Hindari Wamil Junta, Warga Myanmar Eksodus Massal ke Thailand
Wamil untuk junta menjadi hal menakutkan bagi warga Myanmar. Eksodus keluar dari negara itu jadi pilihan mereka.
Thwel (25), perempuan guru sekolah, tak punya pilihan selain meninggalkan tanah kelahirannya, Myanmar. Usianya masuk dalam rentang usia warga muda yang harus menjalani program wajib militer yang dicanangkan pemerintahan junta. Namun, nuraninya memberontak.
”Sebagai orang yang tinggal di negara ini, cuma ada dua pilihan: pergi ke luar negeri secara ilegal atau mati di sini,” tutur Thwel kepada wartawan Associated Press via telepon. Saat berbicara, dia tengah dalam perjalanan ke daerah perbatasan, mencoba menyeberang ke Thailand bersama beberapa orang yang berpikiran sama.
Program wajib militer sudah diputuskan junta Myanmar akan berlaku mulai April 2024. Pemimpin junta Jenderal Senior Min Aung Hlaing pada 10 Februari 2024 memerintahkan pemberlakuan undang-undang wajib militer tahun 2010. Semua laki-laki yang sehat, berusia 18-35 tahun, serta perempuan berusia 18-27 tahun wajib ikut dinas militer selama dua tahun. Menghindari wamil diancam hukuman penjara 3-5 tahun plus denda.
Menurut juru bicara junta, Mayjen Zaw Min Tun, diperkirakan total 14 juta warga Myanmar, terdiri dari 6,3 juta laki-laki dan 7,7 juta perempuan, memenuhi syarat untuk ikut program itu. Junta berencana memanggil 60.000 laki-laki yang memenuhi syarat ikut wamil setiap tahunnya. Tahap pertama, sebanyak 5.000 orang akan dipanggil pada pertengahan April mendatang seusai tahun baru Thingyan (tahun baru Myanmar).
Baca juga: Banyak Prajurit Tewas, Junta Myanmar Rekrut 60.000 Pemuda-Pemudi untuk Wajib Militer
Untuk sementara, junta belum berencana memanggil perempuan untuk mengikuti wamil. Artinya, bagi Thwel, untuk sementara dirinya terbebas dari kekhawatiran. Akan tetapi, hal itu tidak menghentikan Thwel dan warga lainnya untuk segera eksodus ke negara lain.
Menuju Thailand
Jalanan di depan gedung Kedutaan Besar Thailand di Yangon hampir setiap hari dipenuhi para pemohon visa. Mereka mengantre untuk mendapatkan tiket memproses permohonan visa.
Saking banyaknya peminat visa, Kedubes Thailand membatasi 400 janji temu visa per hari. Bahkan, kini, untuk mendapatkan nomor antrean, mereka harus mendaftar secara daring.
Mengutip data Kementerian Luar Negeri Thailand, Bangkok Post menyebut 7.000 warga Myanmar telah mengajukan permohonan visa kunjungan ke Thailand.
Setiap pagi, pemandangan kantor tempat pengurusan paspor di Mandalay juga dipenuhi 4.000-5.000 orang yang mengantre untuk mendapatkan tiket pembuatan paspor. Padahal, setiap hari kantor itu hanya mampu melayani 200-250 orang berdasarkan perjanjian.
Lebih dari 1.000 warga Myanmar usia produktif diyakini menyeberang ke Thailand setiap hari sejak wajib militer diumumkan junta.
Membeludaknya keinginan warga untuk mendapatkan atau memperbarui paspor berakibat fatal. Beberapa waktu lalu, dua perempuan tewas dan satu orang terluka ketika mereka terjatuh ke dalam selokan saat mengantre, bahkan sebelum fajar menyingsing.
Baca juga: Tiga Tahun Kudeta Militer di Myanmar, Perlawanan pada Junta Makin Gencar
Moe Kyaw dari Asosiasi Pekerja Yaung Chi Oo-Thailand, asosiasi bantuan untuk pekerja migran Myanmar, menyebut lebih dari 1.000 warga Myanmar usia produktif diyakini menyeberang ke Thailand setiap hari sejak wajib militer diumumkan junta. ”Bukan pertanda baik jika sumber daya manusia dan intelektual meninggalkan suatu negara,” katanya.
Pilihan terbaik
Seorang penerjemah berita berusia 32 tahun segera meninggalkan Myanmar tak lama setelah junta mengumumkan kebijakan itu. Dia terbang ke Thailand, beberapa hari berselang.
