Dilema Tiktok dan Media Sosial Menjelang Pemilu Eropa
Uni Eropa menyelidiki Tiktok dan berbagai media sosial. Di sisi lain, politisinya memakai media sosial untuk kampanye.
Ada 142 juta pengguna Tiktok di Uni Eropa, sebagian besar masih muda. Mereka alasan sebagian politisi Uni Eropa tetap menggunakan aplikasi yang berusaha dilarang sejumlah negara Barat itu. Sebagian lagi menolak memakai aplikasi tersebut.
”Saya tidak mau orang muda itu mendapat informasi dari propaganda atau misinformasi. Jadi, kami masuk ke sana (Tiktok),” ujar Ketua Parlemen Eropa Roberta Metsola dalam wawancara dengan Euronews pada Rabu (1/5/2024).
Baca juga: ByteDance Pilih Tiktok Mati di AS daripada Harus Jual Saham
Ia salah satu politisi yang memutuskan berkampanye di Tiktok menjelang pemilihan anggota Parlemen Eropa pada 6-9 Juni 2024. Sementara Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen menolak menggunakan Tiktok sebagai sarana kampanye.
Metsola beralasan, Belgia, Jerman, Malta, dan Austria mengizinkan penduduk berusia 16 tahun ke atas memberi suara. Adapun Yunani menetapkan 17 tahun sebagai usia termuda pemilih. Di anggota EU lainnya, usia termuda pemilih sedikit lebih tinggi dari lima negara tersebut. Seperti di sejumlah wilayah dan negara lain, anak muda Uni Eropa juga pengguna Tiktok dan berbagai pelantar media sosial.
Dalam jajak pendapat IPSOS bersama CEVIPOF dan Institut Montaigne terungkap, mayoritas pemilih muda tidak akan memberi suara. Hanya 31 persen responden berusia 18-24 tahun yang berencana memberi suara di pemilu Parlemen Eropa.
Tidak memilih
Media Perancis, Le Monde, menulis, sebagian besar pemilih muda beralasan terlalu sibuk belajar. Dengan demikian, mereka akan kesulitan membagi waktu untuk antre memberi suara. Sebagian lagi beralasan tidak punya gambaran calon atau partai yang bisa selaras dengan aspirasi mereka.
Baca juga: Terpengaruh Propaganda di Tiktok, Eks Tentara Jerman Jadi Mata-mata Rusia
Untuk alasan kedua, Komisi Eropa dan sejumlah pihak meluncurkan Palumba. Aplikasi itu seperti Tinder. Cukup gulirkan ke kanan jika cocok dengan calon atau pandangan politik tertentu. Jika tidak cocok, tinggal gulirkan layar ke kiri. Berdasarkan pilihan-pilihan itu, Palumba akan merekomendasikan partai atau calon yang cocok bagi pemilih muda dan mula.
Versi beta Palumba bisa diakses sejak Selasa (30/4/2024) malam. Sementara pengunduhan massal ditargetkan mulai 9 Mei 2024 atau bertepatan dengan Hari Eropa.
Nama aplikasi diambil dari Columba palumbus, nama latin untuk merpati yang banyak ditemukan di Eropa. Aplikasi itu menggunakan merpati sebagai lambangnya.
Gagasan pembuatan aplikasi ini bertujuan untuk menerjemahkan ide politik ke dalam bahasa sehari-hari kaum muda. Harapannya, hal itu dapat memicu percakapan politik di kalangan anak muda dan akhirnya mendorong mereka untuk memilih.
Baca juga: AS Semakin Dekat Melarang Tiktok
Gagasan ini bermula selama Forum Eropa Alpbach di Pegunungan Alpen, Austria, pada Agustus 2023. ”Logikanya bukanlah untuk memengaruhi pemungutan suara dalam satu arah, melainkan memperjelas ada pihak-pihak yang mendukung ide-ide mereka. Dengan demikian, mungkin ada baiknya untuk memberi suara,” kata Thomas Garnier, sekretaris dan koordinator penelitian dan pengembangan Palumba.
Sebelum Palumba, aplikasi saran pemungutan suara telah digunakan di Eropa dan luar negeri. Hasilnya terbukti positif terhadap partisipasi pemilih. Pada kampanye presiden tahun 2022 di Perancis, misalnya, terdapat aplikasi serupa bernama Elyze.
Aplikasi ini sangat populer hingga mencapai lebih dari 1,2 juta unduhan dalam dua pekan. Namun, aplikasi tersebut dikritik karena dicurigai bias politik, di antaranya ada ketidakjelasan sumber dan jumlah data pribadi yang diambil, serta lemahnya perlindungan data pengguna.
Penyelidikan besar
Penolakan Von der Leyen pada penggunaan Tiktok, antara lain, karena ingin konsisten dengan sikapnya. Ia menyebut Tiktok berbahaya. Bahkan, Komisi Eropa telah memulai penyelidikan terhadap Tiktok. Pegawai Komisi Eropa diimbau menghapus Tiktok dari ponsel masing-masing.
Baca juga: Media Sosial Menyumbang Pelanggaran di Pemilu 2024
Bahkan, bukan hanya Tiktok yang diselidiki atau setidaknya diatur ketat UE pada pemilu 2024. Mulai Selasa (30/4/2024), EU menyelidiki Facebook dan Instagram yang dibawahkan Meta. Pelantar media sosial dari Amerika Serikat itu dinilai gagal mencegah disinformasi dan misinformasi menjelang pemilu.
Tiktok, Facebook, dan Instagram diperiksa berdasarkan Undang-Undang Layanan Digital (DSA). Aturan itu memaksa perusahaan teknologi berbuat lebih banyak untuk melindungi pengguna di dunia maya. Selain Tiktok dan Facebook, ada 19 pelantar media sosial lain dan perusahaan teknologi yang disasar DSA.
Komisi Eropa menemukan indikasi awal pengaturan iklan unggahan di Meta tidak memadai. Terdeteksi peningkatan iklan berbayar terkait pemilu Eropa dalam beberapa waktu terakhir.
Peningkatan itu dikhawatirkan merugikan warga UE dan memengaruhi proses pemilu. ”Penyelidikan ini bertujuan memastikan tindakan efektif diambil, khususnya mencegah kerentanan Instagram dan Facebook dieksploitasi oleh campur tangan asing,” kata Komisioner Perdagangan Internal UE Thierry Breton.
Baca juga: Media Massa Berperan Dorong Partisipasi Warga Awasi Pilkada
Parlemen Eropa telah mengesahkan aturan pembatasan iklan politik di media sosial. Sponsor dari negara ketiga dilarang membayar iklan politik di media sosial hingga tiga bulan sebelum pemilu.
Setiap iklan politik juga harus diberi label yang jelas dan menyertakan informasi, termasuk siapa yang membayarnya dan berapa biayanya. Rencana tersebut diajukan oleh Komisi Eropa pada tahun 2021 untuk meningkatkan transparansi iklan politik guna melindungi integritas pemilu.
Namun, kelompok masyarakat sipil, termasuk Access Now, mengkritik aturan itu tak berdampak besar untuk Pemilu UE. ”Meskipun langkah-langkah transparansi dalam undang-undang baru ini diharapkan dapat mencegah manipulasi pemilih dan melindungi data pribadi masyarakat dari penyalahgunaan di tahun-tahun mendatang, hal ini tidak akan berdampak banyak pada pemilu Eropa tahun 2024,” demikian pernyataan Access Now. (AFP/REUTERS)