Dalam mengejar standar kecantikan, seseorang bisa menjadi subyek atau obyek konsumerisme. Itu semua tergantung kesadaran diri akan setiap pilihan dan risiko yang diambil.
Oleh
JOG/FRD/DIV/SKA/ILO
·4 menit baca
TIM INVESTIGASI KOMPAS
Ruangan tempat Inah melakukan layanan kecantikan di rumahnya di Bantargebang, Bekasi, Jawa Barat, Senin (28/3/2022). Terdapat dua kasur, tiang penyangga infus, serta sejumlah alat perawatan kecantikan di ruang tersebut.
Mengejar kecantikan sesuai standar yang tengah tren di tengah masyarakat memicu konsumerisme. Bahkan, jika jalannya dengan mengubah bagian tubuh tertentu. Hanya saja, seyogyanya setiap keputusan terhadap tubuh mesti berlandaskan kesadaran akan risiko dari setiap pilihan. Bukan karena terperdaya pengaruh yang lain.
Tak pernah terbersit niat Nicky (32) untuk memodifikasi bentuk wajahnya. Namun, begitu perempuan asal Sumatera Utara ini menggeluti pekerjaan penari di Ibu Kota, hal itu berubah. Pergaulan dengan sesama pekerja dunia hiburan memengaruhi keputusan untuk mengubah bentuk wajahnya, terutama bagian hidung.
“Teman-teman pada komentar, ubahlah itu dikit, padahal aku sudah bersyukur sebenarnya,” ucap Nicky, saat jumpa virtual, Rabu (2/3/2022).
Kawan-kawannya menyemangatinya dengan menyampaikan, hidung bisa mancung tanpa perlu operasi plastik, antara lain dengan filler atau tanam benang. Pertahanan Nicky runtuh. Sekitar 2017, ia memulai modifikasi hidung.
Hingga awal 2019, Nicky sudah empat kali datang ke layanan kecantikan untuk mempercantik hidung. Dua kali tanam benang dan dua kali filler. Ia tak pernah peduli legalitas pelaku jasa kecantikan. “Mau dokternya ril, mau gadungan, kita enggak ngerti,” ujar dia.
Beberapa bulan setelah yang keempat, hidung Nicky melembek, menghangat, dan mengeluarkan air terus-menerus, tanda ia mengalami infeksi. Benang mencuat keluar hidungnya.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Seorang klien praktik sulam lesung pipi ilegal, Iis Pera (23), mengunggah video tentang dampak praktik tersebut ke TikTok. Ia menyulam pipinya di sebuah studio sambung bulu mata di Jakarta Selatan. Pipinya bengkak, infeksi, dan bernanah setelahnya.
Ada pula cerita Iis Pera (23) alias Vera yang menderita infeksi di pipinya usai menjalani sulam lesung pipi di studio sambung bulu mata, akibat terpikat melihat lesung buatan pada pipi sejumlah temannya.
Pemerhati sosiologi tubuh sekaligus pengajar Sosiologi Universitas Gadjah Mada Deshinta Dwi Asriani, menilai, upaya mempercantik diri dengan berbagai upaya telah menciptakan gaya hidup konsumtif. Keberadaan industri kecantikan telah meningkatkan budaya konsumsi.
"Itu kan jadi konsumtif. Meningkatkan gaya hidup konsumtif melalui skin care, bodymodification, mau enggak mau itu kan konsumsi," katanya.
KOMPAS/RIZA FATHONI RZF
Operasi bedah plastik di klinik D'Elegance di kawasan Gandaria, Jakarta. Permintaan bedah plastik meningkat seiring tren kecantikan ala Korea.
Menurut Deshinta, perlu didalami yang menjadi pendorong utama sebagian masyarakat pergi ke tempat praktik kecantikan baik legal maupun ilegal. “Kepentingannya itu sejauh apa sehingga dia mau mengikuti tren itu. Value apa yang mau dicapai,” tuturnya.
Namun, secara umum, terus berdatangannya konsumen ke tempat praktik kecantikan, merupakan buah konstruksi tubuh ideal. Kecantikan bukan hanya tentang tampilan fisik yang menarik, melainkan juga punya dimensi sosial. Misalnya, lebih mudah mendapatkan pekerjaan atau gampang diterima di masyarakat.
Pergeseran gagasan
Psikolog sosial dari Pusat Kajian Representasi Sosial Indonesia, Risa Permanadeli, mengamati, terdapat pergeseran gagasan tentang kecantikan seiring perubahan zaman, khususnya di masyarakat Jawa. Berdasarkan riset untuk disertasinya, hingga akhir abad ke-20 bagi orang Jawa baik tua-muda, perempuan dan laki-laki, cantik adalah “dari dalam”.
Cantik dari dalam berarti memiliki kualitas watak keperempuanan yang dianggap berguna untuk “ngopeni” masyarakat. “Kalau ada orang yang susah tiba-tiba dia bantu, oh itu cantik banget, enggak peduli fisiknya kayak apa,” ucap Risa.
FAJAR RAMADHAN
Psikolog sosial dari Pusat Kajian Representasi Sosial Indonesia, Risa Permanadeli saat dikunjungi Kompas di kediamannya pada Senin (29/3/2022).
Periode dekade 2000-an dan 2010-an, cantik secara visual dominan dibanding cantik dari dalam. Itu ditandai dengan makin populernya produk kosmetik yang diiklankan bisa mencerahkan, atau bahkan memutihkan kulit.
Menurut Risa, salah satu faktor pemicunya adalah kemunculan mal yang makin menjamur, yang jadi “arena saling pamer” di antara orang tidak saling kenal. Setelahnya, ada faktor teknologi seperti ponsel berkamera serta perkembangan media sosial.
Otonomi
Deshinta menjelaskan, mereka yang ikut arus menerima konstruksi tentang tubuh ideal terbagi menjadi dua macam. Ada yang sebagai subyek, yang memahami bahwa cantik itu pilihan dan menyadari risiko dari setiap tindak tanduknya. Ada yang dicurigai sebagai obyek, yakni yang memodifikasi tubuh karena sekadar ikutan tren, terpengaruh iklan, tetapi tidak bisa mengukur risiko.
Nah, apa pun keputusannya, mau ikut tren ubah penampilan atau tidak, pilihan mesti berdasarkan otonomi kita sebagai pemilik tubuh.
Dengan menyadari kita memiliki otonomi atas tubuh, kewaspadaan terhadap risiko juga bakal terbentuk dengan sendirinya. Sebab, kita paham apa yang bakal tubuh kita rasakan jika potensi risiko mewujud.
Di media sosial, kampanye tentang self-love (mencintai diri sendiri) dan anti body shaming (celaan fisik) mendapat perhatian luas. Itu beberapa bentuk advokasi terhadap otonomi atas tubuh.
Deshinta berharap, sistem pendidikan di negara ini juga mengakomodasi edukasi tentang otonomi tubuh, agar ada literasi sejak dini. Biologi, pelajaran yang biasanya juga menyertakan edukasi tentang tubuh manusia, tidak cukup berkutat pada pengetahuan yang dihapalkan, tetapi direfleksikan pada pengalaman sehari-hari.
Pendidikan reflektif itu sesungguhnya akar dari bagaimana kita mengenal tubuh kita, mencintainya, dan menjauhkannya dari upaya mengejar kecantikan yang membahayakan.