Aksi Gerakan Mahasiswa Pro-Palestina di Columbia University Menjalar hingga Melbourne
Seperti rekan mereka di AS, mahasiswa Universitas Melbourne berunjuk rasa mendesak divestasi pemasok senjata Israel.
MELBOURNE, KOMPAS – Ratusan mahasiswa anggota kelompok advokasi Palestina di Universitas Melbourne di Melbourne, Australia, kembali menggelar unjuk rasa untuk mendesak penghentian kerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang memasok senjata untuk Israel. Perkemahan juga berlanjut tanpa ancaman pembubaran. Mereka mengaku terinspirasi gerakan mahasiswa pro-Palestina di Columbia University, Amerika Serikat.
Unjuk rasa mereka merupakan bagian dari aksi-aksi serupa yang saat ini marak di sejumlah universitas di Amerika Serikat dan beberapa negara lain. Para mahasiswa itu mengekspresikan solidaritas kepada warga Palestina yang dalam enam bulan terakhir digempur secara masif oleh Israel di Jalur Gaza.
Baca juga: Hadapi Kebrutalan Aparat, Unjuk Rasa Mahasiswa di AS Kian Membara
Lebih dari 34.000 warga Palestina di Gaza dan sekitar 1.200 orang di Israel tewas sejak perang dimulai dengan serangan Hamas ke Israel, 7 Oktober 2023. Sekitar 250 warga di Israel disandera di Gaza, sebagian dibebaskan atau tewas.
Pada hari kelima perkemahan solidaritas untuk Gaza, Senin (29/4/2024), ratusan mahasiswa di kampus Parkville Universitas Melbourne berjalan berarakan menuju gedung rektorat. Sebagian dari mereka telah menetap di 20-an tenda di taman selatan kampus sejak Kamis (25/4/2024).
Mereka mendesak agar universitas di Negara Bagian Victoria itu mengungkap nilai investasi beberapa perusahaan pertahanan, seperti Lockheed Martin, BAE Systems, dan Boeing, yang memasok alat-alat pertahanan untuk Israel, lalu mendivestasi atau menghentikan kerja sama tersebut.
”Ungkap! Divestasi! Kami tak akan berhenti, kami tak akan beristirahat!” seru para mahasiswa. Mereka juga berteriak, ”Pertama Columbia, Unimelb kemudian! Semua universitas harus divestasi!”
Dana Alshaer (30), mahasiswi Magister Hubungan Internasional Universitas Melbourne asal Palestina, mengatakan bahwa 205 hari telah berlalu sejak perang Hamas-Israel dimulai dan menewaskan lebih dari 34.000 orang di Jalur Gaza, salah satu wilayah paling padat penduduk di dunia.
Hingga kini, pengelola universitas tak mengungkapkan pernyataan apa pun. ”Tidak ada sepatah kata pun dari universitas untuk mengecam keras (agresi Israel). Sementara mereka hanya butuh 0,37 detik untuk mengecam keras serangan Rusia ke Ukraina,” kata aktivis yang tergabung dalam gerakan Unimelb for Palestine (UM4P) itu.
Aksi dan perkemahan di Universitas Melbourne terinspirasi dari Universitas Columbia di Amerika Serikat.
Mercedes (21), salah satu pengorganisasi UM4P yang menolak mengungkap nama belakangnya demi alasan keamanan, menyebut aksi dan perkemahan di Universitas Melbourne terinspirasi dari Universitas Columbia di Amerika Serikat untuk bersolidaritas dengan warga Gaza.
”Tentu mahasiswa dan staf universitas berkorban untuk berada di sini. Tidak menyenangkan belajar dan tinggal di bawah suhu dingin, tetapi saya melihatnya sebagai tanggung jawab sebagai mahasiswa,” kata Mercedes.
Menurut Mercedes, kerja sama Universitas Melbourne dengan perusahaan-perusahaan pertahanan tersebut merupakan upaya untuk menopang penerapan hasil riset universitas dalam industri pertahanan di luar Australia.
”Tetapi mahasiswa memiliki hak untuk tahu ke mana uang (investasi untuk riset) itu pergi, dan sekarang kami tidak tahu detailnya. Kami juga memiliki hak untuk mengatakan uang itu tidak boleh digunakan membunuh,” katanya.
Baca juga: Menanti Perdamaian bagi Gaza di Bulan Ramadhan (Bagian 2)
Sebelumnya, lanjut Mercedes, UM4P telah mencoba berdialog dan menggelar aksi berkali-kali untuk meminta pihak universitas mengumumkan nilai kerja sama dan menghentikannya, tetapi diabaikan. ”Kami menuntut transparansi,” ujar Mercedes.
Pada Desember 2023, Universitas Melbourne menerbitkan pernyataan resmi mengenai kerja sama dengan Lockheed Martin. Pada 2016, perusahaan asal AS itu menghibahkan 3,5 miliar dollar Australia untuk mendukung beasiswa doktoral dan proyek riset di bidang, antara lain, kecerdasan buatan dan penginderaan kuantum.
