Aparat AS Tangkap Mahasiswa Penentang Perang Gaza
Mahasiswa menyebut tindakan aparat berlebihan. Mereka yakin unjuk rasa berlangsung damai jika aparat tidak reaktif.
CALIFORNIA, KAMIS — Unjuk rasa mahasiswa menolak perang di Jalur Gaza terus merebak di berbagai kampus di Amerika Serikat. Aparat kepolisian menangkap sejumlah mahasiswa yang berunjuk rasa.
Di California, aparat menangkap mahasiswa yang berunjuk rasa di halaman Kampus Universitas Southern California, Rabu (24/4/2024) waktu setempat, tanpa perlawanan. Di utara Kampus USC juga berlangsung unjuk rasa sejumlah mahasiswa California State Polytechnic University, Humboldt. Polisi membarikade bangunan dan halaman kampus yang mengakibatkan kegiatan belajar mengajar tatap muka dibatalkan.
Di Austin, Texas, polisi menangkap 34 mahasiswa yang berunjuk rasa menentang perang Hamas-Israel di Jalur Gaza. Pernyataan Departemen Keamanan Publik Negara Bagian Texas menyebut, penangkapan oleh polisi atas perintah manajemen universitas dan Gubernur Texas Gregg Abbot.
Ratusan polisi dengan menunggang kuda dan membawa tongkat mendorong para pengunjuk rasa untuk membubarkan massa. Beberapa orang terjatuh akibat saling dorong antara para pengunjuk rasa dan polisi.
Baca juga: Semakin Banyak Mahasiswa Universitas Elite Amerika Serikat Dukung Palestina
Seorang fotografer yang meliput demonstrasi itu untuk stasiun televisi Fox 7 ditangkap. Penangkapan itu telah dikonfirmasi oleh manajemen stasiun televisi tersebut. Seorang jurnalis terluka dalam kejadian itu dan sempat mendapatkan pertolongan polisi dan staf medis di dekat lokasi kejadian.
Dane Urquhart, mahasiswa tahun ketiga di Texas, menyebut tindakan aparat keamanan berlebihan. Dia meyakini unjuk rasa akan berlangsung damai jika aparat tidak reaktif. ”Karena banyaknya penangkapan, saya pikir akan lebih banyak lagi (demonstrasi) yang akan terjadi,” katanya.
Rektor Universitas Austin Jay Hartzell membela tindakan aparat. Dia menyatakan, aparat keamanan dan manajemen universitas ingin menegakkan aturan. ”Peraturan kami penting dan aturan itu harus ditegakkan. Kampus tidak boleh diduduki,” katanya.
Polisi pergi setelah berjam-jam berupaya mengendalikan massa. Sekitar 300 demonstran kembali duduk di rumput dan bernyanyi di bawah menara jam ikonik kampus.
Baca juga: DPR AS ”Bungkam” Kebebasan Berpendapat
Upaya sejumlah manajemen kampus membatasi unjuk rasa mahasiswa dan sivitas akademika lainnya tidak berhasil. Manajemen Universitas Harvard membatasi akses ke Harvard Yard dan mewajibkan izin untuk mendirikan tenda dan meja.
Aturan itu tak membuat gentar mahasiswa dan staf kampus berunjuk rasa. Belasan tenda berdiri di Harvard Yard setelah manajemen memberikan sanksi pada Komite Solidaritas Palestina Mahasiswa Harvard.
Sejumlah mahasiswa dan staf pengajar memprotes perang Israel-Hamas dan menuntut manajemen memutus hubungan keuangan dengan Israel. Mereka mendesak kampus mendivestasi perusahaan-perusahaan yang memicu konflik di Gaza.
Aparat juga menangkap setidaknya 133 pengunjuk rasa yang menolak perang Gaza di New York. Selain itu, lebih dari 40 pengunjuk rasa juga ditangkap karena berkemah di halaman Universitas Yale.
Baca juga: Risiko Besar Pendukung Palestina di Amerika dan Eropa
Di Universitas Columbia, manajemen berupaya menghindari konfrontasi baru dengan para pengunjuk rasa. Rektor Universitas Columbia Minouche Shafik menetapkan batas waktu baru bagi mahasiswa dan sivitas akademika lain yang berunjuk rasa untuk membersihkan alat-alat yang digunakan dalam aksi mereka hingga 48 jam mendatang.
Ketua DPR AS Mike Johnson sempat menyebut akan melibatkan Garda Nasional untuk menghentikan aksi mahasiswa. Namun, manajemen kampus menilai tak perlu. ”Fokus kami memulihkan ketertiban, dan jika kami dapat mencapainya melalui dialog, kami akan melakukannya,” kata Ben Chang, Wakil Presiden Bidang Komunikasi Universitas Columbia.