Ia meminta namanya disamarkan karena khawatir mendapat konsekuensi hukum dari junta. Ia tak mau bergabung dengan program wamil karena khawatir tak akan bisa keluar dari jebakan labirin situasi keamanan Myanmar dan juga khawatir dengan masa depan di militer. Ia mencontohkan pamannya yang akhirnya terjebak selama lebih dari 40 tahun di militer Myanmar.
Hal serupa disampaikan seorang jurnalis berusia 26 tahun. ”Saya berusaha sebaik mungkin untuk bertahan di Myanmar, bahkan ketika jurnalis lain melarikan diri ke luar negeri atau ke daerah yang dikuasai kelompok bersenjata etnis minoritas,” katanya.
”Tetapi, kali ini, kami tidak bisa bersembunyi di mana pun. Kami tidak bisa luput dari pantauan. Tidak ada pilihan,” lanjut jurnalis itu. Dia juga berencana melarikan diri ke Thailand.
Institute for Strategy and Policy mengatakan, program wamil bisa memicu eksodus massal, pelanggaran hak asasi manusia yang lebih luas, serta meningkatkan korupsi dan pemerasan di semua tingkatan. Ketidaksukaan terhadap junta, termasuk program wamil ini, bisa mendorong anak muda yang dekat dengan wilayah konflik bergabung dengan angkatan bersenjata etnis minoritas dan kelompok perlawanan pro demokrasi.
Baca juga: Dunia Kecewakan Rakyat Myanmar
Para pekerja medis, baik dokter maupun perawat yang masuk dalam rentang usia wamil, juga berpeluang dipanggil. Akan tetapi, bagi seorang dokter yang bergabung dengan Gerakan Pembangkangan Sipil (Civil Disobedient Movement), mereka sulit bergerak karena telah masuk daftar hitam otoritas imigrasi. Satu-satunya jalan untuk eksodus adalah secara ilegal.
”Bagi saya, undang-undang itu mendorong keputusan untuk pergi ke luar negeri,” kata dokter yang enggan disebutkan namanya demi keselamatannya.
Dia tengah menjajaki cara terbaik, pindah ke negara lain atau sebatas bergeser ke daerah perbatasan yang dikuasai kelompok etnis bersenjata.
Sejumlah kelompok perlawanan etnis, seperti Tentara Arakan di Negara Bagian Rakhine dan kelompok perlawanan Negara Bagian Shan, membuka pintu bagi warga Myanmar untuk berlindung di wilayahnya. Persatuan Nasional Karen di Negara Bagian Kayin juga menjanjikan bantuan serupa.
Sementara Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) menyebut rakyat Myanmar tidak wajib patuh pada aturan junta. Bahkan, mereka mendesak warga untuk bergabung dengan kelompok perlawanan mereka, Tentara Pertahanan Rakyat.
Stigma bagi ASN
Daw Kyipyar Tin adalah aparatur sipil negara (ASN) yang bekerja di Departemen Imigrasi di Kotapraja Hsipaw. Sebagai abdi negara, dia setia pada pekerjaannya meski kantornya menghentikan kegiatanya sejak November 2023 dan para pejabatnya melarikan diri. Sementara Kyipyar Tin memilih tinggal di rumah.
Tidak ada instruksi apa pun dari pemerintah pusat tentang keberlanjutan kerja di Hsipaw. Kyipyar Tin dan sejumlah ASN yang masih bisa dihubungi diminta untuk pindah sementara ke ibu kota, Naypyidaw. Tak ada bantuan dana kepindahan sama sekali. Yang menjadi masalah baginya adalah setelah dua bulan di ibu kota, dia dipindahtugaskan ke daerah asalnya di bagian selatan Negara Bagian Shan.
Kyipyar Tin mengatakan, semua hal ini mendorong dirinya berhenti bekerja untuk rezim junta. Meski begitu, dia mengaku sudah terlambat baginya untuk memihak oposisi.
Ratusan ribu ASN pemerintah Myanmar meninggalkan pekerjaan mereka dan memprotes kudeta yang dilancarkan junta militer, 1 Februari 2021. NUG memberikan tenggat April 2021 kepada seluruh ASN untuk ikut bergabung dalam gerakan pembangkangan massal (Civil Disobedience Movement/CDM). Bila tidak, Dewan Permusyawaratan Persatuan Nasional (NUCC)—bagian dari NUG—menyatakan para pejabat dan ASN yang tidak bergabung dalam CDM setelah April 2021 diancam akan dijatuhi sanksi bila NUG berkuasa.
Jenis dan berat hukuman bergantung pada kepangkatan mereka. Wakil direktur ke atas akan dimasukkan ke dalam daftar hitam secara permanen dari pekerjaan negara, sementara staf berpangkat lebih rendah akan dipecat, tetapi diberi pilihan untuk melamar kembali pada posisi tingkat awal. Staf non-CDM juga akan dikenai larangan perjalanan sementara ke luar negeri dan dapat menghadapi hukuman lain yang tidak ditentukan.
