Pemerkosaan Turis Spanyol Membuktikan India Tak Aman bagi Perempuan
Ancaman hukuman mati tidak membuat pemerkosa di India jera. Buktinya, ada 90 pemerkosaan setiap hari.
Ada 90 perkosaan setiap hari di India. Kasus yang menimpa pelancong Spanyol di Jharkand menambah panjang daftar kejahatan itu.
Perempuan berinisial F itu diperkosa oleh setidaknya tujuh orang. Para pelaku juga memukuli F dan suaminya. Mereka diserang kala berkemah di kawasan Dumka, Jharkand, pada Jumat (1/3/2024) malam. Hingga Minggu (3/3/2024), F dan suaminya masih dirawat.
Baca juga: Protes Meluas di India Terkait Kekerasan terhadap Perempuan Kasta Rendah
F dan suaminya sedang berkeliling Asia dengan sepeda motor. Di negara-negara lain, mereka aman dan senang. Di India, dalam perjalanan menuju Nepal, F diperkosa beramai-ramai.
Sejauh ini, setidaknya tiga orang ditangkap. ”Insiden ini patut dikecam dan polisi mengambil tindakan tepat. Pelakunya pasti tertangkap,” kata anggota kabinet Negara Bagian Jharkhand, Mithilesh Kumar Thakur.
Pemerkosaan dan penyerangan terhadap F berselang sehari selepas ada laporan penculikan dan pemerkosaan terhadap remaja putri di Jind, Jharkand. Setidaknya tiga pria menculik dan menyekap remaja berusia 15 tahun itu selama 20 hari.
Mereka memperkosa korban berulang kali selama hampir tiga pekan. Sementara pada 22 Februari 2024, seorang remaja berusia 14 tahun diperkosa lima pria.
Baca juga: Nishtha Jain dan Cerita Orang Biasa
Dalam laporan pada Sabtu (2/3/2024), Harian The Times of India mengutip lagi data Biro Catatan Kejahatan Nasional. Menurut lembaga itu, ada 90 laporan pemerkosaan setiap hari.
Dikhawatirkan, jumlah kasus jauh lebih besar dari laporan yang masuk ke polisi. Sebab, sebagian korban diduga takut melapor. Para korban khawatir dengan stigma terhadap korban pemerkosaan. Mereka juga malu dan tidak percaya pada sistem hukum.
Apalagi, pengadilan kerap lambat memutuskan kasus-kasus pemerkosaan. Perkara bisa berlangsung bertahun-tahun. Vonis pelaku pun kerap ringan dan kadang pelaku sama sekali bebas.
Aturan tegas
Kasus F kembali membuat sorotan pada kejahatan seksual yang mengerikan di India. Negara itu dianggap salah satu tempat terburuk bagi perempuan.
Baca juga: Perempuan, Kalian Berharga!
Kasus F mengungkit duka akibat pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Jyoti Singh (23). Mahasiswi itu diperkosa lalu dibunuh pada 2012. Kejahatan itu dilakukan enam pria di dalam bus di New Delhi. Akibat kasus itu, New Delhi diguncang unjuk rasa lebih dari sebulan.
Dalam laporan pada Agustus 2023, harian Hindustan Times menulis soal rancangan undang-undang yang bisa membuat pelaku kejahatan seksual dihukum mati. Hukuman itu dapat dikenakan jika korbannya masih anak-anak dan pemerkosaan dilakukan beramai-ramai.
RUU ini untuk menggantikan KUHP India (IPC) era Inggris. Dalam UU warisan Inggris, hukumannya mati hanya dijatuhkan ke pelaku pemerkosaan jika korbannya di bawah 12 tahun. Untuk korban berusia 12-16 tahun, hukuman ke pelaku berupa penjara seumur hidup.
Menteri Dalam Negeri India Uni Amit Shah mengatakan, RUU ini juga mengatur hukuman untuk pelaku yang menipu perempuan agar mau berhubungan seksual. Pelaku bisa dipenjara 10 tahun.
Baca juga: Perempuan Pemimpin Membentuk Dunia Lebih Humanis
Aturan itu jawaban dari pemerintahan Narendra Modi atas maraknya pemerkosaan massal di India. Apalagi, India berulang kali diguncang unjuk rasa untuk memprotes pemerkosaan massal.
Faktor penyebab
Sebagian pihak menganggap, pemerkosaan dilakukan orang tidak dikenal. Data India menunjukkan, 96 persen kasus dilakukan oleh orang yang dikenal korban. Pelaku bisa tetangga, kerabat, hingga rekan kerja atau sekolah.
Para pembela hak perempuan di India menyebut, dulu pihak berwenang menganggap pemerkosaan sebagai masalah sosial dan budaya. Pemerintah tidak menganggapnya sebagai masalah yang bisa diselesaikan secara hukum.
Pengacara di New Delhi, Anuja Trehan Kapur, menyebut bahwa hukum India sebenarnya tidak mengizinkan pemerkosa ditangguhkan penahanannya. Faktanya, banyak pelaku keluar tahanan setelah membayar jaminan. Bahkan, sebagian pelaku dilindungi polisi dan politisi.
Baca juga: Komnas Perempuan Masih Terus Berjuang Menghapus Kekerasan terhadap Perempuan
Bagi Shruti Kapoor, pemerkosaan di India terjadi karena masalah hukum dan budaya. ”Perempuan dianggap warga kelas dua. Keinginan dan pendapat anak perempuan tidak dianggap sepenting keinginan anak laki-laki. Anak perempuan belajar untuk tunduk sejak awal,” ujar pendiri organisasi pembela hak perempuan itu, Sayfty Trust, itu kepada Deutsche Welle pada Januari 2019.
Banyak anak laki-laki di India dibesarkan dengan keyakinan, perempuan dapat dilecehkan pada kondisi tertentu. ”Sebagian besar anak laki-laki ini percaya, anak perempuan yang mengenakan pakaian ala Barat itu tidak bermoral dan mereka dapat dilecehkan karena mereka yang cari gara-gara,” kata Pravin Katke dan Rahul Kusurkar dari Equal Community Foundation.
Equal Community Foundation memberikan ruang bagi remaja pria dan wanita berdialog. Harapannya, interaksi itu membuat remaja pria peka pada isu jender. Sebab, mereka berkesempatan mendengar sesama rekan mereka dari komunitas yang sama.
Organisasi yang berpusat di Pune itu juga mengajarkan remaja pria soal pentingnya menghormati perempuan. Pelajaran itu nyaris tidak pernah ada di berbagai sekolah India.
Baca juga: India Eksekusi Mati Empat Terpidana Kasus Pemerkosaan Tahun 2012
Bagi Jacqueline Bhabha, kekerasan dan diskriminasi jender adalah akar persoalan dari maraknya pemerkosaan di India. Karena itu, Direktur Penelitian Pusat Kesehatan dan Hak Asasi Manusia François-Xavier Bagnoud di Harvard School of Public Health tersebut menilai, hukuman mati tidak menyelesaikan masalah pemerkosaan di India.
India perlu mengubah konstruksi sosialnya. Orang India perlu belajar menghormati perempuan sebagai makhluk setara, bukan warga kelas dua apalagi obyek kekerasan seksual. Pria India perlu belajar, kekuatan tidak dibuktikan dengan memperkosa perempuan. (AFP)