Meski kerap diabaikan, konsep Kant akhirnya kembali jadi rujukan. Bahwa kewajiban penting demi wujudkan ”bonum commune”.
Oleh
BONIFASIUS JOSIE SUSILO HARDIANTO
·3 menit baca
Belum ada tanda-tanda gencatan senjata di Gaza bakal disepakati. Dialog dan negosiasi terus diupayakan banyak pihak, di antaranya Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat. Seiring itu, setidaknya 50 negara di dunia, salah satunya Indonesia, menyuarakan pandangan mereka soal okupasi Israel atas wilayah Palestina.
Dalam sidang Mahkamah Internasional yang digelar di Den Haag, Belanda, sepekan terakhir itu, mereka menilai, Israel secara ilegal menduduki wilayah Palestina. Pendudukan itu membawa dampak luar biasa terhadap rakyat Palestina. Sejumlah pihak bahkan melihat Israel melakukan politik apartheid di Palestina.
Salah satu bentuk perlawanan terhadap pendudukan dan tindakan Israel di Palestina adalah serangan Hamas ke wilayah Israel pada 7 Oktober 2023. Lebih dari 1.300 warga Israel tewas dalam serangan tersebut. Israel lantas membalasnya. Serangan bertubi-tubi Israel ke Gaza—dengan dalih menghancurkan Hamas—justru memakan lebih dari 30.000 nyawa warga Palestina. Tidak hanya itu, lebih dari 1,3 juta warga Palestina di Gaza kini tak lagi memiliki tempat aman untuk berlindung.
Dunia, sebagaimana disebutkan di atas, mencoba mendesak Israel dan Hamas untuk meneken kesepakatan gencatan senjata. Namun, Israel dengan kukuh menolaknya. Sejumlah penyokongnya, termasuk AS, seolah tak mampu mendesak Tel Aviv, khususnya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, menurunkan ”hasrat” untuk ”menghancurkan Gaza” dan ”membentuknya kembali” seperti mau Israel. Dengan dalih membebaskan semua sandera Israel, Netanyahu bahkan meminta tentara Israel menyiapkan diri untuk menggelar operasi darat ke Rafah.
Lingkaran kekerasan di Palestina ini telah ”menyisakan” kelaparan, keputusasaan, serta kematian yang harus dihidupi dan dihadapi warga Palestina.
Para pihak yang diposisikan sebagai ”yang di atas angin” dan adidaya hingga kini belum mau bersikap lebih bijak. Mereka seolah mencibir konsep ”imperatif kategoris” yang diperkenalkan oleh filsuf Jerman, Immanuel Kant. Secara sederhana, konsep itu menyebutkan bahwa kewajiban semata-mata dilakukan karena hal itu baik dan tanpa pamrih.
Bagaimanapun, pembunuhan atas sejumlah warga Israel dalam serangan Hamas tidak dapat dibenarkan, demikian juga cara Israel memperlakukan Palestina dan warganya. Sedigdaya apa pun negara atau seseorang, dalam prinsip-prinsip demokrasi, tetap perlu tunduk pada hukum dan nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai itu salah satunya adalah kesetaraan, termasuk memperlakukan seseorang sebagaimana orang ingin diperlakukan.
Di sisi lain, setiap negara memiliki misi yang dituntaskan, termasuk dalam membangun relasi atau hubungan internasional. Pemenuhan misi itu berbasis pada pemenuhan kepentingan nasional. Namun, dalam penuntasan misi itu, sering dengan mengacu pada filsafat politik Machiavelli, nilai-nilai moral disisihkan.
Meskipun demikian, tidak semua hal dalam kehidupan bersama harus diletakkan pada perhitungan untung atau rugi saja. Ada komitmen bersama untuk melestarikan kesejahteraan manusia meskipun untuk itu seseorang harus berkorban. Setidaknya, sama-sama menurunkan ego.
Pertanyaannya, akankah negara-negara adidaya atau mereka yang kini ada di atas angin berminat menurunkan ego mereka? Karena toh akhirnya, banyak pihak sejatinya kembali memalingkan pandangan pada nasihat Kant, mengedepankan hukum, memenuhi kewajiban mereka sebagai bagian dari komunitas dunia yang berniat mewujudkan bonum commune....