Nikki Haley Coba Hadang Bola Salju Dukungan pada Trump
Tinggal dua bakal calon presiden AS dari Partai Republik. Nikki Haley melawan mantan bosnya, Donald Trump.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
MANCHESTER, SENIN — Pertarungan perebutan tiket calon presiden dari Partai Republik kini menyisakan pacuan dua sosok, yakni mantan Presiden Donald Trump dan mantan Gubernur South Carolina Nikki Haley. Satu bakal capres, Gubernur Florida Ron DeSantis sudah lempar handuk dan menyatakan mendukung Trump.
Hari Selasa (23/1/2024) ini, Haley dan Trump akan bertarung dalam pemungutan suara pemilihan internal (primary) di Negara Bagian New Hampshire. Sebelumnya, Vivek Ramaswamy, pengusaha yang juga berlaga di bursa capres Partai Republik, sudah mengundurkan diri dan lebih dulu memberi dukungan kepada Trump.
Dalam sistem politik AS hanya ada dua partai, yaitu Partai Republik dan Partai Demokrat. Kedua partai ini menggelar pemilihan internal guna memilih calon yang akan berlaga pada pemilu presiden. Untuk pilpres tahun 2024 dijadwalkan November.
Ada 2.410 pemilik suara konvensi Partai Republik. Agar bisa menjadi capres dari partai ini, setiap bakal calon yang berlaga harus memperoleh dukungan 1.215 pemilik suara. Di New Hampshire, pemilihan internal Republikan berlangsung, Selasa (23/1/2024).
Pekan lalu, Partai Republik mengadakan kaukus di Negara Bagian Iowa. Perbedaan kaukus dengan pemilu primer ialah suara di kaukus merupakan hasil dari musyawarah para pemilik suara di Iowa. Adapun pemilu primer berarti para pemilik suara memberikan suara sendiri kepada calon yang mereka inginkan.
Khusus di New Hampshire, Partai Republik mempunyai 22 pemilik suara, sedangkan Partai Demokrat ada 23 pemilik suara. New Hampshire adalah negara bagian yang menganut pemilu primer terbuka. Ada 15 negara bagian lain dengan sistem ini, antara lain, Texas, Nevada, Montana, Vermont, dan South Carolina. Pemilu primer terbuka berarti pemilik suara bisa memilih calon lintas partai.
Trump di Kaukus Iowa berhasil memperoleh dukungan 20 pemilik suara. DeSantis mendapat 9 dukungan, Nikki Haley 8 dukungan, dan Ramaswamy 3 dukungan. Ketiadaan DeSantis dan Ramaswamy mengakibatkan Haley, perempuan mantan Duta Besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, langsung berhadapan dengan Trump.
Tingkat pendidikan
Majalah Politico edisi 18 November 2022 menerbitkan hasil kajian mereka mengenai pemilu sela AS pada tahun yang sama. Mereka menemukan data bahwa 68 persen distrik di AS yang dikuasai oleh Partai Republik memiliki mayoritas warga berpendidikan maksimal SMA sederajat. Sebaliknya, di 77 persen distrik yang didominasi oleh Partai Demokrat, penduduknya lulus perguruan tinggi.
Pada Oktober 2020, lembaga kajian Pew menerbitkan hasil survei mengenai pendukung Partai Republik dan Partai Demokrat. Periode survei mereka adalah tahun 1996, 2004, 2012, dan 2019. Terungkap bahwa di kalangan pendukung Partai Demokrat jumlah orang-orang yang berpendidikan SMA ke bawah semakin sedikit.
Pada 1996, sebanyak 51 persen pendukung Demokrat berpendidikan maksimal SMA. Jumlahnya turun menjadi 28 persen pada 2019, diikuti oleh 31 persen pernah duduk di bangku kuliah, tetapi tidak tamat, 22 persen lulus perguruan tinggi, dan 19 persen lulus pascasarjana.
Data yang sama relatif stagnan di Partai Republik. Apabila di tahun 1996 sebanyak 41 persen pendukungnya berpendidikan maksimal SMA, pada 2019 jumlahnya 35 persen. Selebihnya ialah 35 persen pernah kuliah walau tidak selesai, 19 persen tamat perguruan tinggi, dan 10 persen lulus pascasarjana.
Nikki Haley didukung oleh orang-orang yang berpendidikan sarjana dan pascasarjana. Mereka adalah kalangan minoritas di Partai Republik. Ini yang membuat secara dukungan Haley kalah banyak dari Trump.
Nikki Haley, perempuan bakal calon presiden pertama Partai Republik, didukung oleh orang-orang yang berpendidikan sarjana dan pascasarjana. Mereka adalah kalangan minoritas di partai tersebut.
Hal itu membuat secara dukungan Haley kalah banyak dari Trump. Posisi Haley di kalangan anggota Partai Republik terdidik pun belum sepenuhnya aman.
Surat kabar New York Times edisi Minggu (14/1/2024) melaporkan bahwa semakin banyak kalangan terdidik Partai Republik mengalihkan dukungan kepada Trump. Bukan karena mereka menyukai sosok yang kontroversial itu, melainkan karena menurut para sarjana di Partai Republik, Trump adalah pilihan yang paling masuk akal.
Ruth Ann Cherny (65), seorang pensiunan perawat dan pendukung Partai Republik, awalnya tidak menyukai Trump. Terutama ketika Trump terlibat menghasut pengikutnya menyerang Gedung Capitol di Washington DC pada 6 Januari 2021 setelah kalah pilpres dari Joe Biden.
Akan tetapi, kini ia berpikir untuk memberi suaranya kepada Trump, presiden pertama AS yang didakwa secara hukum untuk sejumlah kasus perdata dan pidana itu.
”Kampanye DeSantis berantakan, sementara Ramaswamy berusia 30-an tahun sehingga masih terlalu hijau dan belum memiliki pengalaman politik. Setidaknya Trump sudah punya pengalaman empat tahun di Gedung Putih. Semoga kali ini ia mengetahui cara mengelola negara,” ujar Cherny.
Sejumlah pendukung Republik terdidik mengatakan, bukannya mereka tidak suka kepada Haley, tetapi visi dan misi Haley terlalu internasional. Haley menghabiskan sebagian kariernya sebagai diplomat. Ia mendukung perjuangan Ukraina melawan invasi Rusia dan menyetujui AS terus membantu Kyiv dari segi dana dan persenjataan.
”Saat ini, yang harus diutamakan kepala negara justru keamanan dalam negeri. Kita punya masalah di perbatasan dan juga kita harus mengamankan rantai pasok,” tutur Lynda Farrar, pendukung Partai Republik dari Missouri.
Meskipun begitu, di mata para pengamat politik di AS, Haley belum menyerah. Pemilu primer di New Hampshire belum terlaksana. Jika Haley bisa mengungguli Trump, ini bisa menggoyang citra Trump yang selama ini di Partai Republik tampak tidak terkalahkan. (AFP/REUTERS)