Proyek riset tersebut diprakarsai pemerintah federal Australia bersama perusahaan-perusahaan mitra untuk ”mengembangkan teknologi kedaulatan yang penting untuk kepentingan nasional Australia”.
Pada 2018, BAE Systems dan Universitas Melbourne menandatangani nota kesepahaman yang mengizinkan mahasiswa mengakses peralatan, data, dan fasilitas uji milik perusahaan asal Inggris tersebut yang didirikan di Fishermans Bend, sebuah distrik di barat Melbourne. Pada saat yang sama, Universitas Melbourne tengah membangun gedung fakultas teknik di sana.
Kemudian, pada 2019, Universitas Melbourne dan Boeing memulai kerja sama untuk memperkuat pengembangan talenta di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika melalui beasiswa serta kontribusi finansial lainnya. Pihak universitas menyatakan relasi kedua organisasi memberikan mahasiswa wawasan industri yang berharga.
Lockheed Martin, menurut situs resminya, telah menjadi pemasok pesawat tempur C-130 dan F-16 untuk angkatan udara Israel sejak 1970-an dan 1980-an, kemudian F-35 pada 2010. Boeing juga telah menjadi pemasok pesawat tempur untuk Israel sejak 1948 dan kini memasok sembilan produk untuk militer Israel.
Adapun BAE Systems dilaporkan tergabung dalam konsorsium yang memasok jet tempur F-35 untuk Israel. Pesawat tersebut telah digunakan dalam serangan ke Gaza.
Pernyataan rektorat
Dalam pernyataan yang dikirimkan ke e-mail mahasiswa, Rektor Universitas Melbourne Duncan Maskell menyebut ”konflik di Israel dan Gaza” telah menimbulkan ketakutan dan penderitaan. Perang tersebut juga telah memengaruhi komunitas Yahudi, Palestina, dan Muslim di kampus dan seluruh dunia.
Maskell menyatakan pihaknya menghargai perbedaan pendapat di tengah beragamnya latar belakang 80.000 mahasiswa di universitas tersebut. ”Namun, pandangan tersebut harus diungkapkan dengan cara yang damai dan penuh penghormatan sehingga setiap orang bisa berpartisipasi dalam kehidupan universitas,” lanjutnya.
Ia juga menyatakan universitas tidak akan menoleransi disrupsi dan pembubaran paksa kelas atau acara, pelanggaran hak mahasiswa dalam aktivitas kampus, blokade akses ke kampus, serta perusakan fasilitas. Maka, personel keamanan kampus akan disiagakan selama protes berlangsung.
”Untuk menjaga ketertiban publik, kepolisian Victoria dapat memilih secara independen untuk hadir di kampus kapan pun,” kata Maskell dalam keterangannya.
Pada saat yang sama, para mahasiswa anggota UM4P bersiap untuk melalui malam kelima di dalam tenda-tenda yang didirikan di taman selatan kampus Parkville. Demi menunjukkan solidaritas untuk warga Gaza, mereka bersedia melawan dinginnya malam musim gugur dengan suhu yang dapat mencapai 8 derajat celsius.
Tinggal di kampus
Mercedes, mahasiswi Jurusan Sejarah, mengatakan, pihaknya mendapat pasokan selimut dan kantong tidur dari berbagai organisasi, termasuk sejumlah serikat pekerja dan staf universitas. ”Kami akan tinggal di sini sampai mereka (universitas) merespons,” ucapnya.
Varisha (19), mahasiswi Jurusan Politik dan Studi Internasional, menyebut situasi relatif aman selama lima hari terakhir. Tidak ada kehadiran aparat, apalagi kekerasan sebagaimana yang terjadi di sejumlah kampus di AS.
Kebutuhan para mahasiswa yang beraktivisme juga terpenuhi, termasuk makan malam. ”Dibandingkan dengan mereka yang di Gaza, (penderitaan kami) ini tidak ada apa-apanya,” ujar Varisha.
Varisha mengaku dirinya tak dapat belajar dalam kondisi dingin dan minim penerangan. Namun, kedua orangtuanya yang berasal dari Indonesia sangat mendukung aksinya.
”Orangtua saya sangat bersimpati terhadap isu Palestina, jadi mereka sangat mendukung. Contohnya, mikrofon yang kami gunakan (untuk orasi), itu mikrofon lama milik ibu saya dari mesin karaoke kami. Saya rasa itu mencerminkan perasaan orang Indonesia secara umum terhadap Palestina,” tutur Varisha yang adalah warga Australia.
Baca juga: Palestina: Antara Gencatan Senjata dan Solusi Damai
Ibrar (21), mahasiswa Jurusan Biologi di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT), juga ikut berkemah bersama UM4P sebagai ungkapan solidaritas. Menurut dia, sangat penting untuk menekan universitas agar menghentikan semua kontrak dengan pihak-pihak yang terlibat dalam genosida di Gaza.
”Kita mungkin berada ribuan dan ratusan mil dari sana, tapi kita tetap memiliki peran. Kita harus melakukan semua yang mungkin dilakukan untuk mencegah kerusakan dan kekerasan yang lebih jauh lagi,” kata Ibrar yang kini sedang cuti kuliah untuk bekerja.