Detensi di Malaysia Rusuh, Lebih dari 100 Pengungsi Rohingya Kabur
Aparat Malaysia memburu para pengungsi Rohingya yang kabur. Mereka juga menyelidiki penyebab kerusuhan di detensi Bidor.
Oleh
MUHAMMAD SAMSUL HADI
·4 menit baca
KUALA LUMPUR, JUMAT — Lebih dari 100 pengungsi Rohingya kabur dari pusat detensi imigrasi Bidor, Negara Bagian Perak, Malaysia, Kamis (1/2/2024) malam, menyusul kerusuhan yang melanda detensi tersebut. Saat kabur di tengah kegelapan malam, seorang dari mereka tewas tertabrak kendaraan di jalan raya.
Direktur Jenderal Departemen Imigrasi Malaysia Ruslin Jusoh, melalui pernyataan tertulis yang dirilis, Jumat (1/2/2024), menyebutkan, total 131 imigran kabur pada Kamis malam. Aparat tengah memburu mereka.
Mengutip keterangan polisi Perak, kantor berita Bernama melaporkan, mereka yang kabur terdiri dari 115 warga etnik Rohingya dan 16 orang warga etnik lain dari Myanmar. Kepala Kepolisian Perak Mohamad Naim Asnawi kepada kantor berita AFP menyebutkan, para imigran itu membuat kerusuhan di pusat detensi Bidor sebelum kemudian kabur.
Seperti dikutip Bernama, Asnawi mengatakan, mereka lolos dari blok pria setelah pecah kerusuhan di ruang bagian tengah. Keseluruhan mereka yang kabur adalah laki-laki.
Warga Rohingya mengalami persekusi di kampung-kampung tempat tinggal asal di Myanmar. Banyak dari mereka mengungsi ke negara tetangga, seperti Bangladesh dan Thailand, serta negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk Malaysia dan Indonesia.
Dengan nasib dan kondisi tak menentu, pengungsi Rohingya di Bangladesh pun mengungsi lagi, mengarungi Laut Benggala dan Andaman, dengan perahu-perahu. Mereka menghabiskan waktu berbulan-bulan, mempertaruhkan keselamatan dalam pelayaran di samudra yang ganas, menuju negara-negara lain tujuan pengungsian, seperti Malaysia dan Indonesia.
Setelah tiba di negara yang dituju, jika tertangkap aparat, mereka dimasukkan ke pusat-pusat detensi imigrasi. Kelompok-kelompok pegiat hak asasi manusia (HAM) menyebut kebanyakan pusat-pusat detensi untuk menampung pengungsi Rohingya melebihi kapasitas penghuni dan kotor.
Aparat kepolisian di Malaysia menyatakan tengah menyelidiki penyebab kerusuhan di pusat detensi imigrasi Bidor, Kamis malam, yang disusul dengan kaburnya 131 imigran dari Myanmar tersebut.
Aparat kepolisian di Malaysia menyatakan tengah menyelidiki penyebab kerusuhan di pusat detensi imigrasi Bidor, Kamis malam.
Lebih dari 100.000 pengungsi Rohingya tinggal di tengah masyarakat Negeri Jiran. Sebagian mereka bekerja secara ilegal di proyek-proyek konstruksi, umumnya dengan upah rendah.
Insiden kedua
Peristiwa di Bidor itu merupakan insiden kedua kerusuhan di pusat detensi imigrasi di Malaysia dalam beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, pada April 2022, sebanyak 582 pengungsi Rohingya kabur dari tempat penampungan imigrasi di Negara Bagian Kedah. Saat itu, enam orang tewas tertabrak kendaraan di jalan raya.
Seperti Indonesia, Malaysia tidak meratifikasi Konvensi 1951 tentang pengungsi. Meski tidak memberikan status pengungsi, Negeri Jiran menjadi destinasi favorit pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar dan dari kamp-kamp pengungsi di Bangladesh.
Saat ini Malaysia menampung sekitar 180.000 pengungsi dan pencari suaka yang terdaftar pada Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR). Di antara mereka, terdapat lebih dari 100.000 pengungsi Rohingya dan warga etnis Myanmar lainnya. Mereka datang secara ilegal dengan naik perahu.
Dalam beberapa tahun terakhir, Malaysia menolak kedatangan perahu-perahu pengangkut pengungsi Rohingya. Aparat negeri itu juga menangkap ribuan penghuni pusat-pusat detensi sebagai bagian dari penggerebekan para migran tanpa dokumen.
Terus berdatangan
Tak hanya Malaysia, Indonesia juga terus kebanjiran pengungsi Rohingya. Pada Kamis (1/2/2024) pagi, sebanyak 137 pengungsi Rohingya masuk ke wilayah Aceh Timur, Provinsi Aceh, dengan menumpang kapal. Mereka tiba di pesisir pantai Kuala Parek, Gampong Kuala Parek, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Aceh Timur, Kamis sekitar pukul 06.00. Mereka terdiri dari 40 laki-laki, 47 perempuan, dan 50 anak-anak.
”Sekarang mereka masih di pulau itu. Setelah mendarat, mereka, kan, tidak bisa ditolak lagi. Itu (menolak), kan, salah secara hukum internasional,” kata Ketua Panglima Laot Aceh Miftah Cut Adek saat dihubungi Kompas, Kamis.
Menurut Miftah, lokasi para pengungsi merapat adalah tempat terpencil, jauh dari perkampungan. Lokasi itu pernah dihuni warga Kampung Kuala Parek, tetapi ditinggalkan setelah tsunami Aceh pada 26 Desember 2004. ”Yang ada di sana gubuk-gubuk tempat nelayan berteduh,” ujarnya.
UNHCR mencatat, tahun lalu sebanyak hampir 4.500 pengungsi Rohingya—dua pertiga di antaranya adalah perempuan dan anak-anak—mengungsi dari Myanmar dan dari kamp-kamp di Bangladesh dengan perahu. Sebanyak 569 orang dari mereka tewas atau hilang saat melayari Teluk Benggala dan Laut Andaman.
Angka itu merupakan angka kematian tertinggi sejak 2014. UNHCR pekan lalu menyebut, dari data tahun lalu, berarti satu dari delapan pengungsi Rohingya tak mampu mencapai daratan saat mengungsi dengan perahu.