Hasil Pemilu Paksa Biden Tetapkan Syarat Dukungan ke Israel
Hasil pemilu membuat Biden lebih hati-hati mendukung Israel. Ia meminta Israel lebih cermat menyerang.
WASHINGTON DC, SELASA — Sikap Presiden Amerika Serikat Joe Biden kepada Israel terus bergeser. Dari sepenuhnya mendukung, Biden kini menetapkan syarat-syarat untuk Israel. Hal itu termasuk dengan rencana serbuan darat ke Gaza.
Biden mengumumkan permintaan itu pada Senin (18/3/2024) siang di Washington DC atau Selasa dini hari WIB. Pengumuman dibuat selepas ia menelepon Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Baca juga: Sempat Macet, Perundingan Gencatan Senjata di Gaza Digelar Lagi
Sudah sebulan Biden-Netanyahu tidak saling berbicara. Dalam telepon kemarin, Biden meminta Netanyahu mengirim tim ke Washington. Tim AS-Israel akan merundingkan cara menyerang Hamas tanpa harus melancarkan serangan darat ke Rafah.
Operasi darat besar-besaran di Rafah merupakan kesalahan.
Akhir pekan lalu, Netanyahu mengumumkan serangan itu telah disetujui. Netanyahu mengungkapnya setelah berulang kali menolak sepakat dalam rangkaian perundingan untuk mencapai jeda tempur di Gaza.
Dalam telepon kemarin, Biden menekankan jeda tempur harus segera dicapai. Jeda selama beberapa pekan itu diharapkan jadi bagian kesepakatan pembebasan sandera. Selain itu, kesepakatan juga terkait pasokan bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Sementara Netanyahu berkeras Israel mau mencapai tujuannya di Gaza. Tujuan itu adalah melenyapkan Hamas, membebaskan sandera, dan memastikan Gaza tidak jadi ancaman bagi Israel.
Baca juga: Berulang Kali Dijegal Israel, Asa Gencatan Senjata di Gaza Belum Habis
Dalam sejumlah kesempatan lain, Netanyahu dan pejabat Israel mengindikasikan keinginan mengendalikan Gaza seperti sampai tahun 2005. AS dan sejumlah negara menolak gagasan itu.
Sementara soal serangan darat ke Gaza, Pemerintah Biden tidak sepenuhnya menolak pengerahan pasukan darat Israel ke Rafah. Washington mau pengerahan pasukan terbatas saja. ”Operasi darat besar-besaran di Rafah merupakan kesalahan karena akan menyebabkan lebih banyak kematian warga sipil yang tidak bersalah, memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah mengerikan, memperdalam kekacauan di Gaza, dan semakin mengisolasi Israel secara internasional,” kata Penasihat Keamanan Nasional AS, Jake Sullivan.
Program Pangan Dunia (WFP) memperingatkan, bencana kelaparan akan segera terjadi di bagian utara Gaza. Sekitar 70 persen penduduknya kelaparan. Eskalasi perang yang lebih besar akan mendorong separuh penduduk Gaza ke jurang kelaparan.
Desak mundur
Sikap Biden kepada Israel mulai berubah selepas serangkaian pemilihan internal. Lebih dari 100.000 pemilih Demokrat menolak mendukung Biden. Sebab, Biden terlalu mendukung Israel dan dianggap mengabaikan penderitaan Palestina.
Baca juga: Hamas Gunakan Senjata Israel untuk Melawan Israel
Selepas hasil pemilu itu, Biden dan sejumlah politisi Demokrat menunjukkan tidak bisa lagi mendukung Israel sepenuhnya. Biden menyebut, Netanyahu lebih banyak keburukan dibandingkan kebaikan untuk Israel. Biden juga mendukung pernyataan Ketua Fraksi Demokrat di Senat AS Chuck Schumer.
Pekan lalu, Schumer menyatakan Israel perlu segera menggelar pemilu. Sebab, Netanyahu telah jadi perintang perdamaian di kawasan. Netanyahu juga dinilai sudah keterlaluan soal korban sipil akibat serangan Israel ke Gaza. Peningkatan jumlah korban Gaza menggerus dukungan dari sejumlah negara ke Israel.
Pernyataan Biden dan Schumer disampaikan setelah pesaing politik Netanyahu, Benny Gantz, menyambangi AS. Netanyahu marah besar dengan lawatan Gantz ataupun pernyataan Biden-Schumer.
Ia mengingatkan, dirinya masih PM Israel. Sementara Gantz masih berstatus anggota kabinet perang Israel yang dibawahkan PM Israel.
Baca juga: Biden Minim Aksi Hentikan Perang Gaza
Lawatan ke AS disebut upaya Gantz menggalang upaya penggulingan Netanyahu. Hanya saja, mekanisme pergantian kepemimpinan di Israel tidak mudah.
Ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk mengganti pemerintahan Israel. Pertama, dengan pengunduran diri Netanyahu. Walakin, peluang ini kecil karena dia tidak berniat mundur.
Ia juga tidak mau mempercepat pemilu dari jadwal 2026. Dalam survei yang dicuplik The Economist pada 17 Maret 2024 terungkap, 70 persen responden ingin pemilu Israel dipercepat.
Cara lain untuk mengganti PM adalah mosi tidak percaya di parlemen. Masalahnya, koalisi Netanyahu menduduki 64 dari 120 kursi parlemen Israel. Padahal, mosi dan PM baru harus didukung mayoritas anggota parlemen. Karena itu, diharapkan anggota koalisi Netanyahu membelot dan bergabung dengan oposisi. Gabungan blok itu meminta percepatan pemilu.
Baca juga: Israel Setujui Rencana Serbuan ke Rafah
Masalah pada skenario itu adalah, Netanyahu akan tetap jadi PM selama pemilu belum digelar. Aturan Israel menetapkan, pemilu bisa diselenggarakan paling cepat tiga bulan sejak pembubaran parlemen.
Peta politik Israel juga pelik karena mitra utama koalisi Netanyahu merupakan kelompok ultrakanan. Kelompok ini mendukung perang brutal di Gaza dan pendudukan seluruh Palestina. Mereka penyebab utama Netanyahu menolak menyetujui jeda tempur sebagai cara pembebasan sandera. Mereka juga penyeru Israel kembali mengendalikan Gaza.
Jika Gantz keluar kabinet, kelompok itu akan mendominasi pemerintahan Israel. Kini, Gantz dan kelompok tengah Israel menjadi penyeimbang di kabinet. ”Ini pemerintahan terburuk yang pernah ada di Israel. Akan tetapi, akan jadi lebih buruk lagi jika kami pergi sekarang,” kata seorang anggota senior Partai Persatuan Nasional pimpinan Gantz. (AFP/REUTERS/AP)