Anak-anak Muda Tak Punya Pilihan Selain ”Hidup di Ujung Tanduk”
Generasi milenial dan Z berjibaku menyiasati tekanan dalam pendapatan yang tidak mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari.
Kekayaan anak-anak muda dari generasi milenial (kelahiran 1981-1996) dan generasi Z (1997-2012) di Amerika Serikat sebenarnya terus bertambah. Namun, sebagian besar uang mereka dibelanjakan untuk ”kebutuhan saat ini saja” atau pengeluaran sehari-hari yang lebih mahal.
Ada pengeluaran yang penting dan harus mereka alokasikan, seperti sewa rumah, tetapi ada pula kemewahan lain yang tidak bisa mereka tahan, seperti jalan-jalan ke luar kota atau luar negeri. Anak-anak muda itu tetap membutuhkan jalan-jalan dengan alasan mau menikmati hidup, terutama setelah melewati masa pandemi Covid-19 dan terbelit utang pinjaman kuliah yang sangat besar.
Baca juga: Generasi Muda, Investasi, dan Literasi Keuangan
Situs NBC, 18 Februari 2024, mengutip penelitian bank sentral AS di New York, menyebutkan bahwa kekayaan bersih warga AS berusia 18-39 tahun melonjak 80 persen dari kekayaan mereka pada awal tahun 2019 hingga kuartal ketiga tahun 2023. Kekayaan mereka telah melampaui kekayaan generasi lebih tua.
Namun, sebagian besar dari kekayaan mereka berasal dari investasi pada saham-saham yang tidak likuid sehingga tidak bisa dicairkan segera untuk dapat dibelanjakan. ”Kita ini generasi yang terjebak dalam situasi sulit,” kata Hala Easmael (32), pekerja pada industri farmasi di Philadelphia, AS.
Easmael memperoleh gelar master dalam bidang biokimia dan ilmu biomedis pada 2020. Ia mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan sekitar 100.000 dollar AS atau sekitar Rp 1,6 miliar per tahun sebagai ahli epidemiologi di New Jersey.
Setelah dua tahun bekerja di tengah inflasi di AS yang mendekati level tertinggi dalam 40 tahun, Easmael meninggalkan pekerjaannya untuk mengejar gelar doktor di bidang farmasi. Harapan dia, setelah lulus dengan titel PhD, ia dapat meningkatkan prospek penghasilannya.
Baca juga: Generasi Milenial dan Gen-Z Utamakan Lingkungan Kerja Positif
Selama kuliah mengambil gelar doktor, Easmael menghemat uang sewa apartemen dengan tinggal bersama orangtuanya. Dia juga bekerja paruh waktu sebagai pengasuh anak dan di bagian farmasi rumah sakit, sambil juga magang di jaringan apotek AS, Walgreens. Meski sudah ditambah beasiswa akademik yang diterimanya, pendapatannya tidak dapat menggantikan berkurangnya pemasukan sebesar 70.000 dollar AS sejak keluar dari ahli epidemiologi di New Jersey.
”Kita tidak bisa hidup hanya dengan satu pekerjaan saja. Gaji besar sekarang sudah habis untuk hidup sehari-hari. Tabungan juga akan selalu habis,” ujar Easmael.
Gaji besar sekarang sudah habis untuk hidup sehari-hari. Tabungan juga akan selalu habis.
Dalam survei CNBC bulan Januari 2024 pada warga usia 18-34 tahun, sebanyak 42 persen dari mereka mengatakan bahwa penghasilan mereka lebih besar dibandingkan tahun lalu, sedangkan 27 persen mengaku berpenghasilan lebih sedikit. Namun, hampir separuh mengatakan mereka tidak mampu menanggung pengeluaran lebih dari satu bulan jika mereka menganggur. Hanya 11 persen yang mengaku mampu menanggung biaya itu selama setahun.
Menurut laporan Bankrate (perusahaan penyedia jasa bantuan pengelolaan finansial daring di New York, AS) baru-baru ini, hanya 32 persen gen Z dan 37 persen generasi milenial merasa nyaman dengan tabungan darurat yang mereka miliki. Sementara generasi X (kelahiran 1965-1980) merasa kondisi mereka sedikit lebih baik (38 persen).
