Taiwan Cepat Tangkis Hoaks demi Jaga Integritas Pemilu
Jelang pemilu, Taiwan kebanjiran informasi palsu. Hoaks bisa dipatahkan karena semua orang bergerak bersama dan cepat.
Oleh
LUKI AULIA
·5 menit baca
Desas-desus kecurangan pemilu mulai beredar cepat ketika surat suara dalam pemilihan presiden Taiwan dihitung pada 13 Januari 2024. Muncul klaim-klaim bahwa ada pihak-pihak tertentu yang memalsukan surat suara. Ada juga yang menyebarkan informasi para pejabat salah hitung surat suara dan memutarbalikkan hasilnya. Beredar pula rekaman video yang menunjukkan seorang perempuan pencatat surat suara keliru menuliskan perolehan suara salah satu kandidat.
Rekaman video itu jelas dimaksudkan untuk membuat orang mempertanyakan, bahkan tidak percaya pada proses dan hasil pemilu. Disinformasi atau informasi yang disengaja salah dan palsu semacam itu selalu dikhawatirkan datang dari China yang dicurigai hendak melemahkan integritas pemilu Taiwan yang diadakan pada 6 Januari lalu.
Untung saja, tim pemeriksa fakta Taiwan dan semua pihak terkait pemilu bergerak cepat menangkal disinformasi. Komisi Pemilihan Umum Pusat Taiwan segera membantah klaim kecurangan pemilu dan disinformasi lainnya. Pemengaruh, seperti @FroggyChiu yang memiliki sekitar 600.000 pengikut, juga ikut membantu memberikan penjelasan cara penghitungan suara melalui kanal Youtube-nya.
Temuan tim pemeriksa fakta menyebutkan, rekaman video yang menunjukkan petugas pemilihan salah hitung suara ternyata telah diedit. Ada fakta yang dipotong dan tidak ikut disebarkan. Menurut MyGoPen, chatbot pengecekan fakta independen Taiwan, yang sebenarnya terjadi adalah para pemilih di tempat pemungutan suara melihat kesalahan petugas itu, tetapi kemudian dengan cepat dikoreksi petugas penghitungan lainnya.
Banyak video terkait pemilu yang beredar dan mayoritas tidak bisa diverifikasi karena tidak jelas sumbernya. Para pendukung kandidat presiden dari Partai Rakyat Taiwan, Ko Wen-je, yang mayoritas berusia muda diketahui kerap membagikan rekaman video disinformasi melalui Tiktok dan Facebook. ”Saya yakin ada saja orang yang benar-benar percaya dengan informasi yang salah atau palsu,” kata Eve Chiu, Pemimpin Redaksi FactCheck Center Taiwan, organisasi jurnalisme nirlaba.
Kepala Perwakilan Ekonomi dan Budaya Taipei untuk Amerika Serikat Alexander Tah-Ray Yui mengatakan, pemerintah sudah tahu mereka harus mengidentifikasi dan menghilangkan disinformasi secepat mungkin untuk melawan narasi palsu. ”Temukan sejak dini, seperti tumor atau kanker. Dan, segera hentikan sebelum menyebar,” kata Yui.
Saya yakin ada saja orang yang benar-benar percaya dengan informasi yang salah atau palsu.
Menurut penelitian dari DoubleThink Lab, China yang mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya itu diyakini akan menyerang Taiwan dengan disinformasi menjelang pemilu. Untuk mencegah disinformasi, pernah ada usulan untuk menerapkan undang-undang yang lebih ketat yang mengharuskan pelantar media sosial mengawasi konten situs mereka. Akan tetapi, usulan itu dibatalkan pada 2022 karena ada kekhawatiran akan menghalangi kebebasan berpendapat.
Padahal, banyak disinformasi yang lalu lalang menjelang pemilu. Ada yang berupaya melemahkan kepercayaan terhadap Partai Progresif Demokratik (DPP) yang berkuasa. Mereka menyebarkan narasi partai itu suka berperang dan kemungkinan akan memulai perang yang tidak akan bisa dimenangi Taiwan.
Ada juga narasi yang menyasar dukungan AS terhadap Taiwan. AS disebut-sebut mitra yang tidak dapat dipercaya dan hanya tertarik pada ekspor semikonduktor Taiwan sehingga tidak akan mendukung Taiwan jika berperang dengan China.
Meski dibanjiri disinformasi, Taiwan berhasil menangkal dan melawannya. Peneliti senior dan pakar disinformasi China pada Laboratorium Penelitian Forensik Digital di lembaga kajian Atlantic Council, AS, Kenton Thibaut, menjelaskan, ancaman disinformasi di Taiwan sangat serius.
Saking seriusnya, Taiwan tidak hanya fokus pada literasi media atau mengandalkan pemerintah untuk memeriksa fakta informasi palsu. Taiwan mengadopsi pendekatan multifaset yang melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah, kelompok independen, kelompok pemeriksa fakta, hingga seluruh warga negara untuk melawan disinformasi dan propaganda.
Kelompok masyarakat sipil Taiwan, seperti MyGoPen dan Taiwan FactCheck Center, yang menerima dana sebesar 1 juta dollar AS (Rp 15,8 miliar) dari Google fokus pada peningkatan kesadaran masyarakat melalui penyangkalan rumor individu yang dilaporkan anggota masyarakat.
Di Taiwan, kata Chiu, banyak kelompok pemeriksa fakta yang didirikan oleh individu yang bisa dipercaya, seperti MyGoPen yang didirikan Charles Yeh. Kelompok itu memulai layanan chatbot agar publik tidak bingung dengan rumor yang disebarkan secara daring. Taiwan FactCheck Center juga tidak mengambil uang dari pemerintah karena khawatir akan memengaruhi independensi mereka.
Di AS, upaya pemerintah untuk menghilangkan disinformasi malah dipolitisasi dan dikritik karena dianggap sebagai upaya pemerintah menyensor atau mengekang kebebasan berpendapat. Disinformasi berkembang subur di AS karena kondisi masyarakatnya yang terpecah belah. Di AS, tersebar narasi oleh Rusia, misalnya, yang kemudian diadopsi kelompok-kelompok di dalam negeri AS yang tidak percaya kepada pemerintah.
Itulah yang terjadi pada penyerangan di Gedung Capitol oleh para pendukung Presiden AS ke-45, Donald Trump. ”Kita menghadapi dinamika dalam politik Amerika, di mana segala informasi palsu ada dan akhirnya memecah belah rakyat,” kata mantan analis pertahanan nasional, Jim Ludes, yang kini memimpin Pusat Hubungan Internasional Pell di Universitas Salve Regina, AS.
Dinamika itu juga terlihat di Taiwan. Meski pemilu relatif lancar tanpa krisis, tantangan selalu ada. Apalagi, sebut analis pascapemilu DoubleThink Lab, upaya China menyebarkan disinformasi semakin canggih dan spesifik. Salah satu contohnya, halaman Facebook bernama C GaChuDao membuat video berisi perselingkuhan antara anggota Partai Progresif Demokrat dan seorang perempuan asal China. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, video ini dibuat ”lebih lokal” karena memakai bahasa dan aksen Taiwan.
Biasanya disinformasi dari China mudah dikenali karena bahasa dan aksen yang dipakai bukan Taiwan, melainkan China daratan. Tema yang dipilih juga lebih riil dan terkait dengan publik setempat sehingga lebih meyakinkan. (AP)