Cikal Bakal NIIS di Rusia, Mengapa Mereka Serang Jantung Pemerintahan Putin?
NIIS mengaku bertanggung jawab atas serangan berdarah di dekat Moskwa, Rusia. Seperti apa kekuatan mereka di Rusia?
Kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) mengklaim bahwa merekalah yang melancarkan serangan berdarah ke gedung konser Crocus City Hall, di pinggiran barat kota Moskwa, Rusia, Jumat (22/3/2024) malam. Sedikitnya 143 orang tewas dalam serangan itu.
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Rusia telah mengeluarkan peringatan, dua pekan sebelumnya, soal kemungkinan serangan kelompok teroris dalam waktu dekat. Peringatan itu dikeluarkan setelah badan intelejen Rusia, FSB, menggagalkan serangan di sebuah sinagoge oleh sel kelompok NIIS pada 7 Maret 2024.
Tiga hari sebelum serangan yang digagalkan ke sinagoge tersebut, Komite Antiterorisme Nasional Rusia (NAC) melumpuhkan enam orang yang diduga anggota NIIS. Baku tembak terjadi di Karabulak, kota di republik semi-otonom Rusia, Ingushetia.
Baca juga: Serangan Berdarah atas Konser di Dekat Moskwa, Sedikitnya 60 Orang Tewas
Mengutip sejumlah pengamat terorisme, kantor berita Reuters dan AFP, Sabtu (23/3/2024), melaporkan, kelompok NIIS-Khorasan (NIIS-K)—salah satu cabang NIIS yang beroperasi di Afghanistan, Iran, Turkmenistan, serta Pakistan—diduga menjadi pelaku serangan di dekat Moskwa itu. Namun, sejauh ini belum ada kejelasan, apakah aksi ini benar dilakukan NIIS-K atau sel NIIS yang pernah berkembang di wilayah Kaukasus Utara.
Sejarah NIIS
Kelompok NIIS atau dikenal juga dengan nama ISIS atau ISIL (Islamic State in Iraq and Levant) diperkirakan didirikan tahun 1999 oleh Abu Musab al-Zarqawi. Berdiri dengan nama Jamaat al-Tauhid wa al-Jihad atau Organisasi Tauhid dan Jihad (JTJ), kelompok ini mulai dikenal setelah berbaiat kepada Kelompok Al Qaeda yang dipimpin Osama bin Laden pada 2004. Hubungan yang terjalin ini kemudian membuat Zarqawi mengganti nama kelompoknya menjadi Al Qaeda di Irak (AQI).
Setelah Zarqawi tewas akibat serangan pasukan koalisi pimpinan AS di Irak pada Juni 2006, Dewan Syura Mujahiddin, badan yang mengendalikan kelompok itu, memutuskan mengganti nama AQI menjadi Negara Islam Irak (NII). Kepemimpinan kelompok ini dipegang oleh duet pemimpin senior, yakni Abu Abdullah al-Rashid al-Baghdadi dan Abu Ayyub al-Masri, selama lebih kurang empat tahun.
Operasi gabungan pasukan koalisi dan Pemerintah Irak menewaskan keduanya. Kemudian, kelompok ini mengangkat Abu Bakr al-Baghdadi sebagai pemimpinnya.
Baca juga: Klaim AS Tahu Rencana Serangan di Dekat Moskwa Picu Kecurigaan Rusia
Seperti dikutip laman Wilson Center, setelah sempat bersembunyi pascakematian Abu Abdullah al-Rashid al-Baghdadi dan Abu Ayyub al-Masri karena gelombang serangan pasukan koalisi di Irak, kelompok ini muncul lagi pada 2011. Memanfaatkan ketidakstabilan politik dan keamanan di Irak dan Suriah, di bawah pemimpin barunya, Abu Bakr al-Baghdadi, mereka mengganti nama menjadi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) tahun 2013.
