Ekonomi Asia Timur dan Pasifik Tumbuh Tinggi, tetapi Produktivitas Seret
Pertumbuhan ini lebih didorong investasi dan peran China, bukan karena kenaikan produktivitas lokal.
Perekonomian Asia Timur dan Pasifik tumbuh lebih tinggi, melampaui rata-rata pertumbuhan global. Akan tetapi, pertumbuhan tinggi Asia ini lebih rendah dari potensi yang ada.
Pertumbuhan ini lebih didorong investasi dan peran China, bukan karena kenaikan produktivitas lokal di kebanyakan negara. Ada cara penting agar potensi pertumbuhan lebih tinggi bisa tercapai, yakni produktivitas dan inisiatif lokal.
Baca juga: Ekonomi Asia Pasifik Termasuk Indonesia Bersinar
Demikian antara lain ini isi laporan Bank Dunia berjudul “World Bank East Asia and The Pacific Economic Economic Update April 2024” yang diumumkan di Washington, Amerika Serikat pada 31 Maret 2024. Disebutkan juga, kesinambungan pertumbuhan tinggi dalam jangka panjang hanya akan tertolong dengan kenaikan produktivitas lokal.
Negara-negara yang tercakup dalam laporan ini adalah negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik; Kamboja, China, Indonesia, Laos, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Papua Nugini, Filipina, Thailand, Timor Leste, Vietnam; dan Negara-negara Kepulauan Pasifik. China tetap dipersepsikan sebagai negara berkembang walau kini tertinggi dalam perolehan hak paten hasil inovasi.
Laporan Bank Dunia kali ini cukup menghardik. Isinya tidak semata-mata memuji pertumbuhan. Tujuannya agar kawasan tidak terlena dengan angka-angka pertumbuhan tinggi semata. Hal ini bisa membius karena seungguhnya jika ditilik secara mikro, masih banyak hal yang tidak beres.
Dari sisi pertumbuhan, ekonomi di kawasan diperkirakan tumbuh 4,5 persen pada 2024, turun dari 5,1 persen pada 2023. Jika China dikecualikan dari kelompok tersebut, pertumbuhan akan sebesar 4,6 persen pada 2024, naik dari 4,4 persen pada 2023.
Ekonomi China diproyeksikan akan tumbuh 4,5 persen pada 2024, turun dari 5,2 persen pada 2023. Faktor utang di China yang meningkat, penurunan aktivitas di sektor properti, dan friksi dagang dengan AS turut menekan pertumbuhan China. Khusus untuk Indonesia, proyeksi pertumbuhan pada 2024 sebesar 4,9 persen, turun sedikit dari 5 persen pada 2023.
Kontribusi kuat
Dengan demikian, kawasan Asia Timur dan Pasifik tetap tergolong pemberi kontribusi tertinggi untuk pertumbuhan global. Pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan hanya tumbuh 2,4 persen pada 2024.
“Asia Timur dan Pasifik memberi kontribusi kuat pada pertumbuhan ekonomi global, meski kawasan sedang menghadapi tantangan lebih besar dan iklim ekonomi global yang serba tak pasti, penuaan penduduk dan efek perubahan iklim,” kata Wakil Presiden Bank Dunia untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik Manuela V. Ferro.
Kontribusi Asia Timur dan Pasifik ini terutama didorong oleh peran inti China bagi kawasan. “China telah berkembang menjadi faktor penting bagi pertumbuhan kawasan. China berperan sebagai sumber input produksi, dan sekaligus menjadi tujuan ekspor produk bernilai tambah tinggi dari kawasan. China juga menjadi sumber investasi bagi kawasan,” kata Aaditya Mattoo, Kepala Ekonom di Bank Dunia untuk Urusan Asia Timur dan Pasifik.
Asia Timur dan Pasifik memberi kontribusi kuat pada pertumbuhan ekonomi global, meski kawasan sedang menghadapi tantangan lebih besar dan iklim ekonomi global yang serba tak pasti.
China memang sedang gencar memperdalam hubungan ekonomi dengan Asia Timur dan Pasifik. Hal itu juga dilakukan China untuk Asia Tengah, Asia Selatan, Afrika, hingga Amerika Latin.
Namun, Bank Dunia menyimpulkan, meski pertumbuhan tinggi dimiliki Asia Timur dan Pasifik, pertumbuhan itu berpotensi berubah menjadi lebih rendah. Masalahnya, ada potensi lebih besar bagi risiko pertumbuhan ekonomi global.
Ini antara lain disebabkan suku bunga yang masih bertahan tinggi di negara maju dan ketegangan geopolitik yang makin meningkat. Ketegangan geopolitik ini lebih berpusat pada relasi panas dingin AS-China yang juga terjebak perang sengit dalam perdagangan cip.
Peringatan penting
Namun, Bank Dunia juga melanjutkan, Asia Timur dan Pasifik memiliki masalahnya tersendiri. Pola pertumbuhan, walau masih melampaui rata-rata dunia, sudah menurun pula jika dibandingkan dengan era sebelum Covid-19 mewabah pada 2020.
Berdasarkan data Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik sebesar 6,3 persen pada 2016 dan 6,5 persen pada 2017. Pada 2018 ekonomi kawasan tumbuh 6,3 persen dan turun lagi ke tingkat lebih rendah, yakni 5,8 persen pada 2019.
Baca juga: Mungkin Asia secara Umum Tidak Takut pada China
Penurunan pertumbuhan ini, menurut Mattoo, bukan hanya karena faktor eksternal semata. Mattoo melihat pertumbuhan di kawasan selama ini lebih didorong investasi. Artinya, pertumbuhan terjadi karena dorongan investasi yang mengggerakkan banyak aktivitas ekonomi, baik kaitan ke sisi hulu produksi maupun ke hilirnya. Relokasi industri China termasuk pendukung pertumbuhan ini.
Bank Dunia mendalami mengapa pertumbuhan lebih rendah dari potensi kawasan. Ditemukan bahwa perusahaan-perusahaan di kawasan tidak tangguh dalam hal produktivitas, disebut total factor productivity (TFP). Perusahaan-perusahaan di kawasan tidak memiliki TPF sebaik Singapura, Australia, Taiwan, Korea Selatan, dan China. Di dalam TPF itu terdapat unsur inovasi, yang memang tidak mencengangkan di kawasan, kecuali China.
Ditilik lebih mikro, produktivitas pekerja bisa naik lagi jika ada perbaikan kualitas pekerja. Dalam kasus umum di kawasan, kerap kali ada kesulitan untuk mendapatkan karyawan melek teknologi informasi, yang sangat mempengaruhi produktivitas. Hal serupa terjadi untuk pekerja terampil di bidang lainnya. Saran Bank Dunia, sebaiknya kawasan meningkatkan keberadaan para guru guna meningkatkan keterampilan pekerja.
Kawasan pun masih mengidap ketertutupan relatif, yang efeknya tidak mendorong tradisi persaingan bisnis. Di kawasan masih sarat barrier to entry, alias dasar untuk persaingan belum cukup dalam karena masih banyak halangan untuk asas persaingan. Bank Dunia menemukan masih banyak hambatan nontarif yang terjadi di kawasan sehingga membuat dunia usaha tidak leluasa memanfaatkan potensi pasar.
Baca juga: Asia Tenggara Tak Akan Makmur jika Didikte Negara Adidaya
Bank Dunia mengingatkan soal konektivitas dan infrastruktur yang menghambat efisiensi. Infrastruktur yang dimaksudkan di antaranya sambungan internet, kestabilan aliran litrik, dan tidak terjaminnya keberadaan infrastruktur fisik, jalan-jalan. Bank Dunia juga menyinggung faktor birokrasi dan korupsi yang menghinggapi kawasan.
Jika kawasan ingin tumbuh lebih tinggi, potensinya sangat besar. “Negara-negara di kawasan bisa meningkatkan momentum pertumbuhan dengan membuka lebih lebar investasi swasta, mengatasi masalah keuangan dan dengan menaikkan produktivitas,” kata Ferro.
Meski sejumlah masalah melekat, kawasan tetap mampu mengalahkan kinerja perekonomian di kawasan lain. “Kawasan ini masih mampu mengalahkan seluruh dunia, tetapi masih belum mampu merealisasikan potensi yang ada sepenuhnya,” kata Mattoo.
“Peluncurkan kebijakan yang tegas amat dibutuhkan untuk memaksimalkan potensi, termasuk perbaikan infrastruktur dan reformasi pendidikan,” kata Mattoo.
Seperti dituturkan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva pekan lalu dalam China Development Forum di Beijing, reformasi propasar membuat ekonomi CChina mendorong pertumbuhan lebih cepat. Hal serupa tentu berlaku untuk kawasan. (AP/AFP/REUTERS)