Turki dan Iran Sepakat Cegah Perluasan Konflik dan Jaga Stabilitas Kawasan
Turki dan Iran setuju mencegah perluasan perang Gaza dan menjaga stabilitas kawasan. Namun, ada perbedaan mendasar.
ANKARA, KAMIS — Turki dan Iran sepakat untuk mencegah perluasan konflik di Timur Tengah dan sekaligus menjaga stabilitas kawasan tersebut. Perluasan konflik dan gonjang-ganjing keamanan dianggap akan merugikan semua pihak.
Iran dan Turki yang masing-masing memiliki sikap tersendiri, terutama soal keberadaan Israel, sepakat untuk mendorong penghentian agresi militer terhadap Palestina. Perang tidak seimbang antara Palestina dan Israel di Gaza telah mengakibatkan lebih dari 24.000 warga Palestina tewas. Mayoritas adalah perempuan dan anak-anak.
”Kami sepakat perlunya untuk menahan diri dari tindakan yang akan semakin mengancam keamanan dan stabilitas kawasan kami,” kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, di Ankara, Rabu (24/1/2024), seusai pertemuan tertutup dengan Presiden Iran Ebrahim Raisi. Erdogan menambahkan, kedua pemerintahan akan bekerja sama untuk menghentikan pembantaian (man slaughtered) yang dilakukan Israel, mendorong terjadinya gencatan senjata dan upaya perdamaian yang permanen di wilayah tersebut.
Pertemuan antara Erdogan dan Raisi akhirnya terwujud setelah dua kali terjadi penundaan, khususnya dari pihak Iran. Penundaan pertama disebabkan memburuknya situasi di Palestina dan terakhir karena serangan bom dalam acara haul Mayor Jenderal Qassem Soleimani di Provinsi Kerman. Serangan bom itu menewaskan lebih dari 80 warga Iran.
Baca juga: Mengapa Turki Terlambat Bersikap Tegas dalam Perang Israel-Hamas?
Dua peristiwa itu—meski waktunya terpisah—dianggap memiliki kaitan. Iran, pendukung kemerdekaan bangsa Palestina, sejak awal dianggap menjadi bagian dari rencana Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober tahun lalu. Sementara peristiwa pengeboman di Kerman dianggap Iran sebagai serangan balik terhadap wilayah teritorialnya. Serangan itu diduga menggunakan tangan kelompok lain dan dibiayai oleh musuh utamanya, Israel.
Serangan rudal-rudal balistik Iran ke beberapa kawasan di tiga negara, yaitu Erbil di Irak utara, Suriah, dan Balochistan di Pakistan, tak bisa dilepaskan dari hal tersebut. Turki, yang bersahabat dengan Iran dan Pakistan, mengutus Menteri Luar Negeri Hakan Fidan untuk berbicara dengan Teheran dan Islamabad demi meredakan ketegangan.
Singkat
Kunjungan Raisi di Ankara berlangsung singkat. Raisi tiba di Ankara kurang dari sehari setelah Amerika Serikat dan Inggris melancarkan serangan baru terhadap basis-basis perlawanan kelompok Houthi di Yaman yang telah kembali melakukan serangan terhadap jalur pelayaran Laut Merah.
Baca juga: Di Balik Rencana Bulan Madu Turki-Israel
Walau sama-sama mendukung pencegahan perluasan perang Gaza, Raisi dan Erdogan memiliki pandangan berbeda mengenai hubungan dengan Israel. Raisi, yang juga berbicara dalam konferensi pers tersebut, menyatakan bahwa salah satu tindakan yang bisa mencegah atau menghalangi Israel adalah dengan membatasi atau bahkan memutus hubungan ekonomi dengan negara tersebut.
”Memotong arteri vital rezim zionis serta hubungan politik dan ekonomi bisa efektif dalam memaksa rezim zionis mengakhiri semua kekejaman ini. Kami yakin langkah itu harus diambil untuk menghalangi kekejaman yang dilakukannya (terhadap rakyat Palestina),” kata Raisi.
Tidak ada tanggapan dari Erdogan mengenai usulan pemutusan hubungan ekonomi dengan Israel sebagai cara mengurangi atau menghentikan agresi militer negara itu di Jalur Gaza.
Turki memiliki hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Israel. Sejak pemulihan hubungan diplomatik, Agustus 2022, hubungan ekonomi Israel dan Turki terus membaik. Erdogan diketahui menggunakan jasa seorang dokter Israel untuk menangani kondisi jantungnya.