Polisi mencoba membersihkan peralatan yang digunakan pengunjuk rasa bersamaan dengan penangkapan lebih dari 100 mahasiswa dan sivitas akademika pekan lalu. Namun, tindakan tersebut menjadi bumerang dan malah menginspirasi mahasiswa lain di seluruh negeri untuk mendirikan perkemahan serupa.
Dukungan dan solidaritas antarmahasiswa dari berbagai kampus memotivasi pengunjuk rasa di Universitas Columbia untuk kembali berunjuk rasa. Pada Rabu, sekitar 60 tenda masih berdiri di halaman Kampus Columbia.
Keamanan tetap ketat di sekitar kampus. Aparat keamanan meminta orang-orang yang masuk dan keluar menyerahkan tanda pengenal. Polisi memasang barikade di sekitar kampus. Columbia telah sepakat dengan pengunjuk rasa hanya mahasiswa yang bisa tetap berada di perkemahan.
Baca juga: Kemanusiaan Sedang Berlibur dari Sekitar Gaza
Di Minnesota, puluhan mahasiswa Universitas Minnesota berunjuk rasa setelah sembilan rekan mereka ditangkap polisi. Anggota Kongres AS, Ilhan Omar, yang putrinya ditangkap di Columbia pekan lalu, menghadiri protes pada hari yang sama.
Buntutnya, lebih dari 80 profesor dan asisten profesor menandatangani seruan kepada rektor untuk membatalkan tuntutan apa pun dan mengizinkan perkemahan di masa depan sebagai bagian dari kebebasan akademik. Mereka menyebut, tindakan represif aparat yang dibiarkan merupakan pelanggaran hak kebebasan berbicara.
Menyerbu Rafah
Di Gaza, militer Israel bersiap mengevakuasi warga sipil Palestina dari Rafah setelah mereka memutuskan akan menyerang wilayah tersebut. Juru Bicara Pemerintah Israel menyatakan akan melancarkan operasi darat. Belum diketahui kapan serangan dilancarkan.
Seorang pejabat pertahanan Israel mengungkap telah membeli 40.000 tenda bagi warga Palestina di lokasi pengungsian baru ketika serangan itu berlangsung. Sumber di Pemerintah Israel menyebut, kabinet perang Israel berencana menggelar rapat untuk memulai evakuasi warga sipil Palestina yang diperkirakan memakan waktu satu bulan.
Pejabat yang tidak mau disebutkan namanya itu mengatakan, militer bisa sewaktu-waktu menyerang. Mereka masih menunggu lampu hijau dari Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Baca juga: Panas Dingin Hubungan Washington-Tel Aviv
Setelah memukul Hamas di utara dan tengah Gaza, militer Israel berupaya menghancurkan kelompok itu yang diperkirakan masih beroperasi di wilayah selatan. ”Hamas terpukul di utara. Hamas juga terkena pukulan keras di tengah Jalur Gaza. Dalam waktu dekat, Hamas akan terkena pukulan keras di Rafah,” kata Brigadir Jenderal Itzik Cohen, Komandan Divisi 162 Israel yang beroperasi di Gaza, dalam wawancara dengan Kan TV.
AS, sekutu dekat Israel, telah mendesak mereka mengesampingkan rencana serangan ke Rafah. Washington menyebut Israel dapat memerangi Hamas dengan cara lain. ”Kami tidak dapat mendukung operasi darat Rafah tanpa rencana kemanusiaan yang tepat dan kredibel,” kata David Satterfield, Utusan Khusus AS untuk Urusan Kemanusiaan Timur Tengah, Selasa (23/4/2024).
Mesir telah menyatakan tidak akan membiarkan warga Gaza didorong melintasi perbatasan menuju wilayahnya. Kairo memperingatkan Israel agar tidak menggempur Rafah. Tiga sumber keamanan Mesir mengatakan, koordinasi militer dan keamanan antara Mesir dan Israel atas setiap serangan Israel ke Rafah bukan berarti menyetujuinya.
H A Hellyer, rekan senior dalam studi keamanan internasional pada Royal United Services Institute, memperkirakan serangan ke Rafah ”lebih cepat”. Sebab, Netanyahu di bawah tekanan untuk memenuhi tujuannya, yaitu menyelamatkan sandera dan membunuh semua pemimpin Hamas.
”Invasi ke Rafah tidak bisa dihindari karena cara dia (Netanyahu) membingkai semua ini,” katanya. Hellyer memastikan akan jatuh banyak korban jika serangan itu terjadi.
(AP/Reuters)