Absurdnya Perang Gaza, Obat-obatan Pun Jadi Alat Negosiasi Hamas-Israel
Butuh waktu panjang untuk meyakinkan Hamas dan Israel agar mau merundingkan pengiriman obat-obatan ke Gaza.
Untuk pertama kali setelah gencatan senjata sementara selama satu pekan, November 2023, kelompok Hamas dan Israel kembali mencapai kesepakatan dengan mediasi Qatar dan Perancis. Kesepakatan terbaru mereka diumumkan oleh juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Majed al-Ansari, Rabu (17/1/2024), terkait bantuan obat-obatan.
Ansari mengatakan, Rabu malam, pengiriman obat-obatan tersebut telah sampai di Gaza, Ia tidak menjelaskan, kapan atau bagaimana obat tersebut didistribusikan, sesuai kesepakatan Hamas-Israel.
”Selama beberapa jam terakhir, obat-obatan dan bantuan memasuki Jalur Gaza sebagai implementasi dari kesepakatan yang diumumkan kemarin untuk kepentingan warga sipil di Jalur Gaza, termasuk para sandera,” tulisnya di media sosial X, yang dulu bernama Twitter.
Kesepakatan terbaru Hamas-Israel itu dicapai dalam perundingan di Doha, Qatar. Ketua Delegasi Pusat Krisis Kemenlu Perancis Philippe Lalliot menjelaskan, perundingan berlangsung beberapa minggu terakhir, diawali inisiatif keluarga-keluarga sandera.
Baca juga: Sebagian Sandera Sekarat, Israel Izinkan Bantuan Medis ke Gaza
Pejabat senior Hamas, Moussa Abu Marzouk, mengatakan, Komite Palang Merah Internasional akan mengirimkan semua obat-obatan, termasuk yang ditujukan untuk para sandera dan rumah sakit-rumah sakit yang melayani warga di seluruh Gaza.
Sesuai kesepakatan, setiap satu kotak obat yang diberikan untuk sandera warga Israel harus diberikan 1.000 kotak obat untuk warga Palestina. Diperkirakan ada 45 sandera yang butuh obat-obatan.
Persyaratan lain yang diminta Hamas, menurut Marzuk, obat-obatan itu harus dikirim melalui negara yang dipercaya oleh Hamas—termasuk bukan Perancis—dan harus sampai ke berbagai rumah sakit-rumah sakit. ”Truk-truk pengangkut obat-obatan itu akan masuk (Gaza) tanpa pemeriksaan Israel,” ujarnya.
Hamas tidak mau obat-obatan yang dikirim itu digunakan untuk melacak lokasi sandera. Sebaliknya, Israel juga tidak ingin obat-obatan yang dikirim untuk warga Gaza justru untuk digunakan untuk kepentingan Hamas.
Kemenlu Qatar menyebutkan, dua pesawat militer Qatar mengangkut 61 ton bantuan obat-obatan itu dan menurunkannya di Bandar Udara El-Arish, Mesir. Dari El-Arish, kata Perancis, obat-obatan tersebut dikirim ke Rafah, lalu diserahkan ke Komite Internasional Palang Merah (ICRC) dan kemudian diteruskan ke Gaza, termasuk untuk para sandera Israel. Sebelum didistribusikan masuk Jaza, obat-obatan itu dibagi ke dalam beberapa kelompok pengiriman.
Koordinator Aktivitas-aktivitas Pemerintah di Teritorial atau Coordinator of Government Activities in the Territories (COGAT), badan di militer Israel yang menangani urusan warga sipil di Teritorial Palestina, mengatakan kepada kantor berita AFP bahwa lima truk pengangkut obat-obatan itu tetap menjalani pemeriksaan keamanan di pintu gerbang perbatasan Kerem Shalom.
Baca juga: Sandera dan Tentara yang Tewas Terus Bertambah, Kabinet Israel Terbelah
Juru bicara militer Israel, Daniel Hagari, mengatakan kepada wartawan, Israel akan ”memastikan pada Qatar bahwa obat-obatan itu akan sampai kepada para sandera yang membutuhkan”.
Al Jazeera melaporkan, obat-obatan tersebut terdiri dari obat resep disiapkan untuk 45 sandera dengan perkiraan cukup untuk kebutuhan tiga bulan. Ke-45 sandera itu umumnya sudah lanjut usia dan butuh obat-obatan untuk penyakit kronis.
Perancis mengatakan, butuh waktu beberapa bulan untuk mengatur pengiriman obat-obatan tersebut. Untuk warga Gaza, kiriman berupa obat-obatan hingga vitamin.
Krisis obat-obatan
Kesepakatan Hamas-Israel juga mencakup pengiriman bantuan kemanusiaan kepada warga Gaza. Kesepakatan ini bisa sedikit meringankan sebagian sandera warga Israel, yang dikabarkan dilanda sakit, dan warga Palestina.
Pada Jumat (19/1/2024), perang Hamas-Israel sudah berlangsung selama 114 hari. Kementerian Kesehatan di Gaza menyebutkan, jumlah korban tewas di Gaza telah mencapai hampir 25.000 warga Palestina. Di pihak Israel, sekitar 1.140 orang tewas dalam serangan Hamas pada 7 Oktober 2023.
Sebanyak 61.830 orang terluka di Gaza dengan obat-obatan minim. Selain itu, sekitar 8.000 orang hilang atau diduga terkubur di reruntuhan gedung yang luluh-lantak dibombardir Israel.