Turki juga membutuhkan Israel untuk menjadi penengah dalam perebutan pengelolaan cadangan gas alam di Laut Mediterania. Diperkirakan kawasan itu memiliki cadangan gas sebesar 120 triliun kaki kubik. Cadangan gas ini menjadi rebutan antara sejumlah negara yang berbatasan langsung, seperti Mesir, Jordania, Italia, Siprus, hingga Israel dan Otoritas Palestina.
Ketegangan Qatar dan Israel
Di tengah upaya Qatar memediasi penurunan konflik serta membebaskan warga Israel dan Palestina yang ditahan oleh kedua pihak, hubungan Doha dan Tel Aviv tegang. Ketegangan itu dipicu pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menilai Doha bias. Hal serupa juga dikatakan Netanyahu kepada sekutunya, AS.
Menteri Luar Negeri Qatar Majed Al Ansari, melalui media sosial X, mengatakan, Qatar terkejut dengan pernyataan Netanyahu soal adanya bias dalam proses mediasi itu. ”Jika pernyataan yang dilaporkan itu benar, PM Israel hanya akan menghalangi dan melemahkan proses mediasi dengan alasan yang tampaknya menguntungkan karier politiknya dibandingkan memprioritaskan penyelamatan nyawa tak berdosa, termasuk sandera Israel,” tulisnya.
Baca juga: Jalan Panjang Penuh Rahasia Menuju Jeda Pertempuran Hamas-Israel
Pernyataan Netanyahu disampaikan saat bertemu dengan keluarga sandera dan disiarkan oleh stasiun televisi Israel, Channel 12, Selasa (23/1/2024). Netanyahu, dalam rekaman percakapan yang bocor itu, mengungkapkan bahwa dirinya tidak berterima kasih kepada Qatar yang tengah menjadi mediator pembebasan sandera. Dia beralasan hal itu akan memberi tekanan lebih besar pada kelompok Hamas.
Dalam rekaman itu, Netanyahu juga mengatakan, Qatar tidak berbeda dengan PBB, Palang Merah, atau organisasi kemanusiaan lain dan bahkan cenderung bertindak bias. Israel memandang organisasi-organisasi tersebut dengan penuh kecurigaan, menganggap mereka bias dan tidak cukup membantu dalam menjamin pembebasan para sandera.
”Anda belum pernah melihat saya berterima kasih kepada Qatar, pernahkah Anda menyadarinya? Saya belum berterima kasih kepada Qatar. Mengapa? Karena Qatar, bagi saya, pada dasarnya tidak berbeda dengan PBB, dengan Palang Merah, dan dalam beberapa hal bahkan lebih bermasalah. Namun, sekarang saya bersedia menggunakan mediator mana pun yang dapat membantu saya membawa mereka (para sandera) pulang,” kata Netanyahu dalam rekaman itu.
Netanyahu, masih dalam rekaman yang sama, menyatakan kemarahannya terhadap AS karena memperbarui penggunaan wilayah Qatar untuk pangkalan militernya. Dia mendesak AS menekan Qatar untuk menekan Hamas.
Baca juga: Hamas-Israel Sepakat Hentikan Perang 4 Hari, 50 Sandera Ditukar 150 Tawanan Palestina
Ketegangan antara Doha dan Tel Aviv itu ditambah lagi dengan pernyataan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich. Dia menuding Doha mendukung dan membiayai kelompok Hamas, yang masuk dalam daftar organisasi teror versi AS dan Israel.
Smotrich, politisi sayap kanan Israel, melalui X, secara terang-terangan menuding Qatar juga ikut bertanggung jawab atas serangan yang dilakukan Hamas pada 7 Oktober lalu. Smotrich, yang mengusulkan agar para pemukim Yahudi dibekali senjata api untuk membela diri, mengusulkan agar Qatar tidak dilibatkan dalam diskusi apa pun setelah perang di Gaza usai.
Qatar adalah tempat tinggal pemimpin politik Hamas. Negara kecil kaya minyak ini juga berperan sebagai mediator utama Hamas-Israel. Salah satu kerja yang dihasilkannya adalah gencatan senjata selama tujuh hari pada November lalu. Saat gencatan dicapai, 110 sandera Israel dan asing bebas dari Gaza sebagai imbalan atas 240 warga Palestina yang dilepaskan dari penjara-penjara Israel. (AP/AFP/REUTERS)