Pesawat B-52, Penggentar yang Gemetar karena Kesulitan Suku Cadang
Dengan hanya 76 unit tersisa, berarti pembeli komponen dan aneka suku cadang B-52 amat terbatas.
Oleh
IWAN SANTOSA
·4 menit baca
Selama tujuh dekade terakhir, pesawat pengebom strategis B-52 menjadi salah satu inti kekuatan penggentar Amerika Serikat. Diharapkan beroperasi sampai 2050, perawatan pesawat itu diwarnai kanibal suku cadang.
Laman Defense News pada Selasa (12/2/2024) menurunkan laporan kesiapan operasional pesawat yang antara lain bermarkas di Pangkalan Udara Barksdale, California, itu. Skuadron Pengebom XI mengoperasikan antara lain B-52 yang dinamai Red Gremlin II.
Pemeriksaan dipimpin Letnan Kolonel Michael DeVita, instruktur di skuadron tersebut. Pemeriksaan antara lain untuk perangkat telekomunikasi kendali tempur, Conect. DeVita dan tim menemukan, layar Conect tidak berfungsi. Ditemukan pula masalah pada pengukur ketinggian (altimeter) dan penjejak sasaran.
Pemasok semakin berkurang. Kami kesulitan meminta produsen memproduksi barang yang menurut mereka kuno.
Layar penjejak baru menyala setelah DeVita memukul beberapa kali. Persis seperti menyalakan televisi tabung beberapa dekade lalu.
Kondisi Red Gremlin II menggambarkan sulitnya kondisi 76 B-52 yang tersisa di Angkatan Udara AS. Beroperasi sejak 1954 dan diproduksi total 744 unit dengan beragam varian, kini hanya ada 76 unit tersisa.
Upaya peremajaan
Pada 2013, Angkatan Udara (AU) AS berusaha meremajakan pesawat yang tersisa. Targetnya membuat pesawat itu bisa terbang sampai 2050. Dengan kata lain, AU AS berharap bisa mengoperasikan B-52 selama seabad.
Pada 2021, sebagaimana dilaporkan Defense One, AU AS mengganti mesin-mesin pesawat itu. ”Saat dibangun, B-52 dirancang sebagai pengebom ketinggian tinggi (high-altitude). Selanjutnya, berkembang sebaliknya, menjadi pengebom nuklir ketinggian rendah,” kata Direktur Perencanaan Strategis dan Pengadaan Komando Strategis AU AS kala itu, Mayor Jenderal Andrew Gebara.
Pergantian mesin, menurut Gebara, bagian dari membuat B-52 tetap relevan sebagai penggentar di abad ke-21. Pesawat itu juga dilengkapi peluncur rudal terbaru AS.
Semua optimitis itu tidak terlihat dalam pemeriksaan DeVita. Rencana peremajaan dan pemodernan tidak selalu mulus. Akibatnya, skuadron penanggung jawab B-52 terpaksa melakukan kanibal. Suku cadang di satu pesawat yang tidak siap operasi dipindahkan ke pesawat lain yang lebih siap operasi.
Kanibal suku cadang
Di Barksdale, hanya lima B-52 dalam keadaan siap operasi sewaktu-waktu. Prajurit hingga perwira di pangkalan udara (lanud) itu menganibal pesawat secara berkala.
Menurut teknisi perawat B-52 di lanud itu, Sersan Bonny Carter, kanibalisasi naik dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. Penyebabnya antara lain gangguan rantai pasok suku cadang selama pandemi Covid-19. Gangguan itu belum pulih sampai sekarang.
Sebelum 2019, memang sudah kanibalisasi. Walakin, trennya tidak setinggi sekarang. Komando Tempur Global (GSC) AU AS mengakui ada kanibalisasi. Bedanya, GSC menyebut kanibalisasi masih dalam taraf bisa dipahami.
Anggota Skuadran Pengebom XI punya pilihan selain mengambil suku cadang di lanud. Mereka bisa mencarinya dari bangkai pesawat di Boneyard, Arizona. Area itu dikenal sebagai kuburan pesawat. Beragam jenis pesawat yang sudah tidak bisa terbang ditaruh di sana.
AU AS juga berusaha mencari produsen suku cadang. Usaha yang tidak mudah untuk benda yang diproduksi puluhan tahun lalu. ”Pemasok semakin berkurang. Kami kesulitan meminta produsen memproduksi barang yang menurut mereka kuno,” kata Direktur Logistik GSC Kolonel David Miller.
Dengan hanya 76 unit tersisa, berarti pembeli komponen dan aneka suku cadang B-52 amat terbatas. Produsen tidak siap membuat lini produksi baru untuk produk yang daya serapnya terbatas.
Karena itu, butuh hingga tiga tahun untuk mendapatkan sebagian suku cadang B-52. Katup tertentu perlu waktu 900 hari sejak dipesan sampai diterima. Miller dan timnya harus merencanakan pembelian hingga empat tahun sebelum waktu pergantian. Dalam kondisi itu, kanibalisasi jadi pilihan apabila ada kerusakan mendadak.
Miller menyebut, pergantian mesin mengurangi sebagian masalah perawatan. ”Mesinnya lebih awet dan mudah dirawat. Berbeda dengan mesin TF33 (mesin lama B-52),” ujarnya.
Departemen Pertahanan AS mengucurkan 870 juta dollar AS untuk Pratt&Whitney. Kontrak itu untuk pembelian 1.000 mesin TF33. Selain di B-52, mesin itu bisa dipakai di pesawat intai B-3 Sentry.
Bagi Sersan Kepala Dylan Drake, tidak masalah apa pun mesin di B-52. Hal terpenting, mesinnya masih baru sehingga perawatan tidak sekerap mesin lama. Mesin baru berarti suku cadang masih lebih mudah dicari.
Meski tua, B-52 belum tergantikan. Pesawat B-21 Raider masih tahap uji coba dan belum bisa dipastikan kapan benar-benar siap pakai.
Sementara menunggu pengganti, peremajaan B-52 menjadi hal yang tidak bisa ditawar. ”Peremajaan harus berhasil,” kata mantan pilot jet tempur AU AS yang kini jadi peneliti di Pusat Kajian Aeronautika Mitchell, Heather Penney. (AFP/REUTERS)