Walau Dingin dan Sepi, Kami Tetap Berpuasa
Suhu dingin dan menjadi minoritas di negara rantau tidak menyurutkan semangat diaspora WNI berpuasa.
Di tengah suhu awal musim semi di negara-negara belahan bumi utara yang masih dingin, sejumlah warga negara Indonesia diaspora tetap memantapkan niat berpuasa. Berstatus sebagai pendatang sekaligus kelompok agama minoritas di negara-negara Barat membuat suasana bulan Ramadhan nyaris tidak terasa. Akan tetapi, semua dijalani dengan ikhlas.
”Sekarang ada Tarhib Ramadhan di Frankfurt. Lumayanlah untuk menambah keceriaan suasana bulan puasa,” kata Ashleika Adelea, warga Indonesia yang sejak tahun 2016 tinggal di Frankfurt, Jerman, saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Baca juga: "Tarhib Ramadhan" di Frankfurt dan Angin Perubahan di Jerman
Untuk pertama kalinya kota Frankfurt mengizinkan berbagai atribut Ramadhan menghiasi sejumlah kawasan, terutama di Jalan Grosse Bockenheimer. Pemerintah Kota Frankfurt mengatakan, pemasangan pernak-pernik Ramadhan ini adalah pengakuan keberadaan komunitas Muslim sebagai bagian dari masyarakat kota tersebut sekaligus merayakan kemajemukan di masyarakatnya (Kompas.id, 8/3/2024).
”Ramadhan sekarang jadwalnya mirip dengan di Indonesia. Waktu imsakiyah pukul 05.00 dan berbuka pukul 18.30,” ucap Ashleika.
Suhu musim semi di Frankfurt mencapai 8 derajat celsius saat malam hingga pagi dan 15 derajat celsius saat siang hingga sore. Namun, lanjutnya, ada pergeseran waktu pada 10 hari terakhir Ramadhan karena waktunya berganti dari Waktu Eropa Tengah menjadi Waktu Musim Panas Eropa Tengah.
Artinya, waktu berkegiatan aktif mundur dua jam. Waktu berbuka puasa nanti pada pukul 20.30. Menurut Ashleika, ini masih normal dibandingkan berpuasa saat musim panas.
Ramadhan sekarang jadwalnya mirip dengan di Indonesia. Waktu imsakiyah pukul 05.00 dan berbuka pukul 18.30.
Berpengalaman delapan tahun merantau di Jerman, Ashleika sudah mengalami Ramadhan dalam berbagai musim. Pada tahun pertamanya, Ramadhan jatuh pada musim panas. Suhu saat siang mencapai 40 derajat celsius. Bedanya dari Indonesia, udara di Jerman sangat kering sehingga kerongkongan pun terasa kering.
Waktu berpuasanya juga panjang karena imsakiyah dimulai pukul 02.00 dan waktu berbuka pada pukul 22.00 demi menunggu tenggelamnya matahari musim panas Eropa. Maka, ketika itu, setelah selesai kuliah Ashleika memilih langsung pulang untuk beristirahat sampai cuaca tidak terlalu terik.
Baca juga: Pilihan Menu Berbuka dari Berbagai Negara
Dari segi beribadah, Ashleika mengatakan, juga cukup mudah. Di Frankfurt, para WNI mendirikan yayasan yang memiliki satu masjid. Saat ini, masjid itu masih menyewa satu lantai di gedung perkantoran. Yayasan masih mencari bangunan atau lahan yang bisa menjadi tempat permanen Masjid Indonesia.
Di Jerman, selain ada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Berlin, juga ada Konsulat Jenderal di Frankfurt dan Hamburg. Ashleika menuturkan, KJRI Frankfurt mengawasi WNI di Jerman bagian selatan. Jumlahnya sekitar 16.000 orang. Umumnya, mereka datang ke Frankfurt untuk merayakan Idul Fitri.
”Di Jerman, komunitas Muslim Turki dan Maroko paling besar. Jika mau beribadah sehari-hari, paling dekat ke masjid-masjid yang dikelola oleh mereka. Komunitas Turki dan Maroko juga sangat ramah dan terbuka kepada siapa saja,” kata Ashleika.