Baca juga: Generasi Muda Didorong Beli Rumah
Kembali pada cerita Easmael, meski mengalami tekanan keuangan, dia masih bisa mengeluarkan anggaran 300-400 dollar AS sebulan untuk membeli baju.
Kevin Mahoney, perencana keuangan bersertifikat di Washington DC, mengungkapkan bahwa banyak generasi muda membuat perhitungan kapan dan bagaimana akan membelanjakan uang mereka. Mereka tidak memikirkan berapa banyak dan bagaimana uangnya akan ditabung.
”Orang-orang yang merasa harus menunda hal-hal yang ingin mereka lakukan atau mereka beli, punya pemikiran ini. Mereka rela menanggung risiko apa pun demi mewujudkan semua keinginan mereka,” ujar Mahoney.
Ada semacam keinginan seperti ”balas dendam” di kalangan mereka setelah menahan berbagai keinginan selama pandemi Covid-19.
Balas dendam
Mentalitas itu sebenarnya tidak hanya dimiliki oleh generasi muda. Kecenderungan untuk ”belanja balas dendam” pascapandemi Covid-19 juga dilakukan generasi lebih tua. Apalagi, dengan dorongan FOMO (fear of missing out) alias tidak mau ketinggalan dari orang lain dan banyaknya tabungan—karena selama pandemi tidak berbelanja.
Namun, setelah pandemi berlalu, pengeluaran anak muda di AS untuk hal-hal seperti perjalanan, rekreasi, dan makan di luar telah melampaui pengeluaran generasi lebih tua. Bahkan, ketika perekonomian sedang melambat pun, pengeluaran itu tidak mengendur.
Baca juga: Generasi Milenial dan Z Lebih Pilih Investasi Berkelanjutan
Menurut laporan perusahaan intelijen bisnis Morning Consult, pada tahun 2023 rata-rata gen Z atau milenial menghabiskan sekitar 400 dollar AS atau Rp 6,2 juta per bulan untuk hal-hal yang ”tidak penting”. Sementara pengeluaran gen X untuk hal yang sama sekitar 250 dollar AS atau Rp 4 juta per bulan, sedangkan generasi baby boomer (kelahiran 1946-1964) kurang dari 200 dollar AS atau Rp 3 juta per bulan.
Oleh karena itu, banyak anak muda berbelanja tanpa alasan hanya untuk meredakan kekhawatiran dianggap ketinggalan atau dorongan FOMO. Banyak pengguna di Tiktok sebenarnya saling memperingatkan agar tidak membuang-buang uang gaji untuk hal-hal yang berlebihan. Banyak pula yang mengampanyekan penolakan ajakan untuk membelanjakan uang.
Namun, Rue Crowder (34), pemilik toko daring pakaian pria, tidak peduli. Dia tetap berlibur bersama teman-temannya dalam pelayaran ke Ensenada, Meksiko, dengan sumber uang dari kartu kredit.
TransUnion, perusahaan biro kredit terbesar ketiga di AS, menyebutkan bahwa pangsa saldo kartu bank generasi milenial melampaui generasi baby boomer untuk pertama kalinya pada 2023. Ini karena konsumen muda, seperti generasi sebelumnya, menggunakan lebih banyak kartu kredit seiring bertambahnya usia.
Baca juga: Generasi Milenial Lebih Cepat Menua
Wakil Presiden dan Kepala Penelitian dan Konsultasi TransUnion AS, Michele Raneri, mengatakan bahwa konsekuensi sekarang ini akan lebih parah karena inflasi dan tingkat suku bunga yang tinggi. ”Anak muda tidak dapat menggunakan kartu kredit sebagai utilitas. Mereka menggunakannya dengan berpikir bahwa mereka akan memakainya hari ini dan saya akan melunasinya dalam waktu tiga bulan,” ujarnya.
