Pesona Bumi Afrika Memanggil Kembali Warga Afro-Amerika
Trauma terhadap rasisme yang mengakar di mana-mana, warga Afro-Amerika memilih repatriasi ke ”Benua Hitam”.
Rasialisme terus berkembang sistematis dan sulit dikendalikan di Amerika Serikat. Akibatnya, sebagian orang memutuskan pergi dari negara itu. Ternyata, di negara lain pun tetap ada masalah menanti.
Bukti terbaru rasialisme ditayangkan salah satu stasiun televisi di Oregon, KGW TV. Dalam siaran pada Kamis (15/2/2024), televisi itu menampilkan cuplikan video berisi ejekan rasial. Manajemen televisi meminta maaf sehari setelah video itu disiarkan.
Baca juga: Mengenang Presiden Lincoln, dari Pembebasan Budak hingga Sepupu Jauh Aktor Tom Hanks
Sementara itu, Texas akan segera memberlakukan aturan baru soal imigrasi. Para pembela hak asasi manusia menyebut, rancangan peraturan yang dikenal sebagai Senat Bill 4 itu mengesahkan identifikasi seseorang berbasis ras. Seseorang bisa dianggap imigran ilegal hanya karena penampilannya mirip ciri ras tertentu.
Berbagai kebijakan afirmasi untuk orang kulit berwarna terus dihapuskan. Di AS, program afirmasi itu disebut DEI. Intinya memberikan kesempatan lebih besar kepada kelompok minoritas dan terpinggirkan.
Di era sebelum DEI, kelompok minoritas dan terpinggirkan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Bahkan, dengan kualifikasi teknis dan akademis setara, orang berkulit putih lebih mungkin diterima daripada orang berkulit warna lain.
Sejumlah konglomerat, termasuk Elon Musk yang asalnya dari Afrika Selatan, menentang DEI. Penentangan itu membuat berbagai perusahaan dan perguruan tinggi menghapus DEI.
Baca juga: Berkaca Diri Melihat Rasisme di Tengah Pandemi
”Ini upaya terstruktur untuk menghancurkan teori rasial kritis yang menjelaskan bahwa rasialisme adalah konstruksi sosial yang dibuat memang untuk mendiskriminasikan ras-ras tertentu demi keuntungan ras lain yang menganggap diri mereka lebih superior,” kata Jonathan Butcher, peneliti pendidikan di The Heritage Foundation.
Tawaran hijrah
Beberapa negara melihat fenomena kegerahan pada rasialisme di AS sebagai peluang. Dalam laporan pada Senin (19/2/2024), The New York Times menyorot program sejumlah negara Afrika mengundang warga Afro-Amerika kembali ke tanah leluhur mereka.
Ada kelompok yang membantu orang-orang keturunan Afrika di AS untuk kembali ke Afrika dan mencari peruntungan di sana. Program itu dulu dimulai Ghana. Kini, Sierra Leone, Tanzania, Liberia, dan Kenya juga meluncurkan program yang mirip dengan Ghana.
Pada 2019, Pemerintah Ghana melalui Otoritas Pariwisata Ghana mencanangkan program Tahun Kembali (Year of Return). Intinya ialah menawarkan kepada warga Afro-Amerika ataupun diaspora Afrika di seluruh dunia untuk datang dan menetap di Ghana.
Baca juga: Pandemi Rasisme di Amerika
Program itu diluncurkan bertepatan dengan 400 tahun kapal pertama mengangkut budak dari Afrika ke Amerika. Di tanah baru, korban perbudakan dari Afrika disiksa secara kejam.
Anak-anak saya tidak lagi dirundung di sekolah hanya karena berkulit gelap atau berambut keriting.
Sampai AS merdeka pada abad ke-18, perbudakan masih berlangsung. Bahkan, diskriminasi rasial berlangsung sampai abad ke-21. Orang-orang berkulit coklat, hitam, dan kuning lebih sulit mendapatkan pekerjaan dan akses ke pendidikan serta kesehatan.
Kematian George Floyd pada Mei 2020 membuktikan rasialisme itu. Insiden Floyd memicu unjuk rasa besar di AS dan beberapa negara. Sementara Ghana memanfaatkannya untuk memacu kampanye ”Tahun Kembali”.
