Petani di Eropa, Mitos ”La Terre”, dan Konspirasi Menjaga Proteksionisme
Petani di Eropa setahun terakhir ini berunjuk rasa di sejumlah negara. Terungkap banyak hal tidak beres di Uni Eropa.
Petani Eropa serentak melancarkan aksi protes di seantero kawasan Uni Eropa dalam setahun terakhir. Mereka memperjuangkan kemakmuran sehubungan dengan penurunan harga produk pertanian dan karena tekanan kenaikan biaya produksi. Kisah petani Eropa mengingatkan kembali tulisan ekonom Wyn F Owen pada 1966 berjudul ”The Double Developmental Squeeze on Agriculture”.
Petani Uni Eropa (UE) menghadapi jepitan dari dua sisi, yaitu harga jual turun dan biaya produk naik. Para petani UE memperjuangkan beberapa hal berbeda, bergantung pada situasi setiap negara anggota karena situasinya berbeda-beda.
Ada beberapa misi yang mengkristal di balik aksi protes petani di Eropa. Mereka ingin mencegah aturan baru UE terkait ”Green Deal” karena hanya akan menciptakan birokrasi baru untuk petani. Aturan UE terkait ”Green Deal” antara lain berupa pengurangan pemakaian pupuk, pestisida, dan mengarahkan pertanian organik.
Dalam ”Green Deal”, terdapat aturan antara lain keharusan mengosongkan 4 persen lahan untuk kepentingan keanekaan hayati. Kesepakatan ”Green Deal” juga memberi petani kompensasi berupa subsidi asalkan petani memenuhi syarat administratif dan implementasi di lapangan.
Baca juga: Mengapa Eropa hingga India Dilanda Gelombang Unjuk Rasa Petani?
Petani UE juga ingin agar pemerintahan membatalkan liberalisasi perdagangan produk pertanian dengan Mercosur, kelompok ekonomi di Amerika Latin. Tuntutan lain adalah pembatalan penghapusan subsidi bahan bakar solar.
Para petani UE juga meminta penghentian impor produk pertanian tanpa tarif dari Ukraina. Setelah invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, muncul aksi solidaritas UE terhadap Ukraina. Namun, aksi simpati ini telah menyebabkan penurunan harga produk pertanian di seantero UE karena dibanjiri produk Ukraina. Ekspor produk pertanian Rusia yang juga membanjiri pasar dunia turut menekan harga pertanian global.
Macron mendengar
Beberapa seruan didengar. Penghentian impor asal Ukraina sedang dipikirkan. Aksi protes para petani Eropa masih terus berlanjut untuk memastikan tuntutan mereka dipenuhi. Ada optimisme kuat bahwa suara para petani didengar.
Di balik kesediaan pemerintah mendengar suara mereka adalah aksi para petani Perancis. Aksi protes pertama terjadi di Polandia, tetapi adalah petani Perancis yang menjadi titik penting.
Presiden Perancis Emmanuel Macron sudah mengingatkan Komisi Eropa bahwa ia tidak menginginkan kesepakatan ”Green Deal”. Ketua Komisi Eropa Ursulla von der Leyen sudah menyuarakan pembatalan aturan UE tersebut. Ursulla mengatakan, aturan ini telah menjadi penyebab polarisasi. Ia menyatakan suara petani sebaiknya didengar.
Karena penolakan Perancis, Komisi UE menegaskan bahwa kesepakatan dengan Mercosur tidak memenuhi persyaratan. Paris juga menyatakan dukungan subsidi tambahan pada petani yang sedang bergelut secara keuangan meski keuangan negara tidak sekuat zaman dulu.
Ini senada dengan pernyataan Perdana Menteri Polandia Mateusz Morawiecki bahwa aturan main di UE ditentukan oleh negara-negara raksasa UE, yakni Perancis dan Jerman. Hanya di atas kertas saja para anggota memiliki suara yang sama, tetapi dalam kenyataan ditentukan oleh Perancis dan Jerman.
Kuat secara politik
Sektor pertanian Perancis hanya menyumbang 1,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Perancis, tetapi sangat ditakuti. Mengapa petani Perancis begitu kuat? Isu tersebut dituliskan di situs media Jerman, Deutsche Welle, 26 Februari 2024.
Para petani Perancis, seperti pada umumnya di Eropa, secara historis dan kontemporer memiliki kekuatan politik. Di Perancis, misalnya, ada penyelenggaraan tahunan Paris International Agricultural Show. Ajang ini menjadi kewajiban bagi para politisi untuk hadir pertanda mereka mendukung pemilik kekuatan politik tersebut.