Baca juga: Pelapor Khusus PBB Desak Indonesia-ASEAN Ubah Pendekatan dalam Krisis Myanmar
Hal itu dianggap ASN, seperti Kyipyar Tin, sebagai permusuhan. Dia pun menjauh dari gerakan pro demokrasi. ”Jika berhenti, saya akan berhenti secara normal,” kata Kyipyar Tin.
”Saya punya banyak teman yang ikut CDM atau memimpin kegiatan CDM di kota saya. Namun, ketika saya memilih untuk terus bekerja setelah kudeta, mereka mengakhiri hubungan dan mengkritik saya.”
Stigma sosial hanyalah puncak gunung es. Tidak jarang, ASN level bawah menjadi korban pembunuhan kelompok perlawanan meskipun menurut hukum internasional mereka diklasifikasikan sebagai warga sipil. Persoalan ASN yang terafiliasi dengan CDM dan non-CDM menjadi persoalan serius.
Wakil Ketua Tentara Nasional Pembebasan Ta’ang Tar Jode Jar diprotes para pendukungnya setelah dia mengatakan kepada media lokal pada Januari 2024 bahwa kelompok tersebut terbuka untuk bekerja dengan pegawai negeri non-CDM dalam mengelola wilayah barunya. Protes keras dari para pendukugnnya membuat TNLA mencabut keputusan itu dan hanya mempekerjakan ASN CDM.
November 2023, Dewan Eksekutif Sementara Karenni, otoritas pemerintah lokal di Negara Bagian Kayah, diprotes karena hanya memberikan hukuman denda sejumlah pejabat senior Kotapraja Hpruso. Hal itu membuat pendukung CDM tidak puas.
”Seharusnya mereka divonis penjara satu dua tahun, hukuman yang pantas mereka terima. Membiarkan mereka pergi dengan denda kecil saja sudah seperti permainan anak-anak,” kata Ko Lu Maw, seorang dokter CDM, seperti dikutip Frontier Myanmar.
Khu Plu Reh, Sekretaris Jenderal IEC Karenni, mengatakan bahwa tindakan mereka sejalan dengan hak asasi manusia dan dalam batasan praktis, termasuk berjanji tidak akan bekerja untuk junta. Jika diketahui bekerja kembali untuk junta, mereka akan dihukum lebih berat.
Dendam tidak produktif
Tidak semua orang menganggap mengasingkan ASN yang bekerja untuk rezim junta adalah strategi kemenangan. Ko Kyaw Ko Ko, aktivis terkemuka dan mantan ketua Federasi Serikat Mahasiswa Seluruh Burma, mengatakan dendam pada warga non-CDM tidak produktif.
”Kita harus ingat bahwa banyak orang non-CDM yang tidak bergabung karena ketakutan dan tekanan. Saat kelompok perlawanan mengalahkan diktator, yang ditakuti oleh masyarakat non-CDM, maka tidak ada lagi yang perlu ditakutkan. Pada saat itu, kekuatan revolusioner harus memanfaatkan mereka,” kata Ko Kyaw Ko Ko.
Dendam terjadi karena banyak simpatisan gerakan pembangkangan dibunuh oleh junta. NUCC tidak menanggapi permintaan komentar soal ini.
Baca juga: Kekerasan Tak Berujung di Myanmar
Akan tetapi, sumber yang dekat dengan dewan mengatakan, dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengubah pandangan itu, terutama terkait warga non-CDM. Secara umum, para pejabat senior mendesak adanya pengampunan, sementara yang lain mendesak agar mereka dihukum.
”Banyak pemimpin di NUCC yang tidak ingin memperlakukan orang-orang non-CDM sebagai musuh. Namun, kelompok perwakilan CDM ingin menghukum orang-orang non-CDM,” jelasnya. ”Para pemimpin khawatir, kebijakan ini akan menciptakan situasi di mana masyarakat non-CDM tidak punya jalan keluar.”
Ko Kyaw Ko Ko mengingatkan, memperlakukan mereka dengan kasar hanya akan membuat mereka menjauh, menguntungkan rezim, dan merugikan perlawanan.
”Kita harus menjadikan mereka sebagai teman kita. Jika kita menindas mereka, mereka akan mendekat ke junta. Jika mereka tidak berani tinggal di wilayah yang telah dibebaskan dan malah pergi ke wilayah yang dikuasai militer, kita akan kehilangan sumber daya manusia dan kekuatan musuh akan meningkat,” ujarnya. (AP)