Salah satu pemilu yang patut mendapat perhatian besar dan mungkin ”paling berbahaya” berlangsung di Taiwan.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Tahun 2024 mungkin tahun paling sibuk dalam urusan pergantian kekuasaan. Bayangkan, ada 64 pemerintahan yang menggelar pemilu pada tahun ini.
Negara adidaya Amerika Serikat menggelar pemilihan umum (pemilu) yang di dalamnya meliputi pemilihan presiden pada 2024. Indonesia, pada bulan depan, menentukan presiden anyar, selain memilih anggota legislatif pusat dan daerah.
Salah satu pemilu yang patut mendapat perhatian besar dan mungkin ”paling berbahaya” berlangsung di Taiwan, Sabtu (13/1/2024) ini. Penduduknya akan memilih presiden baru.
Taiwan bisa disebut sebagai ”entitas yang otonom”. China melihatnya sebagai bagian dari negara itu, sementara otoritas di Taipei enggan mengakuinya. Secara global, tinggal segelintir negara yang masih menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan. Indonesia, Amerika Serikat (AS), dan banyak negara lain sudah tak mengakui Taiwan sebagai negara.
Meski demikian, posisi Taiwan sangat penting. Di tengah rivalitas AS-China, Taiwan menjadi titik panas. Ada kekhawatiran, ketegangan terkait Taiwan bisa memicu perang yang meremukkan kawasan sekitar, termasuk Asia Tenggara.
China berkali-kali mengingatkan Taiwan untuk tidak mendeklarasikan kemerdekaan. Jika hal ini sampai terjadi, penggunaan kekuatan bersenjata sangat dimungkinkan oleh Beijing. Di sisi lain, meski tak memiliki hubungan diplomatik, AS memberi bantuan pertahanan bagi otoritas di Taipei. Bukan tak mungkin, seandainya militer China merangsek ke Taiwan, AS akan mengerahkan bantuan. Sekutunya di Asia Timur—Jepang dan Korea Selatan—bakal dilibatkan dalam konflik.
Sejauh ini, Taiwan berada dalam posisi status quo. Tidak mendeklarasikan kemerdekaan, tetapi juga de facto tak berada dalam naungan otoritas di Beijing. Dalam konteks inilah tiga calon presiden bertarung dalam pemilu di Taiwan. Ketiganya ialah Wali Kota New Taipei Hou Yu-ih dari partai oposisi Kuomintang (KMT), mantan Wali Kota Taipei Ko Wen-je dari Partai Rakyat Taiwan (TPP), serta Lai Ching-te dari Partai Progresif Demokratik (DPP).
Lai, yang saat ini Wakil Presiden Taiwan, berada di spektrum dengan sikap paling keras atau satu haluan dengan Presiden Tsai Ing-wen. Sebaliknya, Hou serta Ko cenderung lebih terbuka terhadap Beijing.
Mereka sama-sama hendak mempertahankan status quo. Meski demikian, ada perbedaan untuk mencapainya. Lai lebih memilih strategi berupa memperkuat hubungan dengan mitra seperti AS dan negara Barat lain. Hou dan Ko dinilai akan mendorong dialog dengan Beijing (David Sacks, ”Taiwan’s Status Quo Election”, Foreign Affairs, 10 Januari 2024).
Tak ada satu negara pun, termasuk AS dan China, yang menghendaki perang. Indonesia serta negara di Asia Tenggara lainnya juga akan sangat dirugikan apabila Taiwan menjadi titik pertempuran. Karena itulah, kita berharap dinamika pemilu di Taiwan tak sampai membuat situasi yang saat ini sudah panas menjadi semakin panas.