Baca juga: Keberatan dengan Standar Lingkungan Eropa, Petani Mengepung Paris
”Reaksi pemerintah terhadap tuntutan petani Perancis menunjukkan betapa petani itu kuat,” kata Faustine Bas-Defossez, Direktur European Environmental Bureau, yang berbasis di Brussels, Belgia. ”Kekuatan politik petani… juga karena para politisi lokal merupakan seorang petani,” kata Bas-Defossez.
Pierre-Marie Aubert, Direktur Institute for Sustainable Development and International Relations, lembaga think tank yang berbasis di Paris, mengatakan bahwa dalam menentukan kebijakan pertanian pada 50 tahun terakhir pemerintahan Perancis bekerja sama dengan FNSEA, asosiasi petani Perancis.
Berkembang ungkapan, jika tidak ada petani, tidak ada makanan dan tidak ada ketahanan nasional.
Petani memiliki keistimewaan, sebagaimana juga terjadi di banyak negara, termasuk di Jerman, kata Aubert. Di samping, katanya, petani itu sendiri memiliki lahan. Berkembang ungkapan, jika tidak ada petani, tidak ada makanan dan tidak ada ketahanan nasional.
Mitos ”La Terre”
Meski jumlah petani sudah berkurang, kini sekitar 400.000 atau 1,5 persen saja dari total angkatan kerja Perancis, warga Perancis pada umumnya menghargai petani (The New York Times, 31 Januari 2024). Jumlah petani Perancis kurang dari 2 persen dari populasi negara itu, tetapi menempati ruang dalam jiwa nasional.
Kuatnya pamor petani juga karena Perancis melakukan industrialisasi yang relatif terlambat, kata Edouard Lynch, profesor sejarah kontemporer Perancis di Lyon 2 University. ”Warga Perancis memiliki simpati kuat terhadap para petani. Setiap warga berkata, ’Bapak dan kakekku seorang petani,’” kata Lynch.
Maka, kata Lynch, warga memaklumi aksi petani walau memacetkan jalanan. Warga menganggap bahwa petani sedang memperjuangkan nasibnya.
Pada situs Foreign Policy, 25 Februari 2024, sejarawan dari Universitas Houston, Texas, AS, Robert Zaretsky, menuliskan artikel ”The Enduring Power of ‘La Terre’”. Zaretsky menuliskan, petani melekat dengan frasa la terre, artinya tanah atau bumi. La terre dipersepsikan sebagai ketulusan. Lahan dan bumi tidak pernah berbohong.
Zaretsky mengutip sosiolog Perancis, Henri Mendras, penulis ”La Fin des Paysans” (”Petani yang Memudar”). Mendras menyimpulkan, tradisi peradaban Perancis didasarkan pada petani walau eksistensi petani sudah memudar. Dominasi pertanian tradisional sudah memudar dan digantikan peran agrobisnis, berskala besar, dan dengan teknologi pertanian modern.
Baca juga: Petani Uni Eropa Tertekan Aturan Perlindungan Lingkungan
Meski perdesaan memudar, Perancis tetap mengenang kuat pohon keluarga mereka berasal dari desa. Semua fondasi negara dimulai dari kehidupan desa, tetapi Perancis memegang akarnya lebih kuat sebagai bagian dari identitas.
Oleh karena itu, petani dan nasibnya jadi jualan kampanye para politisi. Kelompok politik sayap kanan hingga kanan jauh Perancis, menjadikan isu la terre sebagai basis perjuangan. Marine Le Pen, politisi Perancis, diuntungkan karena pembelaan pada la terre. Bagi Le Pen dan kubu sayap kanan Eropa lainnya, aksi protes petani Eropa adalah kesempatan untuk meraih suara tinggi dalam pemilu parlemen Eropa pada Juni 2024, walau kubu kanan jauh yang populis bukan jawaban atas persoalan-persoalan.
Dugaan ditunggangi
Kepedulian pemerintah pada petani kini dipertanyakan. Bukti empiris memperlihatkan jumlah petani di Eropa berkurang dari tahun ke tahun. Caroline Herman dari lembaga BirdLife International menuliskan jumlah petani di Eropa berkurang 5,5 juta petani selama periode 2005-2020. Kini hanya ada 9,1 juta petani di UE.
Mendras menuliskan, ”peradaban tradisional” Perancis yang berakar pada kaum petani sedang sekarat. Manfaat ekonomi dari Marshall Plan dan Pasar Bersama UE pascaperang, dikombinasikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian hingga pemupukan, telah mengubah sifat pertanian, peradaban pedesaan. Perancis menyaksikan ”pertempuran terakhir masyarakat industri versus masyarakat tradisional”. Industrialisasi telah merangsek ke sektor pertanian.
Dari jumlah petani yang tersisa, sebesar 63,8 persen memiliki lahan kurang dari 5 hektar, berdasarkan data Statistik Eropa. Petani tradisional, kelompok mayoritas petani, kalah bersaing dengan petani besar yang memiliki lahan lebih luas. Kelompok petani kecil ini juga dirugikan oleh jaringan pemasaran produk pertanian yang menekan harga hasil pertanian.
