Wakil Dubes Jerman: ”Ferienjob” Tak Ada Hubungannya dengan Perkuliahan
Benang kusut ”ferienjob” bermula saat dua perusahaan di Indonesia menyebut program itu bisa dikonversi menjadi 20 SKS.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kedutaan Besar Jerman di Jakarta menegaskan, program kerja paruh waktu ferienjob tidak ada hubungannya dengan perkuliahan. Benang kusut ferienjob bermula ketika ada dua perusahaan di Indonesia mendatangi kampus-kampus dan menyebut program itu sebagai bagian dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau MBKM.
Wakil Duta Besar Jerman untuk Indonesia Thomas Graf, Kamis (4/4/2024), menyatakan, ferienjob adalah peluang kerja paruh waktu bagi mahasiswa untuk mendapat penghasilan tambahan saat libur semester. Ferienjob memberikan kesempatan kepada orang muda untuk merasakan pengalaman kerja di Jerman dan dari situ dapat menimbang apakah nanti ketika kuliah mereka ingin meneruskan karier di sana.
”Ferienjob memang hanya bisa diikuti oleh mahasiswa. Namun, kerja paruh waktu ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kompetensi jurusan yang dipelajari mahasiwa di kampus. Saya rasa di sini kesalahpahaman tentang ferienjob bermula,” kata Graf.
Sebelumnya diberitakan, Polri menetapkan lima orang sebagai tersangka tindak pidana perdagangan orang (TPPO) terkait program magang bermasalah. Mereka menawarkan mahasiswa untuk ikut ferienjob yang disebut menjadi bagian dari MBKM dan dapat dikonversi menjadi 20 SKS.
Terungkapnya kasus itu berawal dari informasi Kedutaan Besar RI di Berlin, Jerman, soal kejanggalan proses magang empat mahasiswa Indonesia. Para mahasiswa itu merasa dieksploitasi dan terjerat utang.
Setelah diselidiki, ternyata program magang bermasalah itu dijalankan 33 universitas di Indonesia. Ada 1.047 mahasiswa yang telah diberangkatkan ke Jerman oleh PT CVGEN dan PT SHB.
Ferienjob memang hanya bisa diikuti oleh mahasiswa. Namun, kerja paruh waktu ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan kompetensi jurusan yang dipelajari mahasiwa di kampus.
Graf menuturkan, kerja paruh waktu ferienjob bukan pekerjaan yang mensyaratkan keterampilan khusus, melainkan kerja-kerja kasar di restoran, hotel, dan sektor logistik. Meski demikian, pelaksanaan ferienjob tetap tunduk pada undang-undang dan peraturan ketenagakerjaan di Jerman, termasuk dalam hal upah minimum.
Pemerintah Jerman membatasi pelaksanaan ferienjob maksimal 90 hari dan harus dilaksanakan saat masa libur mahasiswa. Hal ini untuk menjamin supaya perkuliahan mahasiswa tidak terganggu karena ferienjob tidak bisa dikonversi menjadi SKS.
Menurut Graf, Pemerintah Jerman memberikan perhatian terhadap peristiwa yang dialami sejumlah mahasiswa Indonesia. Selama beberapa dekade ferinjob diterapkan, dia merasa belum pernah ada keluhan serupa dari mahasiswa asal negara lain.
Ia mengatakan, ketika menjalankan program seperti ferienjob dengan jumlah partisipan yang sangat banyak, secara statistik tentu ada sebagian kecil yang tidak merasa senang atau tidak nyaman dengan pengalaman yang didapat. Ia berharap hanya sejumlah kecil yang merasa demikian.
”Kalau program ini memang mendapat banyak tanggapan negatif secara terus-menerus, saya rasa media Jerman juga akan melaporkannya. Namun, kenyataannya tidak begitu. Jika pemerintah kami menemukan masalah besar dalam program ini, tentunya kami akan melakukan perubahan yang diperlukan,” ujar Graf.
Tenaga kerja
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo menilai, program ferienjob di Jerman memiliki kemiripan dengan program magang lain yang menjaring pelajar Indonesia untuk bekerja di Jepang dan Korea Selatan. Dua negara di Asia itu amat membatasi pekerja asing, tetapi membuka peluang magang dengan luas.
”Meskipun disebut magang, kerjanya bisa lembur dan upahnya tetap gaji magang. Skema magang sebenarnya adalah muslihat negara maju untuk mendapat tenaga kerja murah dari negara dunia ketiga,” kata Wahyu saat berbicara dalam forum diskusi dengan tema ”Ironi Perdagangan Orang Muda”, Selasa (2/4/2024).
Menurut Wahyu, berkat desakan serikat buruh dan warga Pakistan yang menjadi korban, Pemerintah Korsel akhirnya memutuskan perekrutan magang sebagai inkonstitusional. Adapun Jepang masih dalam proses mengevaluasi kebijakan.
Menanggapi hal itu, Graf menyatakan tidak bisa berkomentar mengenai apakah ferienjob juga sebuah upaya merekrut tenaga kerja murah seperti yang dilakukan Korsel dan Jepang karena ia tidak familier dengan program magang di dua negara tersebut. Namun, ia tidak setuju jika ferienjob disebut sebagai cara Pemerintah Jerman merekrut tenaga kerja murah.
”Ferienjob, yang bahkan programnya dibatasi maksimal 90 hari, mematuhi standar upah minimum berdasarkan peraturan ketenagakerjaan Jerman... Sekali lagi saya menegaskan semua perusahaan di Jerman mematuhi regulasi ketenagakerjaan yang amat ketat,” ucapnya.