Kelompok ini mulai melancarkan serangan ke berbagai kota dan wilayah di Irak, seperti Mosul dan Tikrit, Juni 2014. Sewaktu di Mosul, 29 Juni 2014, Baghdadi mengumumkan pembentukan kekhalifahan yang membentang dari Aleppo di Suriah hingga ke Diyala di Irak. Dia juga mengganti nama kelompoknya menjadi Negara Islam (Islamic State/IS) atau Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Kelompok ini diperkirakan menguasai wilayah seluas 70.000 kilometer persegi dengan jumlah penduduk 8-12 juta jiwa. Wilayah mereka mencakup Provinsi Aleppo, Raqqa, Deir ez-Zor, Homs, Hasakah, dan Damaskus di Suriah, serta Provinsi Saladin, al-Anbar, dan Ninive di Irak.
Tujuan berdirinya NIIS adalah mendirikan khilafah atau sistem ketatanegaraan yang diklaim berlandaskan hukum Islam. Dalam pandangan mereka, penerapan hukum Islam di luar kekhalifahan yang mereka bangun tidaklah murni dan harus dihancurkan.
Akibat upaya pemurnian itu, segala peninggalan sejarah yang dalam pandangan kelompok ini tidak sesuai dengan ajaran Islam dimusnahkan. Sejak 2014, NIIS telah memusnahkan berbagai artefak kuno peninggalan sejarah Islam, seperti Masjid Agung al-Nuri yang telah berusia 850 tahun. Mereka juga menghancurkan kota kuno Hatra dengan seluruh peninggalan bersejarahnya yang telah dibangun sejak abad ketiga sebelum Masehi (SM).
Kota Ninive, pusat Kerajaan Assiria pada 900-600 SM, juga dihancurkan. Bahkan, masjid dan makam Nabi Yunus di kota itu juga menjadi sasaran penghancuran. Mereka juga menghancurkan artefak dan kota-kota kuno yang memiliki arsitektur Islam di Suriah.
Baca juga: NIIS dan Negara Gagal di Dunia Arab
Diperkirakan NIIS memiliki afiliasi di delapan negara, termasuk di antaranya di Indonesia melalui kelompok JAT dan Boko Haram di Nigeria.
Upaya untuk meredam keberadaan kelompok NIIS di Irak dan Suriah, selain dilakukan oleh pasukan koalisi pimpinan AS dan pasukan negara setempat, juga dilakukan oleh militer Rusia yang berada di Suriah. Kerja sama koalisi multinasional kedua negara untuk menghancurkan kelompok NIIS di Irak dan Suriah berbuah ketika pada 2015 kelompok itu kehilangan lebih dari 10.000 anggotanya pascaoperasi militer selama sembilan bulan.
Dua tahun berikutnya, tahun 2017, NIIS kehilangan lebih dari 95 persen wilayah yang pernah dikuasainya, termasuk Mosul di Irak dan Raqqa di Suriah utara. Pada 10 Desember 2017, Pemerintah Irak merayakan kemenangan atas kelompok ini dengan mengadakan parade militer di Baghdad, Irak.
Perlawanan kelompok ISIS dan anggotanya masih berlanjut di Suriah. Baru pada 26 Oktober 2019, kematian Abu Bakr al-Baghdadi di Suriah utara membuat ribuan anggota NIIS menyerahkan diri.
NIIS di Rusia
Keberadaan kelompok NIIS atau simpatisannya di wilayah Rusia tidak terlepas dari keberadaan kelompok Emirat Kaukasus atau Imarat Kavkaz.
Marta Ter, peneliti pada Eurasia Observatory, mengatakan, Emirat Kaukasus telah aktif sejak tahun 2007. Kelahiran mereka tidak terlepas dari dua kali perang antara etnis Chechen dan Rusia tahun 1994 dan 1999. Bubarnya Uni Soviet membuat Chechnya, yang saat itu masih menjadi negara bagian USSR, memutuskan untuk mendeklarasikan kemerdekaannya.
Akan tetapi, pada Desember 1994, pemerintahan baru Soviet di bawah Boris Yeltsin menolak dan menganggapnya sebagai pemberontakan terhadap Moskwa. Yeltsin kemudian melancarkan serangan terhadap Chechnya, yang diklaim sebagai tindakan untuk memulihkan tatanan konstitusional.
