Perempuan seolah dilahirkan hanya demi merampungkan kewajibannya dan mengikuti standar masyarakat yang berlaku. Tidak boleh melenceng. Stigma pun lekas dilekatkan kepada para perempuan yang dinilai keluar jalur.
Oleh
RIANA A IBRAHIM
·5 menit baca
Butuh jalan panjang untuk mewujudkan satu per satu hak perempuan dan memperjuangkan kesetaraan. Perempuan seolah dilahirkan hanya demi merampungkan kewajibannya dan mengikuti standar masyarakat yang berlaku. Tidak boleh melenceng. Stigma pun lekas dilekatkan pada para perempuan yang dinilai keluar jalur tanpa peduli pada latar belakang yang mengantarkannya.
Film berjudul ”Gangubai Kathiawadi” mengisahkan hal ini. Meski berlatar India pada tahun 1960-an, apa yang disampaikan melalui film besutan sutradara Sanjay Leela Bhansali ini tetap relevan dengan masa kini. Film berdurasi 153 menit ini perdana tayang di Berlin International Film Festival ke-72 pada 16 Februari 2022 dan dilanjut masuk ke bioskop. Pada April 2022, film ini melebarkan saluran ke Netflix.
Inti cerita ini digulirkan oleh sosok Gangubai. Ini bukan tokoh rekaan. Sosoknya nyata dan cerita hidupnya diabadikan dalam buku bertajuk ”Mafia Queens of Mumbai” milik S Hussain Zaidi. Film ini pun mengacu dari tulisan Hussain tersebut. Ini menjadi film India yang lain karena tak sekadar cinta-cintaan belaka.
Kabar adaptasi tulisan ini ke layar lebar sudah beredar sejak 2017. Saat itu, aktris Priyanka Chopra yang disebut akan memerankan Gangubai. Namun, pada September 2019, nama Alia Bhatt diumumkan sebagai Gangubai. Sayangnya, proses pembuatan film ini sempat terhenti karena pandemi.
Pengambilan gambar dilanjutkan pada awal 2021 dengan menjadikan aktor Ajay Devgan tak lagi hanya sebagai cameo. Peran Devgan sebagai Rahim Lala yang diambil dari nama pemimpin geng di Kamathipura saat itu, yakni Karim Lala memang cukup krusial membantu bangkitnya seorang Gangubai.
Gangubai merupakan seorang perempuan yang semula bernama Ganga Jagjeevandas Kathiawadi dari Kathiawar. Kehidupannya tiba-tiba berubah ketika lelaki yang dicintainya justru menjual dirinya ke rumah bordil di Kamathipura seharga 1.000 rupee. Ganga yang masih berusia 16 tahun percaya pasangannya akan membantunya mewujudkan mimpinya sebagai bintang film sehingga ia rela lari dari rumah ke Mumbai.
Kisah Ganga yang kemudian menjadi Gangubai ini banyak terjadi di India. Kemiskinan menjadi penyebab utama para remaja perempuan di India terjebak berakhir menjadi seorang pekerja seks komersial. PIlihan untuk menyelamatkan diri dari dunia prostitusi pun tak kalah menyedihkan, yaitu dinikahkan ketika usia baru saja menginjak 14 tahun.
Pernikahan anak ini pun nyatanya menjadi jebakan juga. Sebab, pasangannya yang malah kerap menjual remaja perempuan yang sejatinya adalah istrinya ini kepada mucikari. Miris dan ironis.
Alih-alih mendapat pembelaan, bantuan hukum, atau perlindungan dari keluarganya, para remaja perempuan ini tak lagi diterima di keluarganya jika kembali dari rumah bordil karena dianggap aib. Para lelaki yang menjual mereka tidak pernah diburu untuk dijatuhi hukuman. Mereka yang sebenarnya korban terus ditimpa stigma berlapis dari masyarakat. Mereka pun berurusan dengan hukum karena dianggap ilegal. Mereka terus terpinggirkan.
Kondisi ini menggerakkan Gangubai untuk berjuang demi kesetaraan dan kesejahteraan para pekerja seks komersial ini yang merupakan korban dari perdagangan manusia, tetapi urung memperoleh keadilan. Perjuangannya makin leluasa ketika dirinya menggantikan Sheela (Seema Pahwa) sebagai nyonya rumah bordil tempatnya dibuang.
