Hong Kong targetkan bebas plastik per September 2024. Terlepas antusiasme warga, pemilik usaha kuliner khawatir.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·2 menit baca
Pada Senin (22/4/2024), Hong Kong memulai larangan penggunaan kemasan dan alat makan plastik demi menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat, terutama rumah-rumah makan, diberi waktu enam bulan untuk beradaptasi dan mengubah kemasan mereka menjadi ramah lingkungan.
Penerapan larangan ini menyusul pengesahan undang-undang pada Oktober 2023. Hong Kong, wilayah kepulauan di selatan China yang padat penduduk, tidak memiliki sarana dan prasarana cukup untuk mengelola sampah. Wujud sampah yang paling banyak adalah plastik.
Berdasarkan data tahun 2021, masyarakat Hong Kong yang berjumlah 7,5 juta jiwa memproduksi 2.331 ton sampah plastik setiap hari. Secara keseluruhan, setiap tahun, Hong Kong memproduksi 4 juta ton sampah dan plastik menempati urutan kedua terbanyak.
Mayoritas sampah plastik berasal dari kemasan makanan, misalnya kotak stirofoam dan sendok garpu dari pesanan antar di restoran. Kurang memadainya fasilitas daur ulang plastik membuat Otoritas Hong Kong memilih melarang peredaran dan pemakaiannya.
Tse Chin Wan, Kepala Dinas Lingkungan Hong Kong, mengatakan, pada Oktober 2024, Hong Kong bebas sampah plastik. ”Individu dan lembaga yang melanggar akan dikenakan denda sebesar 100.000 dollar Hong Kong (Rp 207,1 juta),” ujarnya.
Warga umumnya tidak keberatan untuk mengubah gaya hidup mereka. Pegawai kantoran Wilson Tam, misalnya, menginginkan agar rumah makan mengubah kemasan makanan mereka menjadi lebih ramah lingkungan. Namun, Tam menolak membawa kotak bekal dari rumah. ”Repot sekali nanti harus mencuci kotak bekal di kantor,” katanya.
Kenaikan biaya
Terlepas dari antusiasme warga, para pemilik usaha rumah makan dan kafe mengkhawatirkan peraturan ini. Sebab, mengganti kemasan makanan ke yang ramah lingkungan, misalnya kotak karton dan sendok serta garpu bambu, akan menambah ongkos operasional. Perkiraannya, ongkos ini bisa naik 30 persen, menurut pengusaha restoran, Hailey Chan.
”Apalagi, restoran juga butuh mencetak logo atau nama mereka di atas kemasan ini. Biayanya semakin besar,” tutur Chan.
Menurut TC Li dari lembaga swadaya masyarakat Green Hospitality kepada publikasi daring Eco Business, harga kemasan ramah lingkungan masih terlalu mahal, bahkan bisa tiga kali lipat dari plastik. Hal ini memberatkan para pengusaha kuliner, terutama mereka yang bisnisnya hanya berupa kios atau lapak.
Mereka tidak memiliki modal sebanyak restoran besar dan waralaba. Hong Kong mencatat ada 17.000 usaha kuliner yang mayoritas berskala kecil.
Restoran juga butuh mencetak logo atau nama mereka di atas kemasan ini. Biayanya semakin besar.
”Beberapa jenis kemasan, terutama untuk plastik-plastik yang digunakan di hotel-hotel, malah belum ada alternatifnya. Kalaupun ada, masih sukar diperoleh di Hong Kong,” ujarnya.
Hotel-hotel bintang lima memiliki kemudahan mengganti kemasan ataupun barang-barang plastik mereka dengan kaca, kayu, bambu, dan kertas. Persoalannya, tidak ada standar mengenai biaya yang boleh dikenakan sebagai insentif peralihan tersebut. Ini membuka celah hotel atau restoran bisa membebani pelanggan dengan biaya besar-besaran.
Surat kabar South China Morning Post meliput praktik pengemasan makanan di rumah makan dan warung-warung. Restoran waralaba ayam goreng terkemuka memberi biaya tambahan 1 dollar Hong Kong kepada pembeli jika mereka menginginkan sendok, garpu, dan pisau dari kayu. Mayoritas pembeli menolaknya dan memilih makan dengan tangan.
Biaya serupa juga dikenakan oleh mayoritas pedagang makanan di Wan Chai, distrik di Hong Kong yang dikenal sebagai pusat kuliner. Sejumlah pembeli mengeluhkan kualitas dari alternatif plastik. Sedotan karton, misalnya, cepat basah dan layu di dalam gelas minuman. Bentuk sendok dan garpu kayu terlalu ceper, tidak seperti sendok garpu plastik, sehingga kurang nyaman digunakan. (AFP)