Perang tersebut berlangsung selama hampir dua tahun. Diperkirakan, lebih dari 60.000 warga sipil Chechnya tewas dan lebih dari 300.000 warga mengungsi. Perang itu berakhir pada 1996. Pemimpin gerilyawan Aslan Maskhadov yang berideologi moderat terpilih sebagai Presiden Republik Chechnya.
Baca juga: Teror Bom Hantui Rusia
Akan tetapi, situasi pascaperang tidak mudah untuk diperbaiki oleh Maskhadov. Dua masalah utama yang dihadapi pemerintahan Maskhadov, yakni perekonomian yang hancur dan penolakan beberapa komandan untuk membubarkan milisi mereka, membuat situasi memburuk.
Para komandan tersebut dinilai telah dipengaruhi ajaran Salafisme yang dibawa oleh para pejuang Arab yang ikut berperang pada perang Chechnya (1994-1996). Pada akhirnya, menurut Mer, ada kesamaan tujuan antara kelompok pemberontak ini dengan Moskwa, yakni menjatuhkan pemerintahan Maskhadov.
Lima ledakan di beberapa kota di Rusia membuat Vladimir Putin, yang saat itu didapuk menjabat sebagai perdana menteri Rusia, mengarahkan kecurigaannya kepada kelompok teror Chechnya. Pada 1 Oktober 1999, Putin mengeluarkan perintah untuk menyerang Chechnya, yang digambarkannya sebagai operasi antiterorisme.
Operasi itu dengan cepat berubah menjadi operasi untuk merebut kembali kendali atas wilayah Chechnya. Angkatan bersenjata Rusia secara besar-besaran menggunakan artileri dan pengeboman udara selama operasi tersebut, yang memicu kematian puluhan ribu warga sipil.
Melemahnya kekuasaan Maskhadov membuat sejumlah gerilyawan Chechnya tidak lagi mau tunduk dan patuh pada perintahnya. Para kombatan di bawah pimpinan Shamil Basayev melanggar perintah Maskhadov dan mengorganisasi serangan di wilayah Rusia. Serangan-serangan itu menimbulkan banyak korban jiwa, seperti serangan teater Dubrovka di Moskow pada Oktober 2002 dan pengepungan sekolah di Beslan, Ossetia Utara, pada September 2004.
Militer Rusia menyingkirkan Maskhadov pada Maret 2005. Setelah itu, slogan-slogan jihadis salafisme dengan cepat dan sepenuhnya mendominasi pemberontakan Chechnya. Gerakan pembebasan nasional Chechnya yang sekuler, karakter khas pada pemberontakan di Kaukasus sebelumnya, digantikan oleh konflik yang sepenuhnya bersifat religius.
Pemimpin Emirat Kaukasus pertama adalah Doku Umarov, pengganti Maskhadov. Menurut Ter, proyek lanjutan yang ingin digarap oleh Umarov adalah menyatukan berbagai etnis di Kaukasus di bawah payung pan-Kaukasia, yang mencakup Chechnya, Ingushetian, Daghestanis, Kabardian, Circassians, Karachay, serta beberapa orang Azeri dan Rusia yang masuk Islam.
Umarov sendiri tidak memiliki hubungan langsung dengan NIIS. Akan tetapi, sayap kelompok ini, Vilayat Kavkaz, yang dipimpin oleh Rustam Asildarov yang berbaiat diri pada kelompok NIIS pimpinan Abu Bakr al-Baghdadi tahun 2014.
Gordon M Hahn, profesor dan peneliti senior pada Institut Studi Internasional Middlebury di Monterey, California, mengatakan, di bawah kepemimpinan Umarov, mayoritas para pejuang Chechnya membelot dan mengikuti jejak Asildarov, berbaiat pada NIIS dan Abu Bakr al-Baghdadi.
Apakah NIIS kuat di Rusia?