Ia berupaya memberikan penghasilan yang adil, akses kesehatan, hingga akses pengelolaan finansial. Namun, akses tersebut tertutup. Salah satunya digambarkan ketika Gangubai harus dirawat, ia dimasukkan ke dalam sebuah gudang oleh perawat rumah sakit dan dipisah dari pasien lain. Bank juga tak menerima pengajuan pembukaan rekening para pekerja seks komersial untuk menyimpan uangnya.
Gangubai pun menilai banyak pihak munafik yang menghambat pemenuhan hak pada para pekerja seks komersial ini. Gangubai yang sesungguhnya berasal dari keluarga berpendidikan ini menggunakan kecerdasannya untuk terjun ke pemilihan pimpinan di Kamathipura. Niatnya ini dilandasi untuk membantu 4.000 perempuan yang terjebak di Kamathipura.
Problematik
Jika membicarakan prostitusi, akar permasalahannya perlu diurai. Kemiskinan dan keterbelakangan pendidikan berdampak pada pilihan pragmatis untuk menjual anak perempuan atau pasangannya dengan dalih menghidupi keluarga. Sementara keinginan para pekerja seks komersial ini untuk memutus mata rantai dengan mendorong anak mereka bersekolah, tidak didukung dengan sistem dan lingkungan.
”Mereka berhak menjadi dokter, insinyur, atau pengacara, dan tidak berakhir sebagai pelacur juga. Iya, kan, Bapa?” tanya Gangubai ketika mengantarkan sejumlah anak-anak dari para pekerja seks kepada pastur yang menjadi kepala sekolah di dekat kawasan lokalisasi. Sekolah itu menginginkan lokalisasi ditutup dan anak-anak pekerja seks tak boleh bersekolah karena dianggap hina.
Kualitas seorang manusia seakan hanya cukup ditentukan lewat pekerjaannya, yang bahkan bukan pilihannya. Lalu, bagaimana dengan para pria yang secara sadar menggunakan jasa pelacur? Bagaimana dengan polisi dan pejabat yang paham kalau dirinya korup? Bagaimana dengan pemuka agama yang mengerti dirinya diskriminatif? Tetap berkualitaskah? Karena, hak mereka tak pernah digerus dan masyarakat masih menerimanya. Bahkan, kadang masih dipuja.
Prostitusi ini guliran dampak dari kekerasan kepada perempuan yang sistematis dan juga hasil dari kejahatan perdagangan manusia yang enggan diungkap karena lagi melibatkan penegak hukum dan pejabat suatu negara.
Kehilangan haknya
Pada 2016, sebanyak 30 juta orang merupakan anak di bawah umur dan perempuan diperdagangkan sebagai pekerja seks. Di India sendiri, sekitar 16 juta perempuan yang merupakan korban perdagangan manusia untuk dijadikan pekerja seks dengan rentang usia paling muda sekitar 13 tahun. Di Indonesia, tercatat lebih dari 70.000 anak dan perempuan yang menjadi korban eksploitasi seksual.
Mereka hidup dengan stigma hingga ke keturunannya. Kehilangan haknya dan tidak memiliki akses dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Apalagi berbicara tentang trauma yang perlu didampingin dari perjalanannya, orang-orang memilih tutup mata. Takut berdosa katanya, lalu tega mendiskriminasi mereka.
”Kami tidak pernah mendiskriminasi siapa pun yang masuk ke pintu rumah kami. Namun, kalian menyingkirkan kami seperti kami tak berharga. Padahal, kita ini sama-sama manusia,” ujar Gangubay ketika memperoleh kesempatan sebagai pembicara untuk mewakili hak para pekerja seks komersial.
Tidak mudah memang menjadi perempuan. Dilabeli dengan banyak hal hanya karena tidak sesuai dengan standar. Ya dari pakaian, dari bentuk fisik, dari pekerjaan, hingga dari nasib yang semestinya patut dibela dan memperoleh bantuan hukum, tetapi justru disingkirkan.
Perjuangan Gangubai untuk sesama perempuan sudah berumur lebih dari 50 tahun, tetapi perubahannya minimal. Perdagangan perempuan masih marak, pemerkosaan pun terus terjadi. Seperti kata Gangubay ketika ingin memakamkan sahabatnya, Kamli. ”Ikat kakinya yang kuat. Dengan jenazah pun, laki-laki tak bisa dipercaya,” kata Gangubay.
Mau sampai kapan? Apa pun yang dijalani dan dihadapi, semuanya adalah perempuan yang berharga dan berhak atas haknya, bukan sekadar memenuhi kewajiban lalu terlupakan.