Ludes Tabungan dan Kepercayaan Gara-gara Properti
Evergrande dan Van Thinh Phat menampakkan wajah keserakahan konglomerat dan kolusi aparat.
Tertipu perusahaan properti tengah dialami warga di berbagai negara Asia. Nasib investasi mereka tidak jelas karena raksasa properti, seperti Evergrande dan Van Thin Phat, gagal mewujudkan janji. Modusnya mirip seperti ulah sejumlah konglomerat Indonesia
Salah satu kegagalan itu tecermin dalam sidang di pengadilan Hong Kong pada 29 Januari 2024. Pengadilan memerintahkan penjualan seluruh aset Evergrande. Sebab, perusahaan properti China itu gagal membayar utang-utangnya yang lebih dari 300 miliar dollar AS. Sebagai pembanding, APBN RI 2024 saja hanya setara 216 miliar dollar AS.
Baca juga: Penipuan Investasi Guncang Ekonomi Vietnam
Di Vietnam, pengadilan akan menyidangkan para petinggi Van Thinh Phat. Operasional perusahaan properti itu sudah dihentikan dan seluruh asetnya disita. Pemimpin Van Thin Phat, Truong My Lan, diduga menilap 12,5 miliar dollar AS dari dana investasi warga. Kasus itu salah satu pengguncang perekonomian Vietnam.
Tabungan pensiun
Korban Van Thinh Phat antara lain seorang pensiunan perawat di Ho Chi Minh. Perempuan yang hanya mau disebut dengan panggilan Nga itu bingung karena tabungan pensiunnya hilang.
Hampir seluruh tabungannya dibelikan obligasi Van Thinh Phat yang diterbitkan Saigon Commercial Bank (SCB). Uang senilai 120.000 dollar AS dihabiskan Nga untuk membeli obligasi itu. ”Kesalahan saya mengubah tabungan ke obligasi di SCB,” kata Nga.
Waktu memulai menabung, ia berharap nanti bisa membantu anak dan cucunya dari hasil investasi. Bahkan, ia rela tidak jalan-jalan demi bisa menabung. Padahal, sebenarnya ia berhasrat pesiar ke berbagai negara.
Baca juga: Evergrande Diperintahkan Likuidasi Aset
Semua angan itu raib pada April 2022. Bersama 42.000 pemegang obligasi yang diterbitkan SCB, ia kehilangan investasi. Kala itu, SCB mengungkap korupsi Van Thinh Phat terhadap dana yang dikumpulkan dari obligasi tersebut.
Muncul pertanyaan bagaimana dengan bank-bank lain? Apakah mereka juga melakukan transaksi mencurigakan serupa dengan SCB? Krisis ekonomi ini karena hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan.
Menurut surat kabar Saigon Times, Truong My Lan membuka 726 perusahaan cangkang yang dipakai untuk meminjam modal dari SCB. Ia juga pemilik 90 persen saham SCB. Karena itu, bersama 85 petinggi Van Thinh Phat, dia ditangkap aparat Vietnam. Sidang perdana kasus itu dijadwalkan pada Maret 2024.
Vietnam amat serius menangani kasus Van Thinh Phat Group. Sebab, kasusnya diduga setara 3 persen produk domestik bruto Vietnam 2022. ”Muncul pertanyaan bagaimana dengan bank-bank lain? Apakah mereka juga melakukan transaksi mencurigakan serupa dengan SCB? Krisis ekonomi ini karena hilangnya kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan,” kata Linh Nguyen, analis firma Control Risks.
Korupsi aparat
Ia memandang kasus Lan fenomena gunung es. Sebab, banyak perusahaan di Vietnam yang memiliki berbagai anak perusahaan. Tidak ada keterbukaan data mengenai pola mereka meminjam modal dari bank-bank di negara tersebut.
Baca juga: Kasus Evergrande dan Potensi Krisis Global
Modus Lan dan berbagai perusahan Vietnam mirip perusahaan-perusahaan Indonesia sebelum krisis 1998. Dulu, sejumlah konglomerat Indonesia membuat bank. Setelah itu, para konglomerat itu meminjam melebihi kemampuan bank ataupun perusahaan milik mereka.
Lan dan berbagai perusahaan juga meniru modus lain di Indonesia: menyuap aparat agar tidak mengusut kejanggalan kredit. Linh menduga kasus SCB-Van Thinh Phat Group juga terjadi berbagai bank dan kelompok usaha lain. Korbannya para investor.
