Bandung.
Pelaksana Harian Kepala BBKSDA Jawa Barat Himawan Sasongko terus berupaya mengatasi aktivitas perambahan melalui pendekatan humanistis. "Akan kontraproduktif kalau kita bisa menurunkan perambahan tetapi masyarakat masih juga mengalami kesulitan ekonomi," ujarnya.