Perancis menyaksikan, ’pertempuran terakhir masyarakat industri versus masyarakat tradisional’. Industrialisasi telah merangsek ke sektor pertanian.
Keluhan petani tradisional tentang berkurangnya kemakmuran benar adanya. Namun, apakah kepentingan petani tradisional benar-benar dipedulikan?
Ada dana subsidi dari UE untuk membantu kaum yang kalah bersaing ini. Ironisnya, porsi terbesar alokasi subsidi untuk pertanian di UE, sekitar 65 miliar dollar AS per tahun—terbesar di dunia untuk pertanian—justru mengucur ke petani besar yang menjalankan pertanian model agrobisnis.
”Sebesar 80 persen dari total dana subsidi berdasarkan skema Common Agricutural Policy mengalir kepada 20 persen saja petani, yakni para petani kaya dan punya privilese. Realitasnya demikian,” kata Pieter Cleppe, analis kebijakan Eropa dan redaktur pelaksana di situs berita Brusselsreport.eu, dalam wawancara dengan Al Jazeera, 8 Februari 2024.
Setiap petani kelas besar menerima 5 juta euro per tahun, sementara petani tradisional hanya menerima ratusan euro. Hasil investigasi harian AS, The New York Times, memperlihatkan, subsidi untuk pertanian mengalir lebih banyak ke petani besar di Bulgaria atau Ceko, yang memiliki relasi kuat dengan pemerintahan.
Hal itu juga dipertegas oleh mantan Wakil Menteri Pertanian Polandia dan mantan Dirjen Komisi UE bidang Pertanian, Jerzy Plewa, dalam wawancara dengan Euractiv, 29 Februari 2024. Ia meminta petani Polandia berhenti menyalahkan impor dari Ukraina dan berhenti menyalahkan Brussels, markas UE.
Plewa mendesak agar masalah dipersempit pada alokasi subsidi pertanian yang telah melenceng. Plewa menuding keberadaan ”pemimpin semu” aksi protes, yang ”menggunakan slogan-slogan anti-Uni Eropa dan anti-Ukraina”. Kelompok pseudo ini, yang diduga adalah kroni pejabat pemerintahan UE, menyembunyikan tanggung jawab nasional dalam krisis ini. Kelompok inilah penerima subsidi terbesar. Alokasinya diduga sarat manipulasi dan sebagian mengalir untuk mendukung pendanaan politisi dan pejabat pemerintah.
Di Perancis, ada Arnaud Rousseau, pemimpin FNSEA, serikat petani Perancis yang memiliki 700 hektar lahan pertanian. Rousseau, yang ikut aksi-aksi protes itu, adalah pemimpin korporasi raksasa agrobisnis Perancis, Avril-Sofiprotéol. Muncul pertanyaan di balik perannya dalam aksi protes tersebut: siapa yang dia wakili, apa tujuannya di balik dukungannya pada aksi protes.
Implikasi bagi dunia
Peredaman isu alokasi subsidi yang kacau dengan mengambinghitamkan impor Ukraina dan liberalisasi perdagangan diduga sedang terjadi. Cleppe menyinggung perlawanan pada impor produk pertanian diduga menjadi misi aksi protes petani Eropa. Petani kelas raksasa UE adalah pihak yang bisa bersaing secara internasional, kata Cleppe. Namun, mengapa aksi protes harus menyerukan aksi proteksionisme.
Salah satu implikasi dari aksi protes petani UE adalah ancaman pada rezim perdagangan internasional untuk produk pertanian. Negara-negara berkembang penghasil produk pertanian sangat layak mengamati aksi di balik protes tersebut bahwa aksi proteksionisme tetap berakar kuat dan memanfaatkan isu tentang pentingnya petani Eropa.
Dugaan lain di balik aksi protes itu adalah penolakan pada asas transparansi alokasi subsidi. Hal yang mengemuka adalah agar subsidi ditingkatkan dan tanpa persyaratan berat. Derita petani tradisional cukup diatasi dengan menaikkan subsidi, tidak mengusik alokasi subsidi yang sedang berlangsung.
Persoalan lain bagi UE adalah pengelolaan relasi internasional. Relasi yang buruk dengan Rusia telah menyebabkan kenaikan harga-harga energi. Ini merugikan paling keras pihak UE sendiri. Aksi protes petani di UE telah membuka banyak hal yang tidak beres di UE. Namun, semua itu diselubungi dengan sentimen la terre. Fakta menunjukkan petani tradisional tersingkir perlahan. (AFP/AP/REUTERS)
Simon Saragih, Wartawan Kompas 1989-2023