Praktik "doxxing" sudah ada sebelum internet digunakan secara masif oleh warga dunia.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
CANBERRA, SELASA – Pemerintah Australia berencana membuat undang-undang mengenai antidoxxing atau penyebaran data pribadi yang digunakan untuk menyerang seseorang atau kelompok. Keputusan ini diambil setelah 600 warga Australia keturunan Yahudi menjadi obyek perundungan daring, bahkan ancaman pembunuhan ketika informasi mengenai mereka disebar di internet.
Rencana itu diumumkan oleh Mark Dreyfus, Jaksa Agung Australia, di Canberra pada Selasa (13/2/2024). ”Kita tidak bisa menunggu, harus ada aturan yang jelas dan tegas mengenai doxxing,” ujarnya. Pasal khusus doxxing ini, menurut rencana, ditambahkan ke undang-undang perlindungan data pribadi.
Latar belakang pemerintah membuat rencana itu ialah adanya nama 600 warga Australia keturunan Yahudi yang disebar di internet. Mereka, antara lain, akademisi, seniman, dan pengusaha yang bergabung di grup percakapan Whatsapp. Menurut pihak yang menyebarkan nama 600 orang itu, grup percakapan tersebut merupakan ruang perencanaan terstruktur berbagai upaya untuk menyerang orang-orang Australia keturunan Palestina dan para pegiat antiperang yang menentang perang Israel-Hamas.
Menurut pengakuan salah satu orang yang disebar namanya, tetapi meminta identitasnya dirahasiakan oleh media ABC Australia, ia dan teman-teman di grup Whatsapp itu menerima berbagai perisakan di akun media sosial mereka. Ada unggahan yang bahkan berupa ancaman pembunuhan.
Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengatakan, grup itu bukan grup komplotan penyerangan terhadap warga keturunan Palestina dan pegiat antiperang. ”Memang di dalam grup yang semua anggotanya beragama Yahudi itu ada diskusi dan debat mengenai perang Israel-Hamas, tetapi tidak ada propaganda ataupun imbauan merundung orang-orang yang antiperang. Saya tidak bisa membiarkan ada warga yang diserang hanya karena agama dan kepercayaannya,” tutur Albanese.
Salah satu orang yang menyebarluaskan daftar nama itu adalah pegiat hak asasi manusia Clementine Ford. Meskipun begitu, ia menyangkal tuduhan bahwa informasi tersebut diperoleh melalui doxxing atau peretasan akun media sosial para anggota grup. Menurut Ford, ada salah satu anggota grup tersebut yang sudah merasa tidak nyaman dan memutuskan membocorkan pembicaraan di dalamnya.
”Kami memperoleh informasi dari whistleblower (pembocor rahasia). Kami tidak melanggar aturan apa pun soal perlindungan data pribadi,” kata Ford. Ia juga mengatakan tidak pernah menginginkan warganet merundung orang-orang yang di dalam grup Whatsapp itu.
Masif
Praktik doxxing sudah ada sebelum internet digunakan secara masif oleh warga dunia. Doxxing mencakup penyebarluasan data pribadi seperti nomor kartu tanda penduduk; alamat rumah, kantor, atau sekolah obyek doxxing; nomor telepon; alamat surat elektronik; nama-nama anggota keluarga; dan informasi pribadi lainnya. Data ini diambil tanpa sepengetahuan, apalagi seizin orang yang di-doxxing.
Di zaman internet, doxxing dilakukan, antara lain, dengan cara menyebarluaskan akun media sosial hingga meretasnya. Pelakunya mulai dari individu, kelompok, hingga media arus utama. Surat kabar New York Times pada 20 Agustus 2017 menyebutkan, doxxing menjadi cara yang paling banyak dilakukan untuk menyerang lawan politik. Kelompok-kelompok yang mengaku pembela HAM sekalipun ada yang menggunakan doxxing untuk menyebarluaskan identitas orang-orang yang mereka anggap sebagai anggota kelompok rasialis hingga teroris.
Biasanya, setelah doxxing terjadi, tanggapan warganet adalah menyerang orang yang di-doxxing. Khusus di Indonesia, data Safenet 2017-2020 menyebutkan, 56 persen korban doxxing adalah wartawan. Umumnya mereka di-doxxing setelah memberitakan kasus-kasus yang menyinggung pejabat ataupun penguasa lokal.
Di Amerika Serikat, kasus doxxing terbaru adalah perseteruan antara dua bintang rap, Nicki Minaj dan Megan Thee Stallion. Dilaporkan oleh NBC pada 5 Februari 2024, penggemar Minaj menyebarluaskan lokasi makam ibunda Stallion. Akibatnya, nisan makam tersebut dirusak. Para pelaku doxxing sudah ditangkap polisi dan sedang menunggu proses pengadilan.
Aturan perlindungan data pribadi belum mencakup soal doxxing. Perlindungan data pribadi masih terbatas pada pencurian informasi ataupun penggunannya untuk perbuatan kriminal seperti penipuan, pemerasan, dan pengiriman berbagai promosi iklan tanpa izin pemilik data.
Di AS, aturan antidoxxing hanya berlaku untuk melindungi pegawai pemerintah, aparat militer, juri pengadilan, dan saksi tindak kriminal ataupun saksi pengadilan. Perlindungan doxxing untuk warga sipil, terutama anak-anak, masih sebatas diatur peraturan daerah. Beberapa negara bagian menetapkan kejahatan doxxing bisa dihukum 18 bulan kurungan.
Belinda Barnet, ahli media digital dan komunikasi Universitas Swinburne, Australia, mengatakan, khusus kasus penyebaran daftar anggota grup Whatsapp tersebut masih terlalu lemah untuk dikategorikan sebagai doxxing, terutama jika nanti terbukti memang ada pembocor.
”Akan tetapi, aturan antidoxxing memang mendesak dibuat karena kelompok-kelompok rentan sangat berisiko menjadi korban. Ini juga demi mencegah jika ada sengketa pribadi, doxxing tidak menjadi jalan untuk memfitnah salah satu pihak yang bertikai,” katanya kepada Pedestrian TV. (AFP)