Perkiraan Arah Politik Luar Negeri Indonesia di Era Pemerintahan Prabowo
Pemerintahan baru Indonesia bakal lebih nasionalis. Prabowo akan lebih aktif hadir di berbagai pertemuan internasional.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemungutan suara dalam pemilihan umum sudah berlalu, baik masyarakat Indonesia maupun global tinggal menunggu pengumuman hasil resmi oleh Komisi Pemilihan Umum pada Maret. Sembari menunggu hasil resminya, dunia mulai mempertanyakan arah politik luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan baru, terutama cara Indonesia menggunakan prinsip nonblok secara aktif, bermutu, dan memberi sumbangsih di kawasan.
Pemilu Indonesia sangat diperhatikan oleh dunia. Bukan hanya karena latar belakang salah satu kandidat, yaitu Prabowo Subianto, yang dianggap kontroversial karena berhubungan dengan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang belum selesai hingga sekarang, melainkan juga karena sikap Indonesia menentukan dinamika di kawasan Indo-Pasifik. Prabowo sejak lama membantah berbagai tuduhan kasus-kasus pelanggaran HAM yang diarahkan kepadanya.
Berbagai media asing mempertanyakan, apakah Indonesia akan menggeser kedekatannya ke arah China atau ke arah Amerika Serikat. Posisi Indonesia dijepit raksasa China dan AS. Di selatan China muncul raksasa perekonomian baru, yaitu India.
Hubungan China dan India, meskipun bersebelahan, dapat dikatakan memiliki sejumlah batu sandungan. Salah satunya ialah persoalan kedaulatan karena kedua negara itu memperebutkan wilayah yang hingga kini belum ada kejelasan hak miliknya.
Oleh sebab itu, media-media arus utama India banyak mengamati perihal Laut China Selatan (LCS). Beberapa negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) memiliki sengketa kedaulatan di perairan tersebut dengan China. Indonesia berselisih dengan China perihal Laut Natuna Utara.
Media Firstpost, misalnya, dalam ulasan isu internasional menggarisbawahi sengketa LCS dan kedekatan ekonomi Indonesia dengan China. Mereka melihat, meskipun China merupakan salah satu investor terbesar di Indonesia, Jakarta selalu bersikap tegas jika sudah masuk ke urusan kedaulatan.
Dalam isu LCS pula ASEAN dilihat kompak. Setiap kali ada isu di LCS, negara-negara selain ASEAN, termasuk India, semakin mendekat ke Indonesia.
Mengenai hasil pemilu, pengumuman pemenang presiden belum diumumkan oleh KPU. Akan tetapi, melihat persentase perolehan suara terbanyak pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, media-media asing memperkirakan pemerintahan yang baru akan bersifat lebih nasionalis. Ini menjadi pertanyaan yang kembali mengulik hubungan segitiga Indonesia dengan China dan AS.
Guardian Australia, misalnya, mengharapkan sentimen pribadi Prabowo terhadap China bisa membantu mendongkrak hubungan bilateral Jakarta dengan Canberra. Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menginginkan peringkat Australia bisa naik dari mitra dagang terbesar ke-13 menjadi masuk ke 10 besar. Apalagi, selain negara-negara di Asia Tenggara, Australia adalah tetangga terdekat setelah Papua Niugini.
Membaca pendapat media-media asing tersebut, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu mengatakan, kemungkinan besar pemerintahan baru di bawah Prabowo-Gibran akan meneruskan pragmatisme yang dibangun Presiden Joko Widodo.
”Walau nasionalis, Prabowo tetap akan mengutamakan keinginan meninggalkan warisan kesuksesan dan citra positif untuk pemerintahannya. Ekonomi adalah pintu masuk terbaik,” tuturnya.
Sentimen nasionalis itu, lanjut Aleksius, tidak akan menyurutkan kedekatan kerja sama pemerintah baru dengan China. Apalagi, di dalam pemaparan rencana politik luar negeri di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tahun lalu, Prabowo mengatakan kepada perwakilan Jepang dan Uni Eropa bahwa Indonesia berhak menjadi negara industri yang maju.
