Dokter Magang Mogok karena Pemerintah Mau Tambah Kuota Mahasiswa Kedokteran
Hanya ada 2,6 dokter untuk setiap 1.000 penduduk. Saat pemerintah mau menambahnya, para dokter muda protes.
Oleh
IWAN SANTOSA
·4 menit baca
SEOUL, JUMAT — Pemerintah Korea Selatan menetapkan kondisi darurat atas layanan kesehatan. Sebab, 60 persen dokter di negara itu mogok karena menolak penambahan kuota mahasiswa baru fakultas kedokteran.
Perdana Menteri Korsel Han Duck-soo mengatakan, layanan konsultasi jarak jauh difungsikan maksimal. Semua batasan soal layanan itu dicabut selama pemogokan berlanjut. ”Klinik pratama, yang menangani kasus ringan dan sedang, diizinkan menyediakan layanan ini," ujarnya, Jumat (23/2/2024), sebagaimana dilaporkan kantor berita Yonhap.
Sampai Kamis malam, hanya klinik pratama dengan akreditasi tertinggi yang boleh menyediakan layanan tersebut. Sejak Jumat, klinik pratama hingga rumah sakit dengan akreditasi menengah bisa menyediakan layanan tersebut.
Keputusan itu menyusul pengunduran diri 8.897 dokter magang dan muda di Seoul dan daerah sekitarnya. Para dokter itu marah karena pemerintah menaikkan kuota mahasiswa baru fakultas kedokteran dari 3.000 ke 5.000 orang per tahun.
Keputusan pemerintah didasarkan fakta rasio dokter di Korsel hanya 2,6 orang per 1.000 penduduk. Korsel menjadi negara maju dengan rasio dokter terendah. Kekurangan dokter juga tecermin pada jam kerja. Banyak dokter muda bekerja lebih dari 15 jam per hari.
Jajak pendapat Gallup Korsel menunjukkan 76 persen responden mendukung tambahan mahasiswa baru fakultas kedokteran. Sebab, warga juga merasa kekurangan dokter.
Pakar kesehatan masyarakat di Seoul National University, Kwon Soon-man, menyebut, tambahan dokter berarti meningkatkan persaingan. Data Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menunjukkan, pendapatan rata-rata dokter spesialis di Korsel setara 200.000 dollar AS per tahun. ”Karena itu, mereka menentang rencana pemerintah menambah jumlah dokter,” ujarnya.
Pernyataan Kwon menunjukkan tidak semua dokter setuju pemogokan. Kelompok Dokter Pendukung Layanan Medis Gratis menyebut pemogokan itu tidak bisa dibenarkan. Sementara Asosiasi Perawat Muda berharap para pemogok mengingat tanggung jawab mereka dan sumpah profesi.
Kekurangan spesialis
Sejauh ini, pemogokan disokong Asosiasi Dokter Magang dan Asosiasi Dokter Korsel (KMA). Para pemogok beralasan, masalahnya bukan kekurangan dokter umum. Persoalan Korsel adalah kekurangan dokter spesialis.
Karena itu, seharusnya pemerintah menambah dokter spesialis. Selain itu, pendidikan spesialis lebih dipermudah. Kini, pendidikan di sebagian jurusan spesialis amat sulit dan bayarannya lebih rendah dari rata-rata upah dokter spesialisis.
Para dokter bedah plastik paling sejahtera. Sementara dokter spesialis layanan gawat darurat paling rendah upahnya dan paling panjang jam kerjanya. Pemerintah diharapkan menyelesaikan masalah tersebut.
Para pemogok marah dengan ancaman penangkapan dan pencabutan izin praktik. ”Kalau penguasa terus mengintimidasi, kami dapat mengambil langkah hukum,” demikian keterangan Komite Darurat KMA.
Sejauh ini, izin praktik dua anggota KMA ditangguhkan. Jika terbukti menjadi penghasut pemogokan, izin praktik mereka akan dicabut selamanya.
Kepolisian Korsel mengumumkan, perencana pemogokan bisa ditangkap. ”Kami mempertimbangkan kerja sama dengan jaksa untuk menangkap dan memproses hukum pemimpin aksi,” kata Kepala Kepolisian Korsel Yoon Hee-keun.
Warga pun gerah dengan pemogokan karena mengganggu layanan kesehatan. Pasien kanker dari Daegu, Hong Jae-ryun, mengaku perawatannya ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Padahal, kankernya sudah menyebar dari kepala ke dada. ”Pertentangan antara dokter dan pemerintah mengorbankan pasien. Saya seperti dikhianati,” ujarnya.
Pasien lain, Cho (44), mengaku jadwal operasi ayahnya ditunda hampir sebulan. Dari awal Maret, ia akan dioperasi pada akhir Maret gara-gara pemogokan itu. ”Kami mencoba menghubungi rumah sakit lain, tetapi tidak ada hasil,” kata warga Gyeongju dari Provinsi Gyeongsang itu.
Pemogokan membuat kapasitas operasi berbagai rumah sakit hanya tersedia paling banyak separuh dari kapasitas awal. Meski sudah ada pemangkasan, tetap saja beban dokter dan perawat bertambah.
Sejumlah dokter senior harus mengawasi hingga empat bangsal. Di setiap bangsal bisa dirawat hingga empat orang. Karena itu, para dokter senior yang tidak ikut mogok menjadi marah kepada dokter-dokter muda.
Apalagi, bukan sekali ini saja pemogokan karena isu sama dilakukan. Pada 2020, para dokter muda mogok setelah pemerintah mengumumkan menambah kuota mahasiswa baru fakultas kedokteran menjadi 4.000 orang per tahun. Protes dokter muda membuat pemerintah menangguhkan rencana penambahan kuota.
Berselang empat tahun, Seoul kembali menggagas tambahan kuota. Bahkan, kali ini kuota lebih banyak. (AFP/REUTERS)