Era Baru Konservatisme Iran dan Prospek Perundingan Nuklir
Terpilihnya kandidat kubu konservatif, Ebrahim Raisi, sebagai presiden Iran menghadirkan kecemasan di dunia internasional terkait nasib perundingan kesepakatan nuklir antara Iran dan negara-negara Barat.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·6 menit baca
Iran segera memasuki era baru. Era yang ditandai dengan tampilnya Ebrahim Raisi dari kubu konservatif memimpin negara itu. Era lama saat Iran dipimpin presiden dari kubu reformis, Hassan Rouhani, pun berakhir. Kepala Kantor Pemilihan Umum Iran Jamal Orf, Sabtu (19/6/2021), mengumumkan, Raisi memenangi pemilu presiden dengan meraup 17,8 juta suara (62 persen) dari 28,6 juta suara sah.
Tampilnya Raisi sebagai presiden baru Iran semakin mengukuhkan dominasi kubu konservatif di panggung kekuasaan di Iran saat ini. Pemilu parlemen Iran pada Februari 2020 juga dimenangi kubu konservatif: 221 dari 290 kursi parlemen disabet kubu konservatif. Kini kubu konservatif menguasai pilar eksekutif (presiden) dan pilar legislatif (parlemen).
Polarisasi kubu konservatif dan kubu reformis, yang muncul menjelang pemilu presiden 1997, terus mewarnai peta politik di Iran sampai saat ini. Pada pemilu presiden 1997, terpilih kandidat presiden dari kubu reformis, Mohammad Khatami. Sejak itu, Iran sesungguhnya sudah terbiasa mengalami silih berganti era antara konservatif dan reformis. Sudah ada dua presiden dari kubu reformis: Khatami (1997-2005) dan Rouhani (2013-2021).
Sejak polarisasi itu muncul, Raisi adalah presiden dari kubu konservatif yang kedua. Sebelumnya, presiden dari kubu konservatif adalah Mahmoud Ahmadinejad (2005-2013).
Sejumlah analis Iran pro-kubu reformis mengatakan, mantan Presiden AS Donald Trump adalah pihak yang paling bertanggung jawab gagalnya agenda Presiden Rouhani dan kubu reformis di Iran akibat aksi pembatalan sepihak pada tahun 2018 atas kesepakatan nuklir Iran tahun 2015. Para pemilih Iran, yang memberi suara kepada Rouhani pada pemilu presiden Iran tahun 2013 dan 2017, menaruh harapan besar ada perbaikan ekonomi dan membaiknya hubungan Iran dengan dunia internasional.
Presiden Rouhani pun meletakkan tercapainya kesepakatan nuklir dengan masyarakat internasional sebagai agenda utama pemerintahnya. Ia meyakini bahwa kesepakatan nuklir adalah pintu utama menuju terwujudnya reformasi ekonomi di Iran serta membaiknya hubungan Iran dan masyarakat internasional.
Agenda utama pemerintahan Rouhani itu terwujud dengan tercapainya kesepakatan nuklir pada Juli 2015, yang terkenal dengan sebutan Rencana Aksi Komprehensif Bersama (The Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA). Harapan rakyat Iran untuk memulai era baru dengan nasib yang lebih baik semakin kuat dengan tercapainya kesepakatan nuklir itu. Popularitas Rouhani juga semakin menjulang pasca-kesepakatan nuklir tersebut.
Ini yang membuat Rouhani terpilih lagi secara mulus pada pemilu presiden tahun 2017. Bahkan, kala itu Rouhani dengan mudah mengalahkan Raisi yang sudah tampil sebagai kandidat kubu konservatif.
Namun, tindakan sepihak AS di bawah Trump dengan membatalkan kesepakatan nuklir Iran pada 2018 memorakporandakan agenda Presiden Rouhani dan kubu reformis Iran. Ekonomi Iran kembali terpuruk akibat aksi blokade total AS. Rakyat Iran kembali putus harapan melihat masa depan mereka. Mereka juga sudah tidak mempersoalkan lagi peta politik Iran yang terbelah antara kubu konservatif dan reformis.
Siapa pun yang berkuasa di Iran, kubu konservatif ataupun reformis, tidak akan banyak berbeda. Situasi terpuruk Iran pasca-pembatalan sepihak kesepakatan nuklir oleh AS itu berandil kemenangan kubu konservatif pada pemilu legislatif pada Februari 2020 dan pemilu presiden 18 Juni 2021. Hasil pemilu legislatif Iran tahun 2020 dan pemilu presiden Iran tahun 2021 ini adalah pesan rakyat Iran kepada masyarakat internasional yang tak berkutik menghadapi kesewenang-wenangan AS.
Sikap konservatif AS pada era Presiden Trump dibalas juga dengan sikap konservatif Iran. Dominasi kubu konservatif dipanggung kekuasaan di Iran saat ini tentu mencemaskan masyarakat internasional, khususnya terkait masa depan perundingan nuklir yang berlangsung di Vienna, Austria, saat ini.
