Lavrov Tiba di China untuk Bahas Isu Kelanjutan Perang Ukraina
China menjadi mitra ekonomi utama Rusia sejak Rusia menginvasi Ukraina, Februari 2022, dan kemudian diisolasi Barat.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·5 menit baca
BEIJING, SENIN — Perang di Ukraina yang terus berkecamuk dan sejumlah isu hangat di Asia Pasifik akan menjadi topik utama pertemuan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dalam lawatan dua hari di China. Kunjungan Lavrov ke China berlangsung di tengah peringatan Barat agar tidak ada satu pun negara memberikan bantuan ekonomi dan militer ke Rusia.
Lavrov tiba di Beijing, China, Senin (8/4/2024) pagi. Ia dijadwalkan bertemu dengan Menteri Luar Negeri China Wang Yi. Kunjungan Lavrov ini dianggap sebagai kunjungan pendahuluan sebelum kunjungan Presiden Rusia Vladimir Putin ke China, yang dijadwalkan, Mei mendatang.
”Mereka akan bertukar pandangan secara lebih mendalam atas beberapa topik yang sekarang sedang hangat,” sebut Kementerian Luar Negeri Rusia. Disebutkan dalam pernyataan itu, dua topik yang akan dibicarakan adalah krisis Ukraina dan situasi di kawasan Asia Pasifik.
China telah menjadi mitra ekonomi utama Rusia sejak Rusia menginvasi Ukraina pada akhir Februari 2022. Sejak saat itu, hubungan ekonomi kedua negara terus meningkat di tengah desakan Barat, sekutu Ukraina, agar tidak ada satu pun negara membantu membeli produk-produk Rusia. Namun, tak semuanya sepakat dengan keinginan Barat tersebut, termasuk China.
Angka perdagangan China-Rusia tahun 2023 meningkat sebesar 26,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya dengan total nilai sebesar 240,1 miliar dollar AS. Menurut data Bea Cukai China, ekspor China ke Rusia naik hingga 46,9 persen dan sebaliknya impor China dari Rusia naik hingga 13 persen.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken berulang kali menuding bahwa China dan beberapa negara yang memiliki ideologi politik yang sama, seperti Korea Utara dan Iran, membantu menyuplai kebutuhan militer Rusia. Khusus untuk China, saat berada di markas Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Brussels, Belgia, akhir pekan lalu, Blinken menyebut China terus menyediakan bahan untuk mendukung basis industri pertahanan Rusia.
Tudingan senada disampaikan Menteri Keuangan AS Janet Yellen yang tengah berkunjung ke Beijing. Yellen mengatakan, dirinya terus mengingatkan banyak negara soal konsekuensi yang akan dihadapi mereka jika terus mendukung industri pertahanan Rusia di tengah situasi perang saat ini.
Dalam percakapan telepon antara Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping pekan lalu, Biden kembali mengulangi desakannya soal hubungan industri pertahanan Negeri Tirai Bambu dengan Rusia. Biden menyebut sokongan China membuat industri pertahanan Rusia terus hidup di tengah invasi ke Ukraina. Serangan militer Rusia ke Ukraina juga terus berlangsung di tengah berbagai tekanan, tidak hanya terhadap perekonomiannya, tetapi juga industri militernya.
Juru Bicara Kemenlu China Mao Ning, Senin (8/4/2024), membantah bahwa pihaknya terlibat sebagai pihak yang berkonflik, termasuk menyuplai perangkat militer ke Rusia. Sebaliknya, China, kata Mao, menjadi mediator dalam proses perdamaian antara Rusia dan Ukraina.
”China bukanlah pencipta atau pihak dalam krisis Ukraina, dan kami belum dan tidak akan melakukan apa pun untuk mencari keuntungan dari krisis ini,” kata Mao.
Beijing, katanya lagi, akan ”terus mendorong perundingan perdamaian dengan cara kami sendiri (dan) menjaga komunikasi dengan pihak-pihak terkait termasuk Rusia dan Ukraina.”
Akhir Maret 2024, Utusan Khusus Pemerintah China untuk Eurasia Li Hui menyebut, meski ada jurang perbedaan yang dalam antara Ukraina dan Rusia, keduanya sepakat bahwa negosiasi adalah cara yang paling tepat untuk mengakhiri perang.
”Semua pihak bersikeras pada posisi masing-masing dan ada kesenjangan yang relatif besar dalam pemahaman mereka mengenai perundingan damai. Namun, semua sepakat negosiasi, bukan senjata, pada akhirnya akan mengakhiri perang ini,” kata Li, seusai melakukan diplomasi ulang alik ke sejumlah negara Eropa, seperti Jerman, Polandia, dan Perancis.
Lavrov menyebut, sejauh ini rencana perdamaian yang diusulkan China merupakan rencana yang paling masuk akal untuk menyelesaikan situasi di Ukraina. Lavrov, Kamis pekan lalu menyatakan, rencana perdamaian China didasarkan pada analisis situasi terbaru di lapangan. Meski dikritik Ukraina dan sekutu Baratnya, menurut Lavrov, rencana perdamaian China sejalan dengan kepentingan Rusia.
Beijing mengajukan 12 poin prinsip perundingan damai sejak setahun lalu yang menguraikan sejumlah prinsip umum penyelesaian perang di Ukraina. Akan tetapi, rencana itu tidak secara spesifik menjelaskan peta jalan yang harus dilalui, termasuk dampak yang akan dirasakan para pihak, yakni Rusia dan Ukraina.
Rencana tersebut disambut hangat oleh Rusia dan sekutunya. Sebaliknya, AS menyebut narasi China sebagai pembawa pesan perdamaian adalah sebuah narasi palsu yang dikerjakan bersama dengan Kremlin. Apalagi, China tidak pernah mengkritik invasi militer yang dilakukan Rusia ke Ukraina.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy telah mengajukan formula perdamaian berisi 10 poin sebagai persyaratan awal terselenggaranya perundingan damai. Beberapa poin, di antaranya, penarikan seluruh pasukan Rusia dari wilayah Ukraina (termasuk wilayah Crimea dan Donbas), perundingan damai multilateral, dan jaminan tidak ada agresi atau invasi lagi di masa depan.
Sebaliknya, Presiden Rusia Vladimir Putin menginginkan agar semua wilayah yang telah dikuasai Rusia pada 2014 dan setelah invasi pada 2022 diakui dunia internasional sebagai wilayahnya sebelum perundingan damai dilaksanakan. Selain itu, mereka menginginkan agar Ukraina dan sekutu Barat mengakui kemenangan Rusia dalam konflik tersebut.
Swiss menyatakan kesediaannya untuk menjadi tuan rumah pembicaraan damai kedua negara atas permintaan Zelenskyy. Akan tetapi, Rusia menyebut inisiatif tersebut tidak ada gunanya dan akan gagal tanpa partisipasi Moskwa.
Prospek perdamaian diperkirakan semakin menjauh setelah serangan kelompok bersenjata di Crocus City Hall di Moskwa, Rusia, akhir Maret lalu, yang menewaskan 140-an orang. Rusia menuding Ukraina berada di balik serangan yang dilakukan oleh individu bersenjata warga negara Tajikistan. Kyiv membantah tudingan itu. Bahkan, Rusia mendesak Ukraina menyerahkan petinggi intelijennya yang diduga menjadi dalang di balik serangan tersebut. (AP/AFP/REUTERS)