Kasus SCB-Van Thinh Phat Group terungkap dalam upaya pemberantasan korupsi di Vietnam yang dilancarkan sejak 2016. Mulai dari pejabat negara, termasuk pejabat teras pemerintahan, sampai pengusaha ditangkap karena ketahuan mencuri uang negara ataupun uang masyarakat. Sasaran penyelidikannya termasuk bekas Presiden Vietnam Nguyen Xuan Phuc.
Penipuan besar
Lebih besar dari kasus Van Thinh Phat Group di Vietnam adalah Evergrande di China. Pada 2018, raksasa properti China itu disebut perusahaan properti terbesar dan bernilai paling tinggi di skala global.
Baca juga: Krisis Utang Evergrande Bayangi Ekonomi Nasional
Pada 2021, tiba-tiba perusahaan itu berhenti beroperasi. Perusahaan itu tidak bisa membayar utang ke kreditor dan mengembalikan modal investor. Para pemesan yang membayar uang muka pun tidak kunjung mendapatkan rumah mereka.
Pinjaman tidak dihentikan, tetapi ditelaah jumlahnya agar tidak membebani perekonomian nasional. Perusahaan properti tetap bisa mengajukan pinjaman.
Lembaga keuangan Jepang, Nomura Securities, menaksir 20 juta rumah belum dibangun di China. Padahal, konsumen sudah melunasi pembayarannya. Jika menghitung jumlah yang baru dibayar sebagian, jumlahnya semakin banyak lagi.
Untuk menyelesaikan 20 juta rumah itu, Nomura menaksir butuh biaya total 450 miliar dollar AS. Sementara seluruh aset Evergrande, termasuk proyek yang terhenti pembangunannya, hanya 240 miliar dollar AS. Di luar untuk menyelesaikan pembangunan, Evergrande juga menanggung utang 300 miliar dollar AS ke para kontraktor dan kreditor.
Meski utangnya banyak, selama ini Evergrande bisa terus berjalan karena gali lubang tutup lubang. Model bisnis Evergrande, lagi-lagi, mirip seperti di Indonesia.
Baca juga: Imbas Krisis Evergrande terhadap Ekonomi Indonesia Diperkirakan Minim
Konsumen memberi uang muka, sebagian malah sudah melunasi pesanan, jauh sebelum properti mulai dibangun. Pembayaran itu, ditambah pinjaman dari bank dan hasil dana obligasi, menjadi modal operasi Evergrande dan puluhan properti China.
Pada 2020, Beijing mengubah aturan soal peminjaman yang disebut Kebijakan Tiga Garis Merah. Intinya, China membatasi jumlah pinjaman perusahaan properti. Beijing memutuskan itu karena pinjaman sektor properti sudah jenuh dan menjadi bom waktu. Hingga 30 persen investasi China ditanamkan di sektor properti.
Dampak kebijakan itu, Evergrande dan hingga 50 perusahaan properti China tidak bisa lagi mengajukan kredit modal usaha. Dampaknya, operasional mereka terhenti karena tidak ada modal operasi.
Kasus Evergrande ini menggoyang perekonomian China yang diperkirakan melambat. Sebab, 70 persen rumah tangga di negara tersebut berinvestasi dalam bentuk properti. Jika propertinya mangkrak, rakyat kehilangan aset dan tabungan. Pemerintah China belum menampakkan gelagat membantu Evergrande melunasi utang.
Baca juga: Evergrande, Pelajaran Penting
Wakil Direktur Lembaga Pengawas dan Pengelola Keuangan Nasional Xiao Yuanqi menyebut, ada 16 ukuran untuk menyehatkan industri properti. ”Pinjaman tidak dihentikan, tetapi ditelaah jumlahnya agar tidak membebani perekonomian nasional. Perusahaan properti tetap bisa mengajukan pinjaman,” katanya sebagaimana dilansir laman resmi Pemerintah China pada 26 Januari 2024.
Peneliti kajian China pada Universitas Montana di Amerika Serikat, Dexter Roberts, menyebut kejatuhan Evergrande dan perusahaan properti China tidak mengejutkan. Dalam wawancara dengan media AS, NPR, Robert menyebut bahwa Beijing sudah memperkirakan kejatuhan itu saat mengeluarkan Kebijakan Tiga Garis Merah. Sebagai debitor terbesar, Evergrande pasti terdampak kebijakan tersebut.
Bank investasi China, Dongxing, mencatat penjualan properti China turun 6,5 persen sepanjang 2023. Di sisi lain, meski ada masalah Evergrande, tidak berarti perekonomian China goyang.
Sebab, menurut Roberts, China akan mencari kompensansi dari sektor lain. ”Sepertinya China akan meningkatkan ekspor mereka untuk menombok kerugian di sektor properti. Kemungkinan yang berkurang adalah investasi China di luar negeri,” tuturnya.
(AFP/Reuters)