Badai Salju Kacaukan Perjalanan di China dan Jepang
Para ahli memperkirakan, cuaca ekstrem bakal menjadi semacam ”normal baru” dalam tahun-tahun mendatang.
Oleh
HELENA FRANSISCA NABABAN
·4 menit baca
BEIJING, SELASA — Perjalanan jutaan warga China menuju kampung halaman kacau akibat badai salju. Mereka terjebak di dalam antrean kendaraan di jalanan bersalju tebal atau terpaksa membatalkan perjalanan dengan pesawat dan kereta.
Cuaca buruk selama beberapa hari terakhir mengganggu liburan tahunan warga yang merayakan Imlek pada 10 Februari 2024. Beijing News, Selasa (6/2/2024), melaporkan, di 10 provinsi ada sekitar 129 ruas jalan tol yang ditutup. Kondisi terparah terjadi di Provinsi Hunan dan Hubei, wilayah tengah China, yang jarang mengalami hujan salju lebat. Siaran Darurat Nasional China menyebutkan, cuaca buruk akan berlangsung selama beberapa hari ke depan.
Di Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, bandara ditutup karena landasan diselimuti es yang licin. Sejumlah penerbangan dan perjalanan kereta ditunda atau dibatalkan membuat penumpang telantar selama berjam-jam.
Pejabat tanggap darurat provinsi mengatakan kepada stasiun televisi CCTV, setidaknya 4.000 kendaraan terjebak di jalanan yang diselimuti salju tebal pada Senin. Media Yicai melaporkan, seorang pengemudi terjebak selama tiga hari di dalam mobilnya. Pihak berwenang di Hubei berupaya membersihkan terowongan dan jembatan yang tertutup es dan menyebabkan kebuntuan lalu lintas.
Di Hunan, satu orang dilaporkan tewas dan 13 orang terluka setelah sebuah bangunan runtuh karena salju yang tebal. Laporan dari Badan Meteorologi China menunjukkan jalanan yang dipenuhi pohon tumbang akibat hujan salju.
Pemerintah pusat di Beijing menyatakan telah mengeluarkan dana hingga 141 juta yuan untuk membantu pembersihan salju di 11 provinsi agar perjalanan bisa kembali lancar. Otoritas mengupayakan berbagai cara supaya kendaraan bisa melintas, termasuk membebaskan tarif tol.
Sistem udara
Hujan salju lebat juga mengguyur wilayah Tokyo dan sekitarnya sepanjang Senin hingga Selasa. Perjalanan darat dan udara terganggu, aliran listrik mati, dan ratusan orang cedera.
Badan Meteorologi Jepang menyebutkan, puncak hujan salju terjadi pada Senin malam dengan ketebalan hingga 55 sentimeter, terutama di wilayah pegunungan sebelah utara Tokyo. Sementara di pusat kota Tokyo, salju hanya setebal beberapa sentimeter dan terjadi untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir.
Media Asahi Shimbun, Senin (5/2/2024), menyebutkan, hujan salju tebal berkaitan erat dengan perkembangan sistem udara bertekanan rendah. Sistem tekanan rendah bergerak ke arah timur melintasi sisi selatan pulau utama, Honshu.
Pergerakan itu membawa salju tebal ke wilayah pegunungan di Kanto-Koshin. Wilayah di tengah Jepang itu mencakup Prefektur Tokyo, Kanagawa, Chiba, Saitama, Ibaragi, Tochigi, Gunma, dan Nagano.
Kantor berita Kyodo, mengutip keterangan Departemen Kebakaran Tokyo, melaporkan lebih dari 130 orang dibawa ke rumah sakit karena terpeleset atau terjatuh akibat salju. Di Prefektur Kanagawa, lima orang luka parah dan 34 orang cedera ringan. Sementara di Prefektur Saitama, 12 warga cedera ringan.
Layanan kereta juga sangat terbatas untuk wilayah Tokyo. NHK melaporkan, sekitar 550 penumpang pada dua jalur Yurikamome terjebak di rel antarstasiun dan harus berjalan kaki di tengah cuaca beku. Lebih dari 100 penerbangan domestik dan internasional yang masuk atau keluar dari Bandara Haneda dibatalkan.
Sejumlah ruas jalan tol ditutup sebagian, termasuk di Tomei dan Metropolitan Expressways. Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi dan Pariwisata Jepang meminta agar masyarakat tidak melakukan perjalanan yang tidak perlu dan menggunakan ban kendaraan khusus salju.
Badai salju juga mengakibatkan lebih dari 14.000 rumah di Tokyo dan lima prefektur di sekitarnya tidak menerima aliran listrik.
Tahun lalu, badai salju juga menghantam wilayah Asia Timur, mulai dari Jepang, China, hingga Korea Selatan. Kehidupan warga sehari-hari pun terganggu. Cuaca buruk bahkan memakan korban.
Sejak akhir tahun lalu, para pengamat telah mengatakan, cuaca ekstrem semacam ini bakal menjadi semacam ”normal baru”. Yeh Sang-wook, profesor iklim pada Hanyang University di Seoul, Korsel, mengatakan, seiring memburuknya dampak perubahan iklim, wilayah Asia Timur akan menghadapi cuaca beku yang lebih buruk di masa mendatang.
”Tidak ada (penjelasan) lain. Perubahan iklim benar-benar semakin parah dan ada konsensus di kalangan ilmuwan global bahwa fenomena beku semacam ini akan semakin buruk di masa depan,” katanya, seperti dikutip CNN. (AP/Reuters)