Minim Kandidat Tokoh Moderat, Pemilu Legislatif Iran Perkokoh Kekuasaan Konservatif
Teheran mencemaskan rendahnya partisipasi pemilih, potret apatisme di kalangan warga Iran di tengah kesulitan ekonomi.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
TEHERAN, SABTU — Sebanyak 15.200 kandidat bersaing memperebutkan 290 kursi di parlemen dalam pemilihan umum legislatif Iran, Jumat (1/3/2024). Pemilu juga digelar untuk memilih 88 anggota Majelis Pakar, lembaga para ulama yang salah satu tugasnya menentukan pengganti Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Pemilu kali ini dibayangi oleh kemungkinan rendahnya antusiasme dan keikutsertaan pemilik suara karena situasi ekonomi politik yang tidak berangsur membaik. Salah satu indikasi rendahnya antusiasme rakyat untuk memilih terlihat dari langkah Kementerian Dalam Negeri Iran memutuskan memperpanjang waktu pemungutan suara selama dua jam.
Seperti dilansir laman kantor berita Tasnim, menurut jadwal semula, pemungutan suara berlangsung pada pukul 08.00-20.00 waktu setempat. Akan tetapi, sebagaimana diberitakan kantor berita Iran, IRNA, Kemendagri menambah waktu pemungutan suara selama dua jam sehingga pemungutan suara baru berakhir pukul 22.00.
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, seusai menggunakan hak suaranya di salah satu tempat pemungutan suara di Teheran, mendorong warga Iran menggunakan haknya karena tindakan itu diwajibkan oleh agama. Selain itu, ia juga mengingatkan para pemilih untuk menggunakan hak suaranya guna membantu Pemerintah Iran memenangi ”perang psikologis” melawan musuh-musuhnya.
”Hari ini mata teman-teman Iran dan orang-orang yang berkeinginan buruk tertuju pada hasil pemilu. Buatlah teman-teman senang dan kecewakan musuh-musuh,” kata Khamenei di televisi pemerintah. Khamenei (84) menjadi warga Iran pertama yang menggunakan hak suaranya.
Pemilu ini menjadi upaya Pemerintah Iran untuk melihat sejauh mana dukungan warga terhadap pemerintah setelah unjuk rasa dalam kasus kematian Mahsa Amini mengguncang seantero Iran sejak tahun 2022.
Pada pemilihan parlemen empat tahun lalu, hanya 42 persen warga pemilik hak pilih yang menggunakan suaranya. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan pada pemilu yang sama tahun 2016 ketika 62 persen pemilih menggunakan hak suaranya. Partisipasi pemilih empat tahun lalu menjadi yang terendah sejak Revolusi Iran tahun 1979.
Lembaga survei pemerintah, ISPA, pernah memprediksi angka partisipasi pemilih kali ini hanya 38,5 persen secara nasional dan 23,5 persen di ibu kota Teheran.
Lembaga survei pemerintah, ISPA, pernah memprediksi angka partisipasi pemilih kali ini hanya 38,5 persen secara nasional dan 23,5 persen di ibu kota Teheran. Survei ini dilakukan dengan responden 5.121 warga yang punya hak pilih pada tingkat kesalahan (margin of error) 2 persen. Namun, ISPA belum mengeluarkan data terbaru, hal yang jarang terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya.
Stasiun televisi milik pemerintah menggambarkan warga menyambut antusias pelaksanaan pemilihan legislatif kali ini. Sejumlah warga yang diwawancarai mengatakan, mereka memilih untuk membuat Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran, bahagia.
Sejumlah pejabat Iran mengatakan, tingkat partisipasi warga sangat baik. Perpanjangan waktu pemungutan suara selama dua jam, menurut mereka, adalah untuk membuka kesempatan bagi pemilih yang terlambat menggunakan hak suaranya.
Akan tetapi, menurut sejumlah saksi mata, yang terjadi adalah sebaliknya. Sebagian besar TPS di Teheran dan sejumlah kota hanya dihadiri oleh sedikit pemilih. ”Saya tidak memilih rezim yang membatasi kebebasan sosial saya. Memilih tidak ada artinya,” kata Reza (35), seorang guru.
Peraih Hadiah Nobel Perdamaian yang saat ini tengah menjalani hukuman penjara, Narges Mohammadi, seorang pembela hak-hak perempuan, menyebut pemilu tersebut sebagai sebuah kepalsuan. Para aktivis dan kelompok oposisi menyebarkan tagar #VOTENoVote dan #ElectionCircus secara luas di platform media sosial X. Mereka menilai, jumlah pemilih yang tinggi akan melegitimasi rezim yang dipandangnya sebagai rezim represif.
Walau demikian, kelompok oposisi juga kekurangan tokoh untuk bersaing dalam pemilihan parlemen ini. Dari 15,200 kandidat yang bertarung, diperkirakan kurang dari 150 orang adalah tokoh-tokoh yang dekat dengan kelompok oposisi atau moderat.
Tokoh-tokoh yang menuntut perubahan radikal di Iran dilarang atau tidak mau mendaftar karena otoritas hampir dipastikan mendiskualifikasi keikutsertaan mereka.
Masalah ekonomi
Banyak analis mengatakan, sejumlah besar warga Iran tidak lagi berpikir bahwa Pemerintah Iran mampu menyelesaikan krisis ekonomi di negara tersebut. Kesalahan manajemen serta korupsi dan sanksi ekonomi unilateral oleh Amerika Serikat, yang diterapkan kembali sejak tahun 2018 setelah Presiden AS Donald Trump memutuskan mundur dari Kesepakatan Nuklir Iran (JCPOA), menjadi sumber utama kesulitan warga saat ini.
Khamenei menuduh musuh-musuh Iran—istilah yang biasa ia gunakan untuk AS dan Israel—berusaha menciptakan keputusasaan di kalangan pemilih Iran.
Roxane Farmanfarmaian, profesor hubungan internasional dan politik Timur Tengah modern di Universitas Cambridge, Inggris, mengatakan bahwa jika prediksi rendahnya jumlah pemilih benar, permasalahan ekonomi yang melingkupi warga menjadi faktor utama yang mendorong mereka menjauh dari TPS-TPS.
”Ada banyak rasa putus asa yang terlibat,” kata Farmanfarmaian, seperti dikutip laman Al Jazeera. Dia menilai sudah menjadi ”sangat jelas” bahwa kepemimpinan Iran tidak terlalu peduli apakah masyarakat memilih atau tidak. ”Mereka (Pemerintah Iran) tidak melihatnya ada implikasi terhadap legitimasi mereka sendiri,” tambahnya.
Adnan Tabatabai, analis urusan Iran dan kepala eksekutif CARPO, sebuah lembaga pemikir yang berfokus pada Timur Tengah, yang berkantor di Jerman, mengatakan, salah satu alasan sebagian orang merasa pilihan mereka tidak akan membawa perbedaan adalah kurangnya perwakilan untuk mengatasi keluhan mereka.
”Hal-hal tersebut tentu saja berkaitan dengan masalah ekonomi. Akan tetapi, jelas ada keluhan budaya, sosial, dan politik yang bisa kita lihat. Kurangnya kandidat yang bisa menjadi saluran keluhan masyarakat juga mendorong hal itu,” kata Tabatabai. (AP/REUTERS)