Media dan Pengamat Luar Negeri Mulai Meraba Wajah Pemerintahan Prabowo-Gibran
Selain mencemaskan demokrasi Indonesia, media dan pengamat luar negeri menyoroti kelanggengan aliansi Jokowi-Prabowo.
Gambar kartun ”gemoy” Prabowo Subianto hasil kecerdasan buatan dan gerakan tariannya berhasil mengubah citra Prabowo yang kaku, galak, dan seram. Selama beberapa dekade, rakyat Indonesia melihat banyak versi wajah Prabowo, mulai dari nada amarah dalam orasi yang berapi-api, rasa malu ketika diberhentikan dari militer pada tahun 1998, hingga tarian yang menjadi viral baru-baru ini.
Lama Prabowo menjadi sosok yang menimbulkan polarisasi, kemenangannya pada Pemilihan Umum Presiden 2024—berdasarkan hasil hitung cepat—disambut dengan kegembiraan oleh para pendukungnya, bercampur kecemasan oleh sebagian kalangan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hasil hitung cepat (quick count) Litbang Kompas dari sampel 95,60 persen, Kamis (15/2/2024) sore, mencatat perolehan Prabowo dan pasangan calon wakil presiden, Gibran Rakabuming Raka, unggul 58,51 persen. Adapun pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar 25,22 persen, sementara pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD 16,27 persen.
Saat menyampaikan pidato kemenangan di Istora Senayan, Gelora Bung Karno, Jakarta, Rabu (14/2/2024) malam, Prabowo menyatakan, kemenangan yang berhasil diraih merupakan kemenangan untuk seluruh rakyat Indonesia. Ia berjanji, bersama pasangannya, Gibran, akan mengayomi seluruh rakyat serta merangkul semua unsur dan kekuatan.
Dalam laporan-laporannya, berbagai media massa asing menyoroti pengaruh Presiden Joko Widodo yang tetap populer di ujung masa jabatan. Koran The New York Times, misalnya, menulis soal popularitas Jokowi. Voice of America (VOA) menyoroti pilihan Prabowo menggandeng Gibran, putra Jokowi, menjadi faktor penting kemenangan pasangan tersebut.
Baca juga: Negara Asing Tunda Ucapkan Selamat ke Prabowo, Masa Depan Demokrasi Jadi Sorotan
Meski demikian, di mata pengamat asing, salah satu pertanyaan besarnya adalah seberapa baik dan berapa lama aliansi antara Prabowo dan Presiden Jokowi akan bisa bertahan. “Aliansi keduanya akan bisa bertahan selama Prabowo menilai itu sesuai dengan kepentingannya. Kalau tidak, aliansi itu akan putus dan Jokowi akan segera terpinggirkan,” kata Liam Gammon dari Australian National University (ANU) kepada kantor berita Reuters, Kamis (15/2/2024).
Setelah dua kali kalah dari Jokowi pada pemilu tahun 2014 dan 2019, Prabowo (72) bersandar pada popularitas Jokowi dan menjadikan Gibran (36) wakilnya. Pada masa kampanye, Prabowo berjanji akan melanjutkan kebijakan-kebijakan Jokowi.
Namun, sebagian pengamat menilai, tidak ada jaminan Prabowo akan tetap memenuhi janji-janjinya. Doug Ramage dari BowerGroupAsia menilai, keberpihakan Prabowo pada Jokowi sebenarnya lebih merupakan strategi elektoral, bukan strategi pemerintahan.
”Jangan salah, seorang Presiden Prabowo akan menjadi dirinya sendiri sebagai presiden,” kata Ramage.
Baca juga: Media Asing Soroti Rekam Jejak Prabowo dan Jokowi
Jika saja Prabowo tidak mau mendengar Gibran, para pendukung Prabowo-Gibran berharap Jokowi masih bisa menggunakan pengaruhnya melalui Gibran meski kekuasaan wakil presiden terbatas.
Menurut analis politik dan penulis buku Reformasi: The Struggle for Power in Post-Soeharto Indonesia Kevin O’Rouke, persoalan-persoalan seperti perbedaan pendapat mengenai pembentukan kabinet, rencana ibu kota baru, belanja militer dan layanan sosial, serta penempatan anggota keluarga di pemerintahan bisa memperburuk hubungan bahkan memicu perpecahan. Ini mungkin terjadi apabila mengingat latar belakang Prabowo dan Jokowi yang sangat berbeda.
Berbeda dengan Jokowi, Prabowo berasal dari latar belakang keluarga elite, putra dari ekonom terkemuka Indonesia, Soemitro Djojohadikoesoemo, dan menantu Presiden Soeharto. Sebagai komandan Pasukan Khusus, Prabowo diberhentikan dari militer pada Mei 1998 di tengah tuduhan pelanggaran hak asasi manusia. Prabowo membantah tuduhan itu.
Dalam pidato kemenangan, Rabu (14/2/2024) malam, Prabowo menyatakan akan merangkul semua unsur dan semua kekuatan. ”Kami akan menjadi presiden-wakil presiden untuk seluruh rakyat Indonesia. Berkali-kali saya tegaskan, saya akan memimpin, membela, mengayomi seluruh rakyat, apa pun suku, kelompok etnis, ras, dan agamanya,” ujarnya.