Baca juga: Hamilton Katalisator Anti-rasisme di F1
Direktur Utama Otoritas Pariwisata Ghana Akwasi Agyeman mengatakan, ada peluang dari kelompok Afro-Amerika. ”Kami melihat kemampuan ekonomi warga Afro-Amerika yang cukup tinggi bisa menjadi pintu masuk pembicaraan agar mereka mau datang dan berinvestasi di Ghana, daripada ke negara-negara lain, sekaligus untuk mengenal kembali akar mereka,” katanya.
Tujuan utama program itu tentu saja meningkatkan kunjungan pelancong ke Ghana. Pasar utamanya warga AS keturunan Afrika. Accra memberikan kemudahan pengurusan visa kerja dan menetap dalam jangka panjang untuk warga AS keturunan Afrika.
Program itu antara lain dimanfaatkan 1.500 warga AS keturunan Afrika yang tinggal di Ghana pada 2023. Selain itu, pelancong dari AS ke Ghana naik 45 persen.
Alasan pindah
Sebagian pendatang dari AS ke Ghana akhirnya pindah ke negara lain di Afrika. Ashley Cleveland (39) pindah ke Tanzania pada 2020. Belakangan, ibu dua anak itu memboyong keluarganya ke Afrika Selatan. ”Bagi saya, ini bukan soal uang, melainkan penerimaan. Anak-anak saya tidak lagi dirundung di sekolah hanya karena berkulit gelap atau berambut keriting,” ujarnya.
Baca juga: Sejarah Panjang Hantu Rasisme di Amerika Serikat
Shoshana Kirya-Ziraba (40) pindah dari Texas di AS ke Mbale, Uganda, bersama suaminya. Dengan modal 50.000 dollar AS, mereka membangun rumah empat kamar di Mbale. Modal tersebut juga dipakai untuk beternak 1.000 ekor ayam dan kalkun. Mereka juga mendirikan yayasan untuk membantu perempuan dan anak-anak difabel.
Selama di AS, ia merasa ras dan agamanya selalu dipersoalkan. ”Bagi komunitas Afro-Amerika, saya liyan karena beragama Yahudi. Bagi komunitas Yahudi AS, saya bukan bagian dari mereka karena saya berkulit hitam. Di Mbale, saya dekat dengan komunitas Afro-Yahudi dan masyarakat Uganda secara umum tidak pernah merecoki soal agama ataupun ras,” tuturnya.
Imigran dari New York ke Elmina di Ghana, Rashad McRorey (44), pindah karena trauma. Di AS, McRorey kerap menerima perlakuan kasar semata karena berkulit hitam. Ia sering dicegat lalu diperiksa, kadang kala dipukuli, polisi. Hidupnya juga sulit di New York.
Di Elmina, kehidupannya lebih baik. Sambil bekerja mengelola biro pemandu relokasi ke Afrika untuk para ekspatriat, McRorey membangun lapangan sepak bola untuk komunitasnya. Ia juga menyediakan beasiswa untuk anak-anak di lingkungan sekitarnya.
Tantangan
Hidup di Afrika bukan tanpa tantangan. Berbagai laporan dari Washington Post, USA Today, dan Deutsche Welle periode 2021-2023 menggambarkan kesenjangan sosial yang melebar di antara komunitas repatriat (diaspora yang pulang ke Afrika) dan warga lokal.
Para repatriat, dengan mata uang dollar AS, pound sterling, dan euro mereka otomatis lebih kaya dibandingkan dengan warga setempat. Dengan demikian, mereka bisa langsung mengakses layanan yang bermutu.
Warga asli juga mengeluhkan para pendatang itu tidak berbaur. Hanya hidup dalam komunitas sesama pendatang. Warga lokal kesulitan bekerja di tempat usaha para pendatang itu. Mayoritas pendatang mempekerjakan sesama mereka.
Gelombang pendatang itu tidak akan surut. Sebab, kehidupan orang-orang berkulit hitam di AS semakin sulit. (AFP/REUTERS)