Kenyataannya ialah segala ambisi ekonomi itu akan susah terwujud jika mengandalkan negara-negara Barat ataupun lembaga keuangan Barat sebagai penopang. Persyaratan peminjaman dana dari Barat terbilang rumit. Menurut Aleksius, China menjadi mitra pembangunan yang paling masuk akal.
”Namun, Indonesia tetap harus menjaga integritasnya. Jangan sampai komitmen kita untuk bebas aktif tercemar pragmatisme ekonomi tersebut. Indonesia juga harus tetap bisa tegas kepada China, terutama soal kedaulatan sesama negara ASEAN di LCS,” kata Aleksius.
Pada saat yang sama, kedekatan pertahanan dan keamanan dengan AS juga tidak bisa membuat Indonesia pasif dan mau didikte. Aleksius menerangkan, sikap politik luar negeri bebas aktif justru harus semakin bermartabat dengan menunjukkan bahwa Indonesia bekerja keras untuk perdamaian, kesejahteraan, dan kestabilan global dengan memberi pandangan alternatif selain dari adidaya.
Ia menekankan pentingnya ASEAN di dalam menjaga kewibawaan serta sikap bebas aktif Indonesia. Melalui ASEAN, negara-negara adidaya bisa berkumpul dan membicarakan kerja sama, bukan persaingan. Indonesia selaku salah satu pendiri dan negara terbesar di ASEAN secara de facto adalah pemimpin di kawasan Asia Tenggara.
Perkataan Aleksius ini senada dengan kritik terhadap Indonesia yang diutarakan media dan lembaga asing, seperti Bloomberg,The Diplomat, dan Institut Lowy di Australia. Menurut mereka, Indonesia cenderung bersikap tidak mau mengambil risiko meskipun memiliki kapasitas dan kompetensi yang mumpuni di Indo-Pasifik. Punching below its weight atau bertarung di kelas yang jauh di bawah kemampuan, itulah kritik yang ditujukan kepada Indonesia.
”Kita bisa menjadi kekuatan nonblok yang berbobot dengan mengutamakan diplomasi. Syaratnya ialah Indonesia aktif menjaga keutuhan kawasan Asia Tenggara dan aktif di forum global membawa ide-ide kerja sama,” kata Aleksius.
Pemikiran serupa diutarakan Menteri Perdagangan 2011-2014 Gita Wirjawan di dalam seminar daring ”Pemilu Indonesia: Yang Sudah Terjadi dan yang Akan Terjadi” garapan Universitas Stanford, Amerika Serikat, Rabu (21/2/2024). Gita saat ini berposisi sebagai peneliti tamu di Pusat Kajian Asia Pasifik (ASPARC) Stanford.
”Prabowo berusaha mengubah citranya di mata internasional demi mendekatkan diri ke berbagai negara ataupun forum global,” tutur Gita.
Ia menjelaskan, Prabowo akan lebih aktif menghadiri berbagai pertemuan taraf internasional. Semua itu bertujuan membangun kepercayaan masyarakat dunia kepada pemerintahan baru Indonesia. Modal kepercayaan itu yang akan mendatangkan berbagai investasi langsung.
Menurut Gita, hal itu pula yang membuat Indonesia tidak akan bergabung dengan BRICS atau kerja sama ekonomi Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Pada 2023, Mesir, Etiopia, Iran, dan Uni Emirat Arab turut bergabung dengan blok ekonomi ini. Mereka menyatakan sebagai blok ekonomi Dunia Selatan (Global South) yang memperhatikan aspirasi negara berkembang.
”Bergabung dengan BRICS berisiko memunculkan keterbelahan dan anggapan bahwa Indonesia berpihak ke suatu kubu. Indonesia tidak akan melakukannya guna membuka kesempatan kerja sama seluas-luasnya dengan berbagai pihak,” kata Gita.