Meski telah memerangi NIIS dan organisasi teror yang terafiliasi dengan kelompok itu sejak lama, baru pada Desember 2014 Mahkamah Agung Rusia memasukkan NIIS dalam daftar organisasi teror dan melarang seluruh aktivitasnya di wilayah Rusia. Tidak ada penjelasan tegas apakah setelah pelarangan itu simpatisan NIIS semakin bertambah dan membuatnya semakin kuat atau sebaliknya.
Terlepas dari hal tersebut, sejumlah ahli menilai bahwa keislaman semakin menguat seiring dengan pertumbuhan warga Rusia dan negara-negara eks Uni Soviet yang menganut agama Islam. Profesor Alexey Malashenko, anggota Dewan Carnegie Moscow Center, pada 2013 menulis bahwa wilayah Kaukasus Utara menjadi pusat penyebaran agama Islam di wilayah Rusia. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, jumlah penduduk Rusia yang menganut agama Islam berjumlah 20 juta jiwa.
Malashenko, dalam artikelnya ”Dinamika Umat Islam di Rusia” (Carnegie Moscow Center 2013) menuliskan, sejumlah pakar Islam Rusia dan politisi Rusia sepakat bahwa sebagian Muslim Rusia sedang mengalami radikalisasi.
Baca juga: Rusia Rekrut Mantan Anggota Pasukan Elite Afghanistan
Hal ini terjadi karena makin banyak kelompok radikal yang berasal dari wilayah Asia Tengah aktif di wilayah Rusia, terutama yang berbatasan dengan Asia Tengah atau berlokasi di dekatnya, termasuk Oblast Astrakhan, Chelyabinsk, Kurgan, Omsk, Orenburg, Tomsk, dan Tyumen serta wilayah-wilayah di Rusia. Lingkaran salafi yang didominasi oleh warga setempat beroperasi di wilayah Volga, terutama di Tatarstan (Almetyevsk, Kukmor, Naberezhnye Chelny, dan Nizhnekamsk), Bashkortostan (Agideli, Baimak, Oktyabrskoe, Sibaya, dan Ufa), dan di Nizhniy Novgorod, Samara, Oblast Saratov, dan Ulyanovsk, serta di Mordovia.
Malashenko, masih dalam tulisannya, menyatakan, para ulama dari kelompok tradisionalis perlahan-lahan kehilangan popularitas di kalangan pemuda Muslim di Rusia. Mereka hanya mempunyai sedikit ulama yang kharismatik dan terdidik secara profesional. Anak-anak muda ini juga memandang bahwa para ulama telah ternoda karena kerja sama dengan otoritas sekuler.
”Kaum muda mencari sesuatu yang baru dalam Islam, sesuatu yang mengarah pada peristiwa terkini di republik mereka, negaranya, dan dunia. Kaum tradisionalis yang terpaku pada pelestarian tradisi mazhab dan etnokultural tak mampu memberikan jawaban yang memuaskan.” tulis Malashenko.
”Kelompok salafi dan radikal sering kali mampu memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menjadi perhatian kaum muda,” lanjut Malashenko.
Mengutip pengamat, kantor berita Reuters melaporkan, pelaku serangan di Crocus City Hall adalah kelompok NIIS yang terafiliasi dengan NIIS-Khorasan, cabang NIIS di Afghanistan. Pada September 2022, NIIS-K mengaku bertanggung jawab atas bom bunuh diri di Kedutaan Rusia di Kabul.
Sejumlah ahli menilai, alasan serangan ke Rusia adalah karena tindakan pemerintahan Vladimir Putin terhadap mereka selama beberapa tahun terakhir. Colin Clarke dari Soufan Center menyebut NIIS-K telah menjadikan Rusia sebagai target propagandanya selama dua tahun terakhir.
Begitu juga Michael Kugelman, peneliti Wilson Center yang berbasis di Washington. Dia mengatakan, NIIS-K memandang Rusia terlibat dalam kegiatan yang sering menindas umat Islam.
(Reuters/AFP)