Cegah Perluasan Perang Timur Tengah, Iran Minta Aliansinya Menahan Diri
Penghentian serangan Kataib Hezbollah tidak berdiri sendiri. Iran dan faksi-faksi di kelompok itu mendesakkannya.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
BAGHDAD, KAMIS — Kelompok bersenjata di Irak, Kataib Hezbollah, mendadak mengumumkan jeda serangan ke sejumlah lokasi pasukan Amerika Serikat di Irak dan Suriah. Pengumuman disampaikan kala Washington mempersiapkan pembalasan atas kematian prajuritnya akibat serangan di Jordania.
AS menuding Kataib Hezbollah bertanggung jawab atas serangan di perbatasan Jordania dengan Irak dan Suriah pada Minggu (28/1/2024) itu. Dilaporkan Reuters pada Kamis (1/2/2024), sejumlah mitra aliansi Kataib Hezbollah meminta kelompok itu menahan diri.
Bersama sejumlah kelompok bersenjata di Irak dan Suriah, Kataib Hezbollah membentuk aliansi yang disebut Poros Perlawanan. Aliansi itu berhubungan erat dengan Iran.
Kelompok-kelompok di pemerintahan Baghdad khawatir Irak akan menjadi arena konflik regional yang lebih luas. Mereka mempunyai alasan dalam negeri untuk tidak mau mengambil risiko ’status quo’.
Iran juga disebut meminta Kataib Hezbollah menjeda serangan ke sejumlah fasilitas AS di Irak dan Suriah. Serangan ke lokasi yang dikenal sebagai Tower 22 itu disebut melewati batas.
Menurut sejumlah sumber di Irak dan Iran, Kataib Hezbollah sebenarnya tidak sepakat dengan Teheran dan mitranya di Poros Perlawanan. Walakin, Kataib Hezbollah akhirnya setuju menunda serangan beberapa waktu.
Bukan hanya setuju, Kataib Hezbollah mengumumkan penundaan itu. ”Hal ini (pengumuman penghentian serangan) terjadi sebagai akibat dari tekanan internal dan juga keinginan tetangga kami (Iran) untuk meredakan ketegangan,” kata salah seorang politisi Irak yang menolak identitasnya diungkap.
Penundaan itu dilakukan dengan syarat AS tidak melakukan penyerangan membabi buta di Irak dan Suriah. Sejak Oktober 2023, sejumlah kelompok bersenjata Irak-Suriah dalam aliansi yang disebut Poros Perlawanan terus menyerang berbagai posisi pasukan AS.
Dalam 165 serangan, AS hanya mencatat prajuritnya cedera. Sementara dalam serangan di Tower 22, tiga tentara AS tewas. Washington marah dan mengumumkan akan membalas.
AS tidak diam saja dengan adanya ratusan serangan itu. Washington sudah berulang kali membalas. Dampaknya, berulang kali terdengar milisi sejumlah kelompok bersenjata di Irak dan Suriah tewas karena serangan AS.
Untuk serangan di Tower 22, AS belum membalas. Sejumlah pihak berharap balasan itu tidak semakin meningkatkan ketegangan di kawasan. ”Jika serangan AS membesar dalam beberapa hari ke depan, hal itu mungkin akan mengubah banyak hal,” kata sumber tersebut.
Sampai sekarang, Kataib Hezbollah belum berkomentar soal dugaan tekanan Iran dan mitranya di Poros Perlawanan. Iran juga menolak menanggapi kabar tersebut.
Kecemasan internal
Bagi Renad Mansour, peneliti senior Chatam House di London, pengumuman Kataib Hezbollah bisa diartikan ada kekhawatiran di kalangan internal mereka soal perang baru di Irak. ”Kelompok-kelompok di pemerintahan Baghdad khawatir Irak akan menjadi arena konflik regional yang lebih luas. Mereka mempunyai alasan dalam negeri untuk tidak mau mengambil risiko status quo,” tuturnya.
Mansour mengatakan, Poros Perlawanan tetap ingin menunjukkan solidaritas pada Palestina. Rangkaian serangan ke sejumlah lokasi pasukan AS di Irak dan Suriah adalah bentuk solidaritas itu.
Meski demikian, para anggota aliansi itu tidak mau serangan mereka membuat keadaan menjadi tidak terkendali. Mereka tidak mau keadaan terulang seperti awal 2020.
Kala itu, keadaan memanas setelah Kataib Hezbollah menyerang tangsi AS di Kirkuk, Irak. Sejumlah orang tewas dan terluka akibat serangan tersebut.
Pemerintah AS membalas pada awal 2020. Dalam serangan di Bandara Baghdad tersebut, Mayor Jenderal Qassem Soleimani dan Jamal Jafaar Mohammed Ali Ebraihimi alias Abu Mahdi al-Muhandis tewas.
Soleimani merupakan Komandan Brigade Quds, unit Garda Revolusi Iran (IRGC), yang mengurusi operasi di luar negeri. Ia membangun Poros Perlawanan dan menjadi penghubung aliansi itu dengan Teheran. Sementara Ebraihimi merupakan petinggi Kataib Hezbollah.
Iran dan AS saling balas setelah serangan itu. Akibatnya, ketegangan di Timur Tengah meningkat. Meski demikian, Washington-Teheran akhirnya bisa mencegah perang terbuka di antara dua negara pemilik nuklir tersebut.
Mansour mengatakan, kecemasan atas perang kembali meningkat di Irak setelah serangan ke Tower 22. Karena itu, sejumlah kelompok di Irak menekan Kataib Hezbollah.
Tekanan juga diketahui berasal dari Forum Koordinasi Syiah Irak, salah satu kelompok pendukung Presiden Irak Abdul Latif Rashid. Para pemimpin forum itu disebut menentang keputusan Kataib Hezbollah menyerang Tower 22. Serangan itu disebut mengancam kedamaian yang rapuh di Irak.
Mansour menyebut, Kataib Hezbollah bukan lawan seimbang bagi pasukan AS. Hal itu dibuktikan dengan kegagalan mereka menangkis serangan balasan AS beberapa bulan ini.
Iran juga berulang kali mengisyaratkan tidak mau ada perang langsung dan terbuka dengan AS. Salah satu buktinya, Teheran segera menyatakan tidak terkait dengan serangan ke Tower 22. (AFP/REUTERS)