Tunggakan saldo lebih dari 90 hari jatuh tempo naik 2,6 persen di semua kelompok umur dari kuartal keempat tahun 2022 ke periode yang sama tahun lalu. Ini tertinggi dalam 10 tahun terakhir. Anak muda berpenghasilan tinggi mengaku menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk pengeluaran-pengeluaran jangka pendek.
Rumah tak terjangkau
Mohit Singla (33) menjadi direktur senior di sebuah perusahaan bioteknologi pada September 2023. Dia dapat kenaikan gaji 20 persen. Penghasilan tahunannya, digabung dengan penghasilan istrinya, mendekati angka 500.000 dollar AS atau sekitar Rp 7,8 miliar setahun.
Baca juga: Milenial Lebih Matang Mempersiapkan Masa Pensiun
Namun, uang sebanyak itu masih kurang atau tidak mencukupi kebutuhan setelah kelahiran bayi mereka pada Desember 2023. Ada tambahan kebutuhan untuk anak. Itu belum termasuk harga sewa unit apartemen dua kamar tidur mereka di Jersey City, yang melonjak menjadi 5.500 dollar AS atau Rp 86 juta per bulan. Harga sewa sebelumnya, yakni 3.700 dollar AS sejak tiga tahun lalu, atau naik lebih dari 30 persen.
”Kami berencana beli rumah dan mungkin juga mobil kalau memungkinkan. Masih bisa, tetapi tidak masuk akal dengan kenaikan suku bunga KPR,” tutur Singla.
Survei perusahaan perantara perumahan AS, Redfin, September 2023, menyebutkan bahwa sekitar 18 persen generasi milenial dan 12 persen gen Z tidak yakin akan bisa membeli rumah karena tidak mampu. Harga jual rumah rata-rata 30 persen lebih tinggi ketimbang harga pada awal 2019, sementara tabungan yang tadinya digunakan sebagian orang untuk membayar uang muka membeli rumah kini dibelanjakan untuk hal-hal lain.
Survei perusahaan perantara perumahan AS, Redfin, September 2023, menyebutkan bahwa sekitar 18 persen generasi milenial dan 12 persen gen Z tidak yakin akan bisa membeli rumah karena tidak mampu.
Makan di luar dan makan mewah adalah salah satu kesenangan Singla dan istrinya yang mereka sepakati akan dipertahankan. Setiap akhir pekan, alokasinya sekitar 200 dollar AS untuk makan enak.
Meski sebenarnya kekayaan mereka meningkat, anak-anak muda milenial dan gen Z cenderung membelanjakan uang mereka untuk membeli barang-barang atau memenuhi kebutuhan apa saja yang bisa membuat mereka bahagia saat ini.
Perencana keuangan dan pendiri FirstGenLiving, Maria Melchor (27), dari New York City, kepada harian Daily Mail, 18 Desember 2023, menjelaskan bahwa apa yang selama ini disebut ”impian Amerika” sekarang tidak ada lagi pada generasi milenial dan gen Z. Dua kelompok generasi itu secara umum tidak mampu lagi membeli rumah dan berkeluarga di tengah kondisi perekonomian seperti sekarang.
Kenyataan pahit dari keterbatasan finansial itu membuat mereka menghabiskan banyak uang untuk ”bersenang-senang”. Entah itu untuk jalan-jalan, makan enak, atau beli tiket konser Taylor Swift yang mahal.
Baca juga: Generasi Muda China Tolak Tekanan Kehidupan dan Pekerjaan
Studi Indeks Kemakmuran yang dilakukan perusahaan Intuit baru-baru ini memperlihatkan, sebanyak 73 persen gen Z lebih memilih mengeluarkan uang untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik saat ini ketimbang harus menabung untuk masa depan. ”Beli rumah atau berkeluarga itu sangat jauh di luar jangkauan. Belum lagi harus bersaing dengan generasi lebih tua yang punya uang lebih banyak,” kata Melchor.
Karena masa depan juga tidak jelas, demikian pola pikir mereka, pilihan yang diambil anak-anak muda masa kini adalah menikmati hidup saat ini saja selagi masih bisa.