Baca juga: Umat Islam Palestina Menjalani Ramadhan di Tengah Keprihatinan
Masjid-masjid itu menyediakan takjil gratis kepada umat yang beribadah. Ashleika mengatakan, tidak jarang Masjid Indonesia bekerja sama dengan komunitas Turki dan Maroko untuk mengadakan shalat Idul Fitri bersama.
Mereka menyewa aula yang besar, bahkan lapangan, untuk menampung jemaah yang datang. Selain beribadah, juga diiringi dengan berbagai lapak yang menyediakan berbagai makanan khas wilayah masing-masing. Semua sumbangan umat.
Memotivasi diri
Cerita berbeda dialami Ditha Nursanti, WNI yang merantau di Muenchen. Meskipun sama-sama berada di Jerman, suasana kota Muenchen berbeda dari Frankfurt. Hawa Ramadhan tidak terasa di sana.
Puasa menjadi kegiatan yang sangat pribadi karena komunitas Muslim di Muenchen relatif lebih kecil. Kegiatan buka bersama komunitas Muslim, misalnya, hanya mungkin dilakukan pada Minggu, bukan harian seperti di masjid-masjid di Frankfurt.
”Memotivasi diri pada bulan Ramadhan justru dengan merencanakan kegiatan puasa sehari-harinya. Saya mencari resep-resep unik di internet mengenai menu yang cocok untuk sahur maupun berbuka,” ucap Ditha. Jika ada waktu, ia dan teman-teman juga menyempatkan untuk berbuka bersama di restoran.
Berpuasa sendirian ini pengalaman yang umum dialami mahasiswa Indonesia di negara-negara lain. Ketiadaan orang lain membuat diri harus berdisiplin. Guru Besar Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat menjelaskan, budaya toleransi di Indonesia mengajarkan bahwa segala amal ibadah yang dilakukan di Nusantara ada di tengah perbedaan.
Baca juga: Ramadhan dalam Suka dan Duka
Di bulan Ramadhan, tempat-tempat makan tetap buka meskipun jendelanya ditutupi tirai. Akan tetapi, prinsip berpuasa, lanjut Komaruddin, ialah tidak merugikan orang lain. Para pemilik warung makan tetap bisa mencari nafkah melayani warga non-Muslim. Umat Islam pun ada yang tidak wajib berpuasa, misalnya perempuan hamil, orang sakit, warga lansia, dan musafir. Mereka tetap memerlukan tempat makan.
”Bagi WNI yang Muslim, mereka tidak kaget ketika merantau ke luar negeri dan menghadapi Ramadhan, restoran dan warung makan di sekitar mereka tidak tutup. Makanya, walaupun komunitas Muslim di kota tersebut kecil, bahkan mungkin hanya WNI itu seorang, ia tetap berpuasa dengan tenang karena kita mendidik berpuasa itu kesadaran atas kewajiban,” papar Komaruddin.
Hal ini dialami Krisna Bayu, mahasiswa pascasarjana di Glasgow, Skotlandia. Berada di wilayah paling utara Britania Raya, suhu di musim semi saja masih 5 derajat celsius setiap hari. Pada tiga pekan pertama Ramadhan, lama berpuasa adalah 12 jam.
Pada pekan terakhir, sesuai dengan tradisi pergeseran menuju waktu musim panas Eropa, lama berpuasa menjadi 16 jam. Ia mengatakan sejauh ini kuat saja berpuasa karena berbagai kegiatan kuliah menjaga pikirannya tetap sibuk.
Baca juga: Berpuasa Menyejukkan Kepala dan Hati
Di kota New York, Amerika Serikat, Nafisa Haura, mahasiswa pascasarjana, mengatakan, di Universitas New York, sivitas akademikanya memahami Ramadhan. Di perguruan tinggi itu ada mushala tempat mahasiswa Muslim bisa beribadah sehari-hari. Lama berpuasanya dari pukul 05.00 hingga 19.00, mirip dengan di Indonesia.
”Suhunya di sini 4 derajat celsius, tapi kalau ada matahari, bisa sampai dengan 12 derajat celsius. Aku malah senang hawa dingin, enggak haus soalnya,” ujar Nafisa.