Pilpres Amerika Serikat, Ajang Tanding Ulang Trump Vs Biden
Pertarungan ulang Donald Trump vs Joe Biden hampir dipastikan terjadi. Namun, Nikki Haley menolak menyerah.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·4 menit baca
CONCORD, RABU — Hampir bisa dipastikan, pemilihan presiden Amerika Serikat tahun ini akan menjadi arena pertarungan ulang Donald Trump versus Joe Biden. Indikasi dari bakal terulangnya persaingan Trump dan Biden adalah setelah Trump unggul atas pesaing terdekatnya di Partai Republik, Nikki Haley.
Dengan keunggulan dalam pemilihan pendahuluan di Negara Bagian New Hampshire, Selasa (23/1/2024), itu Trump bakal mengantongi tiket kandidat calon presiden Partai Republik. Dalam catatan sejarah, tidak ada kandidat yang menang dalam dua pemungutan suara negara bagian berturut-turut tidak dinominasikan oleh partai. Ini yang dipastikan oleh Trump.
”Ketika Anda menang di Iowa dan Anda memenangi New Hampshire, mereka tidak pernah mengalami kekalahan. Tidak pernah mengalami kekalahan. Jadi, kami tidak akan menjadi yang pertama, saya dapat memberi tahu Anda,” kata Trump kepada para pendukungnya setelah dinyatakan memenangi pemilihan pendahuluan di New Hampshire.
Tak hanya mengumumkan memenangi primary New Hampshire, Trump juga mengumumkan bahwa dirinya memenangi persaingan di Nevada. Walau secara formal pemungutan suara Kaukus Nevada baru berlangsung dua pekan lagi, keputusan Haley untuk tidak bersaing di sana membuat Trump dipastikan unggul di negara bagian tersebut.
”Saya dengan senang hati mengumumkan bahwa kita baru saja memenangi Nevada,” kata Trump.
Kemenangan awal Trump di dua pemilihan awal cukup mengejutkan karena dia tengah menghadapi puluhan dakwaan atas tindakannya di masa lampau, mulai dari upaya pembatalan hasil pemilihan presiden tahun 2020, menyembunyikan berkas rahasia milik pemerintah federal, hingga dugaan ikut menghasut kerusuhan massal para pendukungnya yang menyerbu Capitol Hill di Washington, Januari 2021. Trump menorehkan sejarah kelam dalam demokrasi AS sebagai presiden yang dimakzulkan dua kali.
Para pendukung Partai Republik di New Hampshire sadar akan hal-hal negatif yang mengelilingi Trump. Separuh pemilih partai ini khawatir bahwa Trump terlalu ekstrem jika nanti memenangi pemilu. Sepertiga pemilih di negara bagian ini juga percaya bahwa Trump telah melakukan tindakan ilegal dalam proses penghitungan suara pemilihan tahun 2020.
Akan tetapi, mereka tetap memberikan dukungan kepada Trump karena Trump berhasil memengaruhi para pemilih dengan berbagai narasi, termasuk bahwa tindakan para penegak hukum pemerintah federal adalah tindakan balas dendam dan memiliki motivasi politik. Trump juga berulang kali mengatakan kepada para pendukungnya bahwa dia diadili karena melindungi kepentingan Partai Republik dan pendukungnya. Ini menjadi argumen yang tampaknya semakin memperkuat ikatannya dengan basis Partai Republik.
Jika kembali berkuasa, Trump berjanji akan menerapkan agenda imigrasi garis keras, seperti menghentikan masuknya para migran melalui perbatasan AS-Meksiko dan menerapkan kembali larangan perjalanan, yang semula menargetkan tujuh negara mayoritas Muslim. Trump menuding bahwa meningkatnya jumlah imigran di AS telah menjadi racun bagi darah rakyat ”Negeri Paman Sam” itu sejalan dengan apa yang pernah diungkapkan pemimpin Nazi Jerman, Adolf Hitler.
Keunggulan Trump atas Haley dibaca oleh tim kampanye Joe Biden sebagai pengambilalihan Partai Republik oleh kelompok garis keras atau sayap kanan AS.
”Hasil malam ini mengonfirmasi bahwa Donald Trump telah mengunci nominasi Partai Republik dan penolakan pemilu. MAGA (gerakan Make America Great Again), gerakan antikebebasan, telah menyelesaikan pengambilalihannya terhadap Partai Republik,” kata manajer kampanye Biden untuk pemilu 2024, Julie Chavez Rodriguez, dalam sebuah pernyataan.
Belum menyerah
Keunggulan Trump di dua pemilihan awal, Iowa dan New Hampshire, membuat sekutu dan para pendukung Trump mendesak Haley untuk mundur dari pencalonan. Mundurnya Haley akan membuat konsolidasi pemilih di Partai Republik lebih cepat dan mudah jelang tarung ulang Trump-Biden.
Akan tetapi, Haley menolak. ”Balapan ini masih jauh dari selesai. masih ada lusinan negara bagian yang tersisa. Ini belum berakhir,” kata Haley. Para pendukungnya juga belum mau mengangkat bendera putih.
”Ini baru permulaan, kita punya negara bagian lain. Saya pikir kami punya kandidat yang kuat, dan pertama kali kami hanya punya dua kandidat, dan itu adalah hal yang hebat,” kata Sandy Adams (66), seorang independen dari Bow yang mendukung Haley.
Sebagai mantan Gubernur Carolina Selatan, Haley berharap dia mendapat dukungan yang besar dari para pemilih Partai Republik. Akan tetapi, banyak yang menilai bahwa di negara bagian yang tergolong konservatif itu dan tingkat popularitas Trump tinggi, keinginan Haley mungkin sulit diwujudkan dan kekalahan negara asal bisa berdampak buruk secara politik.
Haley telah meningkatkan serangannya terhadap Trump menjelang pemilu, mengkritik kedekatan Trump dengan sejumlah tokoh yang berseberangan dengan sistem demokrasi AS, seperti Vladimir Putin dan Kim Jong Un. Haley yang baru berusia 52 tahun juga menjadikan isu usia sebagai salah satu materi kampanyenya. Soal usia ini, ia juga menyinggung Biden, yang kini berusia 81 tahun.
Dia mengangkat tema tersebut jelang pemungutan suara di New Hampshire, Selasa pagi waktu setempat. Dia mengatakan bahwa AS perlu menempatkan di Gedung Putih seseorang yang dapat memberikan waktu delapan tahun untuk mengembalikannya ke jalur yang benar.
”Apakah Anda ingin dua orang berusia 80 tahun mencalonkan diri sebagai presiden?” tanya Haley. (AP/REUTERS)