Kecemasan menghantui saat akses terputus. Bagaimana jika eksistensi selama 20 tahun di media sosial hilang begitu saja?
Oleh
IWAN SANTOSA
·3 menit baca
Suatu ketika dulu, pelantar media sosial terputus sebentar. Persoalan dibereskan, dan selesai. Namun, kini, kejadian yang sama ditanggapi berbeda. Gangguan terputusnya koneksi ke Facebook, Instagram, Threads, dan Messenger pada Selasa (5/3/2024) langsung memunculkan kehebohan.
Sejumlah analis menanggapi fenomena itu dengan kesimpulan yang lebih kurang sama: media sosial saat ini lebih dari sekadar hiburan pengisi waktu. Di dalamnya ada ”cerita” tentang sepupu yang jarang ditemui. Mereka mengunggah seperti apa kehidupan anak-anaknya. Ada reel dari seorang pemengaruh (influencer) yang memperkenalkan warganet tentang budaya yang tidak pernah diketahuinya.
Ada kolase foto kita yang diunggah sebagai pengingat pada orang-orang yang dicintai. Ada pula debat yang tak pernah berakhir antara orang-orang yang tidak kita kenal tentang suatu topik.
Benar, teknologi media sosial itu barangkali mutakhir. Namun, hal-hal yang kita gunakan untuk mengisi media sosial adalah sesuatu yang seumur peradaban, yakni cerita manusia. Instagram bahkan merangkumnya dalam fitur ”Stories” alias cerita.
Dalam buku berjudul The Storytelling Animal: How Stories Make Us Human, akademisi Jonathan Gottschall mengatakan, kemampuan manusia untuk menciptakan dan menerima cerita merasuk lebih dalam daripada karya sastra, mimpi, dan fantasi. ”Cerita itu merasuk sampai ke tulang,” tulisnya.
Pada hari-hari ini, media sosial menjadi tempat cerita itu dituturkan, baik melalui foto, video, meme, teks singkat, atau gabungan semuanya itu. Orang bisa mendapatkan berita dan informasi—juga misinformasi—di sana. Mereka bisa belajar, bersimpati, atau berpandangan terhadap dunia ini.
Kita pun membuat cerita sendiri di media sosial, berhubungan dengan orang lain yang mungkin tidak nyata. Dalam banyak cara, ruang sosial inilah yang membentuk kemanusiaan kita.
”Hampir tidak mungkin bagi banyak orang, terutama di Amerika Serikat, untuk hidup dan berkomunikasi tanpa media sosial,” kata Samuel Woolley, asisten profesor pada University of Texas at Austin’s School of Journalism and Media.
Maka, ketika media sosial terganggu, aneka cerita itu bisa lenyap. Aktivitas yang membangkitkan hormon endorfin ini hilang. Rutinitas—baik dan buruk—terinterupsi. Aliran informasi dan berita tersendat.
”Di luar sifat sepele dan menghibur, media sosial benar-benar membuat orang ketagihan selama 15 tahun terakhir untuk masuk ke dalam ruang tersebut. Sedikit saja terputus, benar-benar bisa menyebabkan gangguan dalam lalu lintas informasi,” kata Imani Cheers, profesor rekanan dalam penceritaan digital pada George Washington University.
Dampaknya lebih terasa ketika gangguan itu terjadi saat komunikasi dan informasi menjadi hal yang paling dibutuhkan. Woolley mengatakan, di AS, terputusnya akses media sosial berbarengan dengan banyak orang yang menuju tempat pemungutan suara untuk Super Tuesday atau pemilihan pendahuluan internal di sejumlah negara bagian guna menentukan kandidat presiden. ”Meski hanya berlangsung beberapa jam, bagi banyak orang, terputusnya akses itu berdampak pada kurangnya akses berita. Dan, itu menjadi persoalan, ” ujarnya.
Tak hanya itu, bagi sejumlah orang, hilangnya akses itu tak sekadar ketidaknyamanan, seperti ungkapan permintaan maaf dari Meta. Cerita dan hidup daring orang-orang itu benar-benar dipertaruhkan.
Saat Taylor Cole Miller, asisten profesor studi komunikasi pada University of Wisconsin-La Crosse, pertama kali sadar tidak bisa mengakses Faccebook, hal pertama yang dipikirkannya adalah keamanan. Seseorang mencoba meretas akunnya.
Pikiran itu berkembang menjadi kepanikan: bagaimana jika dia kehilangan eksistensinya di Facebook selama 20 tahun terakhir, termasuk koneksinya dengan orang-orang yang hanya melalui pelantar itu. ”Saya agak ragu mengatakan kilasan hidup saya langsung bermunculan. Namun, masalahnya adalah sebagai seorang yang sudah berada di Facebook selama 20 tahun, sejumlah besar kehidupan saya terarsip di sana, ” paparnya.
”Banyak orang yang terhubung dengan saya hanya melalui Facebook. Apa jadinya jika, poof, semua lenyap seketika? Apa artinya bagi saya sebagai manusia dan bagaimana saya berinteraksi lagi dengan orang lain?” lanjut Miller.
Melanie Green, profesor pada jurusan komunikasi University of Buffalo, mengatakan, reaksi semacam itu membuktikan kekuatan cerita yang menghubungkan manusia. ”Manusia punya kebutuhan untuk menjadi bagian dari sesuatu. Kita makhluk sosial, kita bisa bertahan hidup sering kali karena berada di dalam kelompok. Cerita bisa membantu kita merasa memiliki,” katanya. (AP)