Belajar dari era kekuasaan Presiden Ahmadinejad (2005-2013), yang juga dari kubu konservatif, isu nuklir saat itu sama sekali tidak mengalami kemajuan. Isu nuklir Iran baru mengalami kemajuan pesat sehingga tercapai kesepakatan tahun 2015 pada era Presiden Rouhani, tokoh kubu moderat/reformis. Tentu beralasan jika masyarakat internasional saat ini cukup cemas atas masa depan perundingan nuklir di Vienna. Mereka khawatir isu nuklir pada era Raisi seperti pada era Ahmadinejad.
Tidak terpengaruh
Namun, kepala perunding Iran dalam perundingan nuklir di Vienna, Abbas Aragchi, dalam wawancara dengan televisi Al Jazeera, Rabu (16/6/2021), berusaha menenangkan masyarakat internasional tentang masa depan perundingan nuklir pada era Presiden Raisi. Ia menegaskan, perundingan nuklir tidak ada hubungan dengan hasil pemilu presiden Iran.
Ia mengungkapkan, kebijakan perundingan nuklir sudah digariskan di tingkat puncak kekuasaan di Iran dan tidak terpengaruh oleh siapa pun presiden Iran. Aragchi kemudian mengimbau masyarakat internasional terus melanjutkan perundingan nuklir di Vienna dan tetap optimistis semua kendala dalam perundingan nuklir selama ini bisa diselesaikan.
Menurut situs AS, Axios, Sabtu (19/6/2021), yang mengutip pejabat AS, pemerintahan Presiden Joe Biden menginginkan kesepakatan nuklir Iran sudah bisa dicapai sebelum serah terima jabatan presiden dari Rouhani kepada Raisi. Menurut undang-undang Iran, presiden terpilih menerima jabatan presiden dari presiden petahana, 45 hari dari pengumuman kemenangan presiden terpilih itu.
Bergulirnya berita tersebut menunjukkan, AS tampaknya masih khawatir atas masa depan perundingan nuklir Iran pada era Raisi nanti. AS lebih menghendaki kesepakatan nuklir Iran bisa tercapai pada era Rouhani. Bergulirnya berita itu juga menunjukkan bahwa Biden memandang tercapainya kembali kesepakatan nuklir Iran masih lebih baik dibandingkan tidak tercapai kesepakatan.
Biden masih melihat tercapainya kesepakatan nuklir baru merupakan jalan terbaik untuk mencegah Iran memiliki bom nuklir dan sekaligus terciptanya stabilitas di Timur Tengah.
Sebaliknya, di Iran, presiden terpilih Raisi juga sesungguhnya mempunyai kepentingan dengan tercapainya kesepakatan nuklir Iran. Karena, siapa pun presiden Iran mempunyai kepentingan segera melakukan reformasi ekonomi. Sementara tanpa tercapai kesepakatan nuklir baru, akan sangat sulit bagi siapa pun presiden Iran melakukan reformasi ekonomi. Masalah ekonomi menjadi isu utama dalam kampanye pemilu presiden lalu dan bahan diskusi para pakar di Iran tentang apa yang harus dilakukan oleh siapa pun presiden Iran.
Hal ini menunjukkan, problem terbesar Iran saat ini adalah problem ekonomi. Isu ekonomi ini sangat berkelindan dengan isu nuklir. Hal ini yang membuat Raisi sangat berkepentingan dengan tercapainya kesepakatan nuklir Iran.
Tercapainya kesepakatan nuklir juga akan menentukan gambaran masa depan hubungan Iran dengan negara-negara Arab tetangga, khususnya Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain. Bahkan, tercapainya kesepakatan nuklir bisa membantu tercapainya solusi politik di Yaman.
Isu besar lain, selain isu nuklir, adalah hubungan Iran dengan negara Arab tetangganya tersebut serta isu Yaman. Jika tercapai kesepakatan baru nuklir, negara-negara tetangga, seperti Arab Saudi, UEA, dan Bahrain, akan terpaksa melakukan evaluasi baru terkait hubungannya dengan Iran. Tidak menutup kemungkinan Arab Saudi, UEA, dan Bahrain menerima ide dibangun pakta keamanan regional dengan Iran.
Ide ini yang selama ini selalu dipromosikan oleh Iran agar negara-negara di kawasan Teluk lebih mengandalkan pada kekuatan kerja sama regional sendiri daripada kekuatan asing untuk menciptakan stabilitas kawasan. Bila terwujud, ide itu akan semakin mengucilkan Israel dan mereduksi nilai strategis Abraham Accord (kesepakatan pembukaan hubungan resmi antara Israel dan sejumlah negara Arab, yakni UEA, Bahrain, Sudan, dan Maroko).
Namun, semua kemungkinan itu akan bergantung pada hasil perundingan nuklir Iran di Vienna saat ini. Jika tercapai kesepakatan nuklir baru, terbuka jalan terwujudnya ide tersebut. Namun, sebaliknya, jika gagal tercapai kesepakatan nuklir baru, kecil kemungkinan ide itu diterima oleh negara-negara Arab tetangga Iran.