Tak sebatas itu, Prabowo yang didampingi Gibran juga berjanji akan menyusun tim pemerintahan yang terdiri dari putra dan putri terbaik bangsa.
Kemenangan Prabowo pada pemilu tahun ini dinilai menjadi puncak keberhasilan rehabilitasi Prabowo. Hal ini, antara lain, karena pengaruh Jokowi serta kampanye dengan platform ”Indonesia Maju” dan ”Membangun Indonesia”, termasuk menjanjikan makan siang gratis kepada anak-anak, serta pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen.
Baca juga: Banjir hingga Politik Dinasti Jadi Sorotan Media Asing soal Pemilu
Dalam kampanye-kampanye pemilu sebelumnya, Prabowo dipandang sebagai seorang nasionalis berapi-api yang dekat dengan kelompok-kelompok Islam. Namun, pada pemilu kali ini hal itu berubah. Prabowo juga memoles citranya dengan kampanye yang berfokus pada media sosial, antara lain, tampil dengan gerakan tarian Jawa dan sikapnya yang ”gemoy” atau gemas.
”Dia punya begitu banyak kepribadian yang berbeda. Satu hal yang jelas dari Prabowo adalah ketidakpastian,” ujar Gammon.
Para analis memperkirakan, Prabowo kemungkinan akan memainkan peran lebih besar dalam perekonomian. Kabinetnya akan mengikuti pragmatisme yang sudah mapan dari presiden-presiden sebelumnya dengan pemerintahan berkekuatan hasil kombinasi para loyalis, sosok-sosok dari penunjukan partai politik, dan para teknokrat.
Perbedaan latar belakang
Dalam urusan luar negeri, sikap Indonesia diperkirakan tidak akan banyak berubah karena Prabowo telah berjanji melanjutkan kebijakan Indonesia yang bebas aktif.
Baca juga: Demokrasi Berkualitas Butuh Kemampuan Berpikir Kritis
Meski begitu, majalah Foreign Policy (FP), 14 Februari 2024, khawatir, sifat bombastis dan nasionalisme Prabowo terkadang bisa mengejutkan. Indonesia selama ini menentang klaim China di Laut China Selatan, terutama pada tumpang tindih klaim itu dengan Laut Natuna Utara.
Pada Agustus 2023, Prabowo sempat mengambil tindakan lebih keras dalam isu tersebut dengan mengeluarkan pernyataan bersama dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat Lloyd Austin. Namun, dua bulan sebelumnya, pada Dialog Shangri-La di Singapura, dia mengusulkan rencana perdamaian Ukraina yang dianggap pro-Rusia oleh AS dan sekutunya.
Sebagai menteri pertahanan, Prabowo sudah memulai peningkatan besar-besaran pada peralatan militer meski ada beberapa rencana, seperti rencana pembelian 12 pesawat jet Mirage bekas dari Qatar, yang dibatalkan karena ada kritikan tentang biaya yang membengkak dan utilitas yang lemah.
Baca juga: Indeks Demokrasi Turun, Kebebasan Pers Turut Terancam
Selain beberapa isu di atas, kekhawatiran pihak luar terhadap pemerintahan Indonesia di bawah Prabowo adalah mengenai demokrasi di Indonesia yang dinilai bisa mundur. Selama kampanye, Prabowo disebut menjadi satu-satunya kandidat yang tidak menjawab kuesioner lembaga Human Rights Watch atau menghadiri acara di mana para kandidat berjanji melindungi kebebasan pers.
Gammon khawatir, hak-hak rakyat akan berkurang sedikit demi sedikit tanpa membuat demokrasi runtuh secara drastis.
Mengelola koalisi
Prabowo juga berbeda dari Jokowi jika dilihat dari kelihaian dalam politik koalisi. Laman berita BBC, Kamis (15/2/2024), menyebutkan, Jokowi mampu mengooptasi lawan-lawannya sehingga pada masa jabatan terakhirnya, dia didukung lebih dari 80 persen anggota parlemen. Kelihaiannya dalam politik koalisi ini mampu meredakan konflik politik dan memungkinkannya melaksanakan proyek-proyek infrastruktur.
Namun, hal itu juga dikritik karena menciptakan politik tanpa oposisi di mana tidak ada seorang pun menentang agenda pemerintah. Untuk bisa lihai seperti Jokowi, BBC menilai Prabowo harus mendekati Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), partai pendukung utama Jokowi di parlemen selama 10 tahun masa jabatannya.
Baca juga: "Quick Count" Litbang Kompas: PDI-P, Golkar, dan Gerindra Unggul
Hitung cepat Litbang Kompas memperkirakan PDI-P—bersama Partai Golkar dan Partai Gerindra—meraih suara tertinggi di antara 18 partai politik nasional peserta Pemilu 2024. Hingga sekitar pukul 15.30, Kamis (15/2/2024), dengan jumlah data masuk 93,75 persen, PDI-P unggul dengan raihan 16,29 persen. Adapun perolehan suara Golkar mencapai 14,67 persen dan Gerindra sebesar 13,56 persen.
Banyak hal bergantung pada kesiapan Ketua PDI-P Megawati untuk menjadi oposisi. Yang akan ditunggu-tunggu adalah apakah Megawati bisa dibujuk untuk bergabung dengan koalisi yang berkuasa dan apakah Prabowo menginginkan hal itu.
Baca juga: Filipina Memasuki Enam Tahun Kekuasaan Dinasti Ganda
BBC menyoroti, apa yang kemungkinan bisa terjadi di Indonesia saat ini, khususnya pada hubungan Prabowo dan Jokowi, mengingatkan pada situasi politik di Filipina. Pada pemilu tahun 2022, kampanye Ferdinand ”Bongbong” Marcos Jr—kini presiden Filipina—juga sangat bergantung pada dukungan petahana populer, Presiden Rodrigo Duterte, untuk memenangi kursi kepresidenan.
Marcos juga setuju untuk mengambil putri Duterte, Sara, sebagai pasangannya. Namun, berselang dua tahun, pasangan Marcos-Sara yang dulu rukun bersekutu kini berselisih tajam dan Duterte menyadari sebagai mantan presiden kini pengaruhnya tak banyak.
Becermin pada yang terjadi di Filipina, lanjut BBC, Prabowo bisa jadi mungkin juga menyadari dirinya tidak lagi membutuhkan dukungan dari Jokowi.
Saat menyampaikan pidato kemenangan, Rabu malam, Prabowo menyatakan akan bekerja sekeras tenaga untuk merajut, mengajak, menjalin kerukunan, persatuan, kekeluargaan, kekompakan, dan kolaborasi untuk rakyat. Sementara Gibran dalam pidatonya juga menekankan pentingnya merekatkan kembali persaudaraan.
BBC juga mengingatkan rakyat Indonesia perlu menyesuaikan diri dengan gaya kepemimpinan yang sangat berbeda antara Prabowo dan Jokowi. Jika Jokowi terkenal bersuara lembut dan suka berdamai, Prabowo memiliki reputasi sebagai orang yang suka meledak-ledak dan biasa memberikan pendapat yang blak-blakan.
Ada yang bilang, Prabowo sudah berubah, tetapi masih banyak yang tidak percaya. ”Instingnya itu xenofobia dan menjadi pemimpin otoriter. Saya khawatir, dia tidak akan berubah, karakter atau watak dasar tidak bisa berubah. Jokowi sudah membuka pintu membawa Indonesia kembali ke kegelapan era Orde Baru,” kata Andreas Harsono dari Human Rights Watch (HRW) Indonesia kepada majalah Foreign Policy (FP).
Baca juga: Hura-hura Pemilu
FP juga mengingatkan perihal kondisi kesehatan Prabowo. Jika Prabowo terpaksa absen karena alasan kesehatan, nasib Indonesia yang merupakan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini akan berada di tangan Gibran, wakilnya, yang tidak memiliki banyak pengalaman dalam politik.
Meski demikian, menurut Direktur Proyek Asia Tenggara di the Lowy Institute dan mantan koresponden harian the Financial Times, Ben Bland, dalam artikelnya ”Indonesia’s Democracy is Stronger than a Strongman” di majalah Foreign Affairs, 13 Februari 2024, menyebutkan bahwa Prabowo tidak akan mudah menjadi otoriter karena dalam politik Indonesia koalisi partai bisa berubah-ubah dan pusat-pusat kekuasaan tersebar.
Faktor-faktor ini berkontribusi melindungi demokrasi. Toh, ketika menjabat sebagai menteri pertahanan, Prabowo juga tak mampu mengubah militer secara drastis. Untuk bisa mengegolkan kebijakan, presiden harus mampu mengelola banyak partai yang kerap berseberangan serta menyelaraskan kementerian dengan peran yang tumpang tindih dan kepentingan birokrasi yang bersaing.
Baca juga: Sebagian Warga Filipina Impikan Kembalinya Era Marcos
Presiden juga harus mendapatkan persetujuan atas keputusan-keputusan dari banyak lapisan pemerintah daerah di mana gubernur, wali kota, dan anggota Dewan memiliki kekuasaan luas dan kerap mencoba menggagalkan rencana pemerintah pusat. ”Opini publik juga membatasi kekuasaan presiden,” tulis Bland.
Ia menambahkan, sekutu Jokowi berulang kali mengusulkan mengakhiri batas masa jabatan presiden atau menunda pemilu tahun ini untuk mempertahankan jabatan presiden. Tetapi, upaya mereka gagal ketika publik jelas tidak setuju,” tulis Bland yang pernah bertugas di Hanoi, Hong Kong, dan Jakarta itu.
Bland melanjutkan, siapa pun yang menjadi presiden Indonesia akan menyadari bahwa memerintah Indonesia butuh kerja keras. Di pihak lain, demokrasi adalah urusan yang rumit. ”Dan sebagian besar pendukung Prabowo menginginkan agar dia memimpin demokrasi di Indonesia, bukan malah membongkar demokrasi meski mereka menyukai pernyataan-pernyataan kerasnya,” tulis Bland. (REUTERS)