Selama lebih dari 100 hari itu pula, sekitar 2,3 juta warga Gaza diblokade total oleh Israel. Seluruh jalur logistik ditutup. Air bersih, bahan pangan, hingga obat-obatan tak bisa masuk. Gaza mengalami krisis pangan dan krisis obat-obatan.
Baca juga: Setelah 100 Hari Perang yang Meluluhlantakkan Gaza
Obat-obat dasar nyaris tak ada. Obat diare atau obat flu, yang dulu dijual bebas, sekarang menjadi barang sangat langka. Padahal, Desember hingga Januari adalah musim dingin di Gaza. Ditambah dengan buruknya sanitasi di pengungsian yang sangat padat itu, penyebaran penyakit pun tak terkendali.
Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef) memperkirakan, angka diare anak-anak di bawah lima tahun (balita) di Gaza melambung menjadi 3.200 kasus per hari dari rata-rata 67 kasus per hari sebelum perang. Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, hanya 13 rumah sakit yang beroperasi di Gaza pada awal Januari 2024. Itu pun tak berfungsi penuh dengan obat-obatan amat minim.
Sementara pasien penuh sesak setiap hari dengan orang-orang yang terluka karena serangan bom atau peluru. Karena tidak ada tempat, sebagian pasien terpaksa dirawat di lantai koridor rumah sakit.
Anak-anak yang terjangkit diare pun terpaksa hanya dirawat seadanya di tenda-tenda pengungsian. ”Anak bungsu saya sudah sakit perut beberapa hari, tetapi tidak ada obat, tidak ada perawatan, karena memang tidak ada,” kata Sadhi, memperlihatkan anak lelakinya yang baru berumur sekitar tiga tahun tidur di ayunan dari kain seadanya, seperti terlihat dalam sebuah video yang beredar di media sosial.
Sadhi dan keluarganya mengungsi di Gaza di penampungan yang penuh sesak. Makanan minim, gas untuk memasak hanya sesekali ada, tenda mereka panas di siang hari dan dingin di malam hari. Saat hujan, tenda itu kebanjiran lumpur.
Dengan penderitaan warga Gaza yang telah berlangsung berbulan-bulan, Israel bergeming. Mereka baru mau membuka akses pada bantuan obat-obatan pada pertengahan Januari 2024.
Diplomasi Qatar-Perancis
Pembukaan akses obat-obatan itu terjadi melalui diplomasi Qatar dan Perancis. Dua negara ini akhirnya bisa membujuk Hamas untuk bersedia sepakat membuka akses obat-obatan untuk para sandera Israel yang masih ditahan Hamas.
Pada November 2023, sebanyak 100 sandera Israel juga dibebaskan atas mediasi Qatar, Mesir dan Amerika Serikat. Kesepakatannya adalah satu sandera Israel yang dibebaskan ditukar dengan pembebasan tiga tahanan Palestina dari penjara-penjara Israel. Israel dan Hamas juga bersepakat untuk berhenti bertempur sehari untuk setiap 10 sandera Israel yang dibebaskan.
Jumlah hari jeda pertempuran pun dihitung dengan berapa ”sandera” yang bisa disediakan oleh Hamas untuk ditukar. Setelah tujuh hari jeda pertempuran berakhir, pada 1 Desember 2023 Hamas dan Israel tak sepakat soal pembebasan sandera.
Perang pun kembali pecah. Warga Gaza kembali hidup dalam teror kekerasan dan kematian. Saat ini, Hamas masih menahan sekitar 100 sandera Israel. Dari awalnya 240 orang, sekitar 100 orang telah dibebaskan pada November lalu.
Sebanyak 27 sandera diduga sudah tewas. Di antaranya tiga sandera tewas tertembak mati secara tak sengaja oleh pasukan Israel sendiri pada 18 Desember 2023. Lalu pada 15 Januari 2024, dua sandera meninggal dalam tawanan.
Sementara Israel dapat dikata juga tengah menyandera 2,3 juta warga Gaza yang mereka kepung. Selain itu, jumlah tahanan Palestina di penjara-penjara Israel diperkirakan mencapai 7.000 orang yang juga sewaktu-waktu bisa digunakan sebagai alat tukar dalam negosiasi dengan Hamas.
Meski ada kesepakatan-kesepakatan antara Hamas-Israel, belum terlihat tanda-tanda perang Gaza akan berakhir. Bahkan, bersamaan dengan pengantaran obat-obat hasil kesepakatan, pasukan Israel terus menggempur.
Sasaran terakhir adalah Khan Younis yang juga menjadi tempat berlindung ratusan ribu warga Gaza yang melarikan diri ke utara pada awal perang. Pertempuran sengit dengan kelompok Hamas juga meletus di sana-sini.
Sejauh ini, di tengah tekanan internasional, para pemimpin Israel bersikukuh akan membebaskan seluruh sandera yang masih ditahan di Gaza. Namun, Hamas menegaskan, mereka tidak akan melepaskan sandera lagi jika tak ada gencatan senjata permanen.
Para pejabat senior PBB telah memperingatkan, Gaza akan menghadapi kelaparan dan penyakit jika bantuan kemanusiaan lebih lanjut tidak diperbolehkan masuk. Namun, peringatan PBB itu pun seperti angin yang berlalu. (AP/AFP/REUTERS)