Tekanan pada Netanyahu Makin Besar, Warga Israel Desak Gencatan Senjata di Gaza
Tekanan pada PM Benjamin Netanyahu membesar. Warga Israel berunjuk rasa mendesak gencatan senjata di Gaza dan pemilu.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·3 menit baca
JERUSALEM, SENIN — Tekanan pada pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu membesar. Puluhan ribu warga Israel berunjuk rasa di Jerusalem dan Tel Aviv, Minggu (31/3/2024), mendesak pemerintahan Netanyahu untuk segera mencapai kesepakatan penghentian pertempuran antara kelompok Hamas dan Israel, membebaskan sandera, serta menggelar pemilu lebih awal.
Pada saat bersamaan, Netanyahu dilaporkan menjalani operasi hernia. Kantor PM Israel menyebutkan, Senin (1/4/2024), operasi tersebut berjalan sukses.
Unjuk rasa pada hari Minggu kemarin merupakan yang terbesar sejak pecah perang Hamas dan Israel mulai 8 Oktober 2023. Sabtu lalu, unjuk rasa juga pecah di Tel Aviv.
Pada unjuk rasa hari Minggu di Jerusalem, para pengunjuk rasa berkerumun di sekitar gedung parlemen. Mereka memadati beberapa blok di sekitar gedung itu, menyalakan api, dan mengibarkan bendera Israel. Mereka juga memblokade jalan-jalan utama kota.
Polisi menggunakan meriam air untuk menghadapi para pengunjuk rasa serta mendorong mereka mundur saat meneriakkan yel-yel seruan agar Netanyahu harus pergi.
Dalam unjuk rasa tersebut, banyak pengunjuk rasa membawa plakat bergambar wajah Netanyahu berlumuran darah. Warga Israel yang tergabung dalam unjuk rasa itu menyalahkan Netanyahu atas kegagalannya melindungi Israel dari serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Mereka juga menyatakan, perpecahan politik yang dalam terkait upaya perombakan lembaga peradilan tahun lalu telah melemahkan Israel menjelang serangan tersebut. Beberapa pihak menuduh Netanyahu merusak hubungan dengan Amerika Serikat, sekutu terpenting Israel.
Sementara dalam unjuk rasa hari Sabtu, ribuan pengunjuk rasa di Tel Aviv memblokade jalan raya utama selama dua jam. Sejumlah pengunjuk rasa juga mendatangi rumah Netanyahu di Jerusalem, sekitar 66 kilometer tenggara Tel Aviv, sambil meneriakkan slogan-slogan dan seruan agar Netanyahu mundur.
Sejumlah pengunjuk rasa juga mendatangi rumah Netanyahu di Jerusalem sambil meneriakkan slogan-slogan dan seruan agar Netanyahu mundur.
Perang Hamas-Israel meletus setelah Hamas menyerang Israel selatan, 7 Oktober 2023. Dalam serangan itu, sekitar 1.200 warga Israel terbunuh dan 250 orang menjadi sandera Hamas. Israel kemudian membalas dengan serangan membabi buta ke Jalur Gaza. Hingga Minggu (31/3/2024), sekitar 32.700 warga Palestina di Gaza tewas akibat serbuan masif Israel.
Netanyahu berjanji untuk menghancurkan Hamas dan memulangkan semua sandera. Namun, baru separuh dari sandera yang bebas melalui kesepakatan jeda pertempuran pada November 2023. Para sandera lain, yang diyakini masih hidup, belum bisa dibebaskan hingga hari ini. Adapun jasad sandera yang diduga sudah tewas masih berada di Gaza.
Tudingan pada Netanyahu
Sementara itu, perundingan yang dilakukan para mediator internasional sampai hari Minggu kemarin belum juga menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Perang yang sudah berlangsung hampir enam bulan tak kunjung mencapai kesepakatan gencatan senjata. Para keluarga sandera semakin keras menyatakan ketidaksukaan terhadap Netanyahu. Mereka menuding Netanyahu hanya bekerja untuk kepentingan pribadi.
Dalam unjuk rasa hari Minggu, tekanan kepada Netanyahu semakin membesar. Para pengunjuk rasa menegaskan, mereka akan terus menggelar protes hingga para sandera berhasil dipulangkan. Mereka juga mendesak Pemerintah Israel menggelar pemilihan umum, hampir dua tahun lebih cepat dari jadwal semula.
Netanyahu dalam pidato yang disiarkan televisi nasional pada Minggu malam, tepat sebelum ia menjalani operasi hernia, mengatakan bahwa dia memahami penderitaan keluarga sandera. Namun, menurut dia, mengadakan pemilu baru, yang dia sebut sebagai momen sebelum kemenangan, akan melumpuhkan Israel selama enam hingga delapan bulan. Selain itu, lanjut Netanyahu, pemilu akan menghentikan perundingan pembebasan sandera.
Hingga saat ini, koalisi pemerintahan Netanyahu tampaknya masih utuh. Beberapa keluarga sandera sepakat, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk mengadakan pemilu.
”Saya tidak berpikir, mengganti perdana menteri sekarang merupakan langkah maju dan akan membantu anak saya pulang,” kata Sheli Shem Tov, yang putranya, Omer, diculik dari sebuah festival musik, kepada Channel 12 Israel.
”Menggelar pemilu sekarang hanya akan mengesampingkan masalah yang paling mendesak, yaitu memulangkan para sandera,” imbuh Tov.
Dalam pidatonya lewat televisi itu, Netanyahu kembali mengulangi sumpahnya untuk melancarkan serangan darat ke Rafah, Jalur Gaza selatan, tempat pengungsian warga Palestina di Gaza. Lebih dari separuh penduduk Jalur Gaza yang berjumlah 2,3 juta jiwa mengungsi akibat perang Hamas-Israel.
”Tidak ada kemenangan tanpa (menyerang) ke Rafah,” kata Netanyahu seraya menambahkan bahwa tekanan AS tidak akan menghalanginya. Apalagi, militer Israel juga mengatakan, pasukan Hamas masih berada di Rafah.
Isu lain
Selain soal pembebasan sandera dan gencatan senjata, ada hal lain yang memicu kemarahan warga Israel. Warga laki-laki dari kelompok ultra-ortodoks Yahudi dari generasi ke generasi dikecualikan dari wajib militer. Sementara bagi sebagian besar warga laki-laki dan perempuan Yahudi, hal itu adalah kewajiban.
Sekelompok tentara cadangan dan pensiunan perwira berdemonstrasi di lingkungan ultra-ortodoks Yahudi terkait hal tersebut. Kebencian atas hal tersebut semakin dalam selama perang.
Pemerintahan Netanyahu telah diperintahkan untuk mempresentasikan rencana baru atas rancangan undang-undang yang lebih adil sampai dengan Senin ini. Namun, Netanyahu yang sangat bergantung pada dukungan partai ultra-ortodoks, pekan lalu, meminta perpanjangan waktu.
Bank Israel dalam laporan tahunannya pada Minggu juga mengatakan, akan ada kerugian ekonomi jika sejumlah besar pria ultra-ortodoks terus